Setelah Toa Dilarang Menggonggong

1,262 kali dibaca

Jumat, 25 Februari 2022. Sekelompok perempuan berhijab sedang beraksi. Dalam video yang beredar di media sosial sejak Sabtu, 26 Februari 2022, terlihat para perempuan itu sedang menginjak-injak sebuah spanduk bergambar Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama RI. Tak hanya itu, dalam peristiwa yang diduga terjadi di Karawang, Jawa Barat, itu mereka juga terlihat mengacungkan jari tengah ke arah gambar Gus Yaqut, sapaan Menteri Agama.

Pada Jumat itu, di daerah lain, di depan Markas Komando Kepolisian Daerah Sumatera Utara, sekelompok perempuan, juga berhijab, membentangkan spanduk bergambar tubuh anjing yang kepala dan wajahnya diganti dengan gambar Gus Yaqut. Pada spanduk itu juga diberi keterangan: “Tangkap Yaqut, inilah ciri-ciri orang yang pada waktu lahirnya tidak diazankan tapi digonggong akhirnya dia kembali ke asalnya jadi anjing.”

Advertisements

Hari-hari belakangan ini, di lini masa atau media sosial, banjir hinaan, cercaan, hujatan dari kelompok-kelompok tertentu yang dialamatkan kepada Gus Yaqut. Bahkan, sudah ada yang melaporkannya ke pihak kepolisian. Mereka menuntut agar Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas segera ditangkap dan diadili. Ia dianggap telah menista agama.

Semua itu rupanya sebagai reaksi atas diterbitkannya Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala bertanggal 18 Februari 2022. Juga, reaksi penjelasan atasnya yang disampaikan Gus Yaqut ketika diwawancarai wartawan di Riau, Rabu 23 Februari 2022.

Framing Sesat

Saya ragu, apakah mereka yang melakukan aksi itu telah membaca SE yang diterbitkan Menteri Agama itu secara utuh dengan pikiran jernih. Saya pun ragu, apakah mereka juga telah mendengarkan atau menyaksikan pernyataan Gus Yaqut dalam rekaman video (juga transkipnya) secara utuh dengan hati bersih. Jika sudah, maka aksi seperti itu hanya didasari dua kemungkinan: kalau bukan karena kedunguan, pasti karena kebencian.

Agar tidak terseret dalam arus framing sesat, setidaknya ada empat lokus yang harus didalami supaya kita tetap bisa bersikap adil dan tidak zalim terhadap hal ihwalnya. Keempatnya adalah SE yang mengatur penggunaan pengeras suara tersebut, penjelasan Menteri Agama atasnya, regulasi serupa di sejumlah negara muslim, dan fakta historis di tengah masyarakat muslim Indonesia.

Pertama. Sesuai dengan judulnya, yaitu Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala, SE ini hanya berupa “pedoman penggunaan pengeras suara” di masjid ataupun musala, yang dalam masyarakat kita telah memperoleh label generik, toa. Dan, dalam SE ini tidak ada satu pun diktum yang mengatur perihal azan. Jangankan azan, pengajian, pembacaan selawat atau tarhim, dan lain-lain juga tak diatur-atur dalam SE ini. Bahkan, SE ini menempatkan azan dan pembacaan selawat atau tarhim sebelum waktu salat sebagai tradisi muslim Indonesia yang harus dilestarikan .

Memang, inti dari SE ini sebenarnya adalah pengaturan penggunaan pengeras suara atau load speaker itu, bukan azannya. Ada dua pengaturan dalam SE ini, yaitu tentang pemasangan dan penggunaan pengeras suara serta tata cara penggunaannya.

Dalam hal yang pertama, ada dua jenis pengeras suara yang dipasang dan digunakan di masjid/musala, yaitu pengeras suara yang difungsikan ke luar dan pengeras suara yang difungsikan ke dalam. Kemudian, pedoman ini menegaskan bahwa dalam penggunaannya, baik untuk yang ke luar maupun ke dalam, volumenya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan batasan volumenya adalah 100 desibel (dB). Jika menggunakan rekaman, rekamannya harus yang berkualitas dengan tata akustik yang baik.

Dalam hal yang kedua, SE ini mengatur bahwa azan menggunakan pengeras suara luar (toa), tapi batas volumenya 100 dB. Kemudian, pembacaan Al-Qur’an dan selawat/tarhim sebelum azan dan zikir, doa, dan pengajian sesudah salat hanya boleh menggunakan pengeras suara dalam dengan batas volume 100 dB.

