Modernisasi dan globalisasi telah menghasilkan kemajuan yang luar biasa di berbagai aspek kehidupan, terutama di bidang ekonomi. Teknologi digital, misalnya, telah mempercepat seluruh aspek produksi dan konsumsi, juga membuat perekonomian dunia semakin terintegrasi. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi, atau produk domestik bruto (PDB) global, terus meningkat.
Namun, di balik grafik pertumbuhan yang luar biasa tersebut, muncul pertanyaan mendasar: apakah kesejahteraan dan keadilan sosial dihasilkan secara otomatis dari pertumbuhan ekonomi? Dan bagaimana nilai-nilai agama berfungsi untuk mengatasi ketimpangan yang terus meningkat?

Data Bank Dunia (2024) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023 tercatat sebesar 2,6 persen. Ini sedikit lebih baik setelah pandemi Covid-19 dan konflik geopolitik. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05% pada tahun 2023, meneruskan tren stabil setelah pandemi Covid-19. Pada pandangan pertama, angka ini menunjukkan pemulihan ekonomi.
Tetapi pertumbuhan dan kesejahteraan tidak selalu berjalan beriringan. Di balik gemerlapnya perekonomian dunia, misalnya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) hanya mengalami kenaikan kecil, dari 0,739 pada tahun 2021 menjadi 0,742 pada tahun 2023 (UNDP, 2024). Di Indonesia, IPM tahun 2023 adalah 73,65, yang tergolong tinggi. Namun, terdapat perbedaan yang signifikan antara daerah dan kelompok. IPM beberapa daerah seperti DKI Jakarta lebih dari 80, sementara beberapa provinsi di Indonesia Timur masih di bawah 70.
Ketimpangan Ekonomi
Ketimpangan ekonomi adalah masalah yang paling menonjol. Menurut laporan World Inequality Lab (2023), sepuluh persen orang terkaya di dunia memiliki lebih dari 76% kekayaan global, dan 1% orang terkaya di dunia memiliki hampir separonya.
Sebaliknya, dua persen orang terbawah di dunia hanya memiliki 2% dari kekayaan global. Data ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran hanya dinikmati oleh segelintir orang dari total populasi dunia.
Fenomena yang sama juga terjadi di Indonesia. Rasio Gini Indonesia, yang mengukur ketimpangan pendapatan, akan mencapai 0,388 pada tahun 2023. Ini lebih rendah dari titik tertingginya pada tahun 2014, yaitu 0,414, namun masih menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Selain itu, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) melaporkan bahwa sekitar 9,57 persen penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan pada Maret 2023. Tidak hanya masalah ekonomi, ketimpangan ini mempengaruhi akses ke pendidikan, layanan kesehatan, dan kualitas hidup umum.
Agama dan Moral Ekonomi
Data-data mengenai terkonsentrasinya sumber-sumber ekonomi baik di tingkat global maupun nasional tersebut menunjukkan adanya ketidakadilan dan ketimpangan yang demikian nyata.
Padahal, agama, apa pun nama agama itu, yang dipeluk oleh sebagian besar pelaku ekonomi, sesungguhnya telah mengajarkan nilai-nilai keadilan. Keadilan sosial dan etika pengelolaan harta adalah hal-hal yang diajarkan oleh setiap agama besar.
Konsep keadilan dalam Islam, misalnya, ada zakat dan larangan riba, suatu mekanisme untuk membagi kekayaan dan menghentikan eksploitasi. Konsep “kasih terhadap sesama” menjadi dasar solidaritas sosial dalam iman Kristen. Selain itu, ajaran Hindu dan Buddha menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan menghindari keserakahan (lobha) dalam aktivitas ekonomi.
Keuangan syariah, wakaf produktif, koperasi pesantren, dan sistem perdagangan berbasis komunitas adalah beberapa contoh institusi ekonomi yang mendukung keadilan di era modern. Namun, inisiatif ini belum menjadi perhatian utama. Banyak yang masih simbolis, memiliki skala terbatas, dan kurang terintegrasi dalam kebijakan makro.
Peran Institusi Agama
Nilai, norma, dan kepercayaan sosial—termasuk agama—berpengaruh pada perilaku ekonomi, menurut penelitian dalam bidang ekonomi moral dan ekonomi kelembagaan. Menurut Douglass North (1990), institusi informal seperti agama dapat membangun stabilitas ekonomi dalam jangka panjang karena memperkuat kepercayaan dan mengurangi biaya transaksi.
Namun, aspek moral lebih sering diabaikan oleh sistem ekonomi global saat ini, yang didasarkan pada konsumsi masif dan kapitalisme kompetitif. Inilah yang menyebabkan krisis seperti kerusakan lingkungan, kelelahan sosial, dan budaya kerja yang berlebihan, yang mengganggu kualitas hidup. Pertumbuhan yang tidak disertai arah moral berisiko menghasilkan masyarakat yang semakin makmur secara materi namun hampa secara spiritual.
Refleksi dan Strategi Tengah
Menghidupkan kembali nilai-nilai agama dalam ekonomi tidak berarti menanamkan etika dan tanggung jawab dalam setiap kebijakan ekonomi. Pajak progresif, insentif untuk usaha sosial berbasis komunitas, dan regulasi terhadap sistem keuangan yang tak eksploitatif adalah beberapa cara pemerintah dapat memperkuat keumatan perekonomian.
Selain itu, masyarakat harus merevitalisasi arti kesejahteraan sebagai kehidupan yang cukup, bermakna, dan penuh keberkahan, bukan hanya sebagai gaya hidup atau konsumsi. Pada bagian ini, iman berfungsi sebagai pengingat bahwa ekonomi adalah alat untuk mencapai kebaikan bersama (maslahat) dan koreksi terhadap budaya konsumerisme.
Seperti yang dinyatakan dalam ayat 7 surah Al-Hadid, “Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” Ini menunjukkan bahwa kekayaan adalah amanah daripada kepemilikan penuh.
Ekonomi yang baik tidak hanya menghasilkan pertumbuhan, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mewujudkan keadilan, mengurangi perbedaan, dan menghormati martabat manusia. Di sini nilai-nilai agama menjadi penting—bukan sebagai slogan moral, tetapi sebagai bagian dari sistem dan tindakan.
Secara simbolik, kita tidak membutuhkan ekonomi yang lebih “beragama”; yang kita perlukan adalah ekonomi yang lebih berkeadilan, empati, dan beradab. Karena alasan ini, spiritualitas adalah kekuatan transformasional yang tidak dapat diabaikan.