Berkembangnya peradaban dan ilmu pengetahuan manusia saat ini memunculkan masalah-masalah kontemporer yang belum pernah terjadi pada zaman nabi dan para sahabat. Mulai dari perkara syariat, muamalat, akhlak, hingga banyak persoalan lainnya.
Islam sebagai agama yang telah diturunkan secara sempurna memiliki jawaban atas permasalahan itu semua. Panduan dan konsepnya telah tersedia, hanya mungkin teknisnya masih belum tertulis dan disepakati secara komperhensif oleh para ulama. Masih ada ruang untuk berijtihad dan berpotensi memunculkan terjadinya ikhtilaf, tetapi hal ini bukanlah masalah besar sepanjang tak menyalahi aturan syariat.

Kemajuan perangkat teknologi informasi dan komunikasi sudah melampaui ekspektasi manusia. Perangkat social media, e-commerce, social commerce, hingga artificial intelligence (AI) kini sudah menjadi bagian dari kebutuhan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Tata cara dan prosedur penggunaan media canggih ini tentu memunculkan diskursus dan perbincangan oleh berbagai pihak.
Penggunaan media sosial beserta aturan-aturannya menjadi penting untuk dibahas karena berpengaruh terhadap tatanan hidup dan etika terhadap sesama manusia terutama di ruang maya. Fenomena ini disebut dengan network etiquette (netiquette) atau diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi netiket.
Menurut Virginia Shea (1994), netiket ialah seperangkat aturan yang wajib dipatuhi untuk berperilaku baik dan sepatutnya dalam dunia maya. Apabila hal ini dilanggar akan mengakibatkan berbagai kerugian terhadap pelaku bahkan bisa berujung pada perkara pidana.
Indonesia merupakan salah satu pengguna internet terbesar dan sangat aktif dalam platform sosial media. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)[1] merilis data pengguna internet Indonesia tahun 2024 sebesar 221,5 juta jiwa dari total populasi 278,8 juta jiwa penduduk pada tahun 2023. Terjadi peningkatan 1,4% dari periode sebelumnya dengan tingkat penetrasi internet sebesar 79,5%. Artinya hampir 80% penduduk tanah air sudah menerima akses internet.
Berdasarkan data yang dirilis Microsoft pada 2021 lalu melalui Digital Civility Index[2], terungkap bahwa netizen tanah air digolongkan ‘brutal’. Indeks Keadaban Digital ini mengukur bagaimana cara berinteraksi dan bersosialisasi masyarakat yang ada di 32 negara di media sosial.
Hasilnya pun mengejutkan, Indonesia termasuk salah satu negara yang mendapat penilaian terburuk dengan menduduki posisi 29 dari 32 negara. Ya, Indonesia berada pada peringkat ke-4 terburuk dari bawah dan terburuk pertama di antara negara-negara Asia Tenggara. Total responden berjumlah 16.000 orang dan 503, di antaranya berasal dari Indonesia.
Miris sekali mengetahuinya. Sebab, Indonesia merupakan negara mayoritas muslim yang menjunjung tinggi etika dan adab. Namun malah berbanding terbalik dengan netiket netizennya.
Lantas, bagaimana perspektif Islam dalam mengatur pergaulan dan interaksi di ruang ‘tak kasat mata’ ini? Apa solusi konkret Islam dalam menyelesaikan perkara darurat etika digital ini?
Budaya Kaum ‘Skena’
Nongkrong, kongko-kongko atau bahasa gaulnya disebut ‘skena’ sudah menjadi lifestyle sehari-hari kaum urban kota. Kafe atau kedai-kedai kopi selalu ramai padat bahkan hingga 24 jam nonstop. Perbincangan dan perdebatan mengenai isu nasional, lokal, bahkan kriminal mengisi sela-sela obrolan para penikmatnya.
Namun, ada fakta menarik, ternyata dalam masyarakat muslim, para sahabat nabi juga sudah mempraktikkannya pada 14 abad silam. Budaya nongkrong dalam masyarakat muslim disebut dengan al-haqq at-thariq atau hak-hak para pejalan.
Bahkan, Rasulullah secara eksplisit menyebutkannya dalam sebuah hadis dari Abu Sa’id Al-Khudry RA:
إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ، فَقَالُوا: مَا لَنَا بُدٌّ إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا، قَالَ: فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا، قَالُوا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ؟ قَالَ: غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ
Artinya: “Janganlah kalian duduk-duduk di (pinggir) jalan. “Para sahabat berkata, “Sesungguhnya kami perlu duduk-duduk untuk saling berbincang.” Beliau bersabda, “Jika kalian tidak bisa (berbincang) melainkan harus duduk-duduk, maka berilah hak jalan. ”Para sahabat bertanya, “Apakah yang dimaksud hak jalan tersebut wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Menundukkan (membatasi) pandangan, tidak mengganggu/menyakiti orang lain, menjawab salam, memerintahkan kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam riwayat lain disebutkan hak pejalan lainnya di antaranya yaitu berkata-kata baik, membantu menunjukkan jalan orang yang tersesat, mendoakan yang bersin, menolong orang yang dizalimi, menjaga barang temuan, menyingkirkan gangguan dan membantu mengangkat barang bawaan pengguna jalan yang mengalami kesulitan.
Imam An-Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim juga menjelaskan terkait hadis tersebut:
“Hadis ini mengandung banyak faedah, sekaligus merupakan hadis komprehensif yang memuat berbagai hukum. Misalkan larangan untuk duduk-duduk di tepi jalan tanpa alasan yang dibenarkan. Melarang berbuat sesuatu yang mengganggu orang lain seperti ghibah, berprasangka buruk, merendahkan dan menghalang-halangi orang yang lewat. Terlebih jika mereka (orang yang duduk-duduk) adalah orang-orang yang ditakuti oleh pengguna jalan sehingga menyebabkan para pengguna jalan mengurungkan niatnya untuk melewati jalan tersebut.” (Syarhu an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Yahya bin Syaraf an-Nawawi, 14/102)
Hadis dan syarah ini berarti menunjukkan bahwa budaya ngopi dan nongkrongnya kaum skena sudah ada sejak zaman Nabi dan Beliau telah memberikan aturan yang jelas di dalamnya. Bukan hanya berlaku di dunia nyata, aturan ini juga menjadi pedoman bersosialisasi di dunia maya.
Jadi, ketika berselancar di dunia digital wajib hukumnya membatasi pandangan mata dari konten-konten yang mengumbar aurat lebih-lebih pornografi, tidak memberikan komentar yang buruk (bullying), menyebarkan konten-konten yang positif seperti informasi jadwal kajian, sharing artikel keislaman di akun sosmed pribadi atau bisa juga dengan membantah tuduhan-tuduhan dari kaum yang hobi membidah-bidahkan amalan yang bukan bidah. Hal ini sebagai bentuk amar ma’ruf nahi munkar.
Muslim ‘Tech Savvy’
Literasi dan edukasi menjadi kunci bagi masyarakat agar cermat dalam memanfaatkan ruang berekspresi di alam digital. Kaum muslimin harus melek digital agar tak tersesat dan terjerumus dalam pusaran arus negatif internet. Dalam terminologi sekarang bisa disebut muslim tech savvy. Bagaimana caranya? Layaknya wahyu yang pertama turun, yaitu dengan iqra, iqra, dan iqra.
Perintah iqra jangan dimaknai hanya secara tekstual, melainkan kontekstual. Setiap muslim harus berpikir kritis dan mengaktifkan nalarnya untuk membaca fenomena-fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Intinya, setiap muslim harus memiliki nalar kritis terhadap seluruh fenomena sosial yang terjadi.
Referensi:
[1]https://apjii.or.id/berita/d/apjii-jumlah-pengguna-internet-indonesia-tembus-221-juta-orang
[2]https://news.microsoft.com/id-id/2021/02/11/microsoft-study-reveals-improvement-in-digital-civility-across-asia-pacific-during-pandemic/#_ftn1