Waktu pembacaan Al-Qur’an dan selawat/tarhim sebelum azan dan zikir, doa, dan pengajian sesudah salat pun juga diatur. Untuk Subuh, pembacaan Al-Qur’an dan selawat/tarhim dilakukan 10 menit sebelum azan. Untuk Zuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya pembacaan Al-Qur’an dan selawat/tarhim dilakukan 5 menit sebelum azan. Sekali lagi, selain azan, semua harus menggunakan pengeras suara dalam.

So, jika kita membaca dengan teliti dan utuh SE ini, sama sekali tidak ditemukan adanya larangan azan atau larangan azan menggunakan toa. Hanya volumenya yang diatur, tidak melebihi 100 dB. Sekali lagi, hanya kedunguan dan kebencian yang membuat orang percaya bahwa di Indonesia azan dilarang.

Kedua. Benarkah Gus Yaqut menyandingkan atau menyamakan azan dengan gonggongan anjing? Mari kita telaah penjelasannya, yang transkip lengkapnya bisa diakses di sini: https://news.detik.com/berita/d-5956642/pernyataan-lengkap-menag-soal-aturan-toa-masjid-dan-analogi-gonggongan-anjing.

Berikut kutipannya: Karena kita tahu, misalnya, kita tahu di daerah mayoritas muslim hampir 100 meter, 200 meter itu ada musala masjid. Bayangkan kalau kemudian dalam waktu yang bersamaan mereka semua menyalakan toa-nya di atas kayak apa. Itu bukan lagi syiar, tapi menjadi gangguan buat sekitarnya. Kita bayangkan lagi, kita ini muslim, saya ini muslim. Saya hidup di lingkungan nonmuslim, ya, kemudian rumah ibadah saudara-saudara kita nonmuslim itu bunyikan toa sehari lima kali dengan kencang-kencang secara bersamaan itu rasanya bagaimana. Yang paling sederhana lagi, tetangga kita ini, kalau kita hidup dalam satu kompleks gitu misalnya, kiri kanan depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya, menggonggong dalam waktu yang bersamaan, kita ini terganggu nggak?

Artinya apa? Bahwa suara-suara ini, apa pun suara itu ya. ini harus kita atur supaya tidak menjadi gangguan. Ya, speaker di musala masjid monggo dipakai, silakan dipakai. Tetapi, tolong diatur agar tidak ada yang merasa terganggu. Agar niat menggunakan toa, menggunakan speaker sebagai sarana, sebagai wasilah untuk syiar, melakukan syiar tetap bisa dilaksanakan tanpa harus mengganggu mereka yang mungkin tidak sama dengan keyakinan kita, berbeda keyakinan tetap harus kita hargai.

Dari kutipan transkip tersebut, juga tidak ditemukan adanya penyandingan atau pembandingan atau penganalogian antara azan dengan gonggongan anjing. Bahkan, berulangkali saya periksa, tidak ada kata “azan” dalam transkip ini. Jika terpaksa harus ditarik benang merahnya pun, yang ditemukan hanya “kebisingan suara toa jika dinyalakan bersamaan” dengan “gonggongan anjing yang bersahutan” —benang merahnya adalah polusi suara.

Tapi apa lacur, ada framing yang menggiring bahwa Gus Yaqut sedang menyamakan lengkingan suara azan yang diamplifikasi toa dengan gonggongan anjing. Hingga muncul poster-poster wajah Gus Yaqut dengan badan anjing. Hingga muncul tuduhan bahwa Gus Yaqut anti-azan dan telah menista agama.

Ketiga. Sesungguhnya Indonesia tergolong telat dalam mengatur penggunaan pengeras suara di rumah-rumah ibadah. Sebab, di negara-negara muslim penggunaan pengeras suara sudah lama diatur dengan ketat.

Di Arab Saudi, misalnya, sejak 2015, masjid-masjid dilarang menggunakan pengeras suara ke luar dan hanya menggunakan pengeras suara yang ke dalam, dengan pengecualian. Pengecualin itu azan lima kali sehari, salat Jumat, salat Idul Adha, salat Idul Fitri, dan salat minta hujan.

Seperti halnya di Indonesia, Arab Saudi mengatur penggunaan toa sebab suara dari kegiatan di masjid-masjid melalui pengeras suara menimbulkan distorsi dan mengganggu. Karena itu, Kementerian Urusan Islam Arab Saudi kemudian memberlakukan pembatasan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. Pemerintah mengizinkan penggunaan pengeras suara hanya untuk kumandang azan dan ikamat. Setiap masjid juga diminta menurunkan volume pengeras suara ke tingkat sepertiga.

Pada 2018, Mesir juga melakukan pembatasan penggunaan pengeras suara di rumah ibadah. Sejak 2018, penggunaan pengeras suara di Mesir hanya dibolehkan untuk azan dan ikamat. Untuk kegiatan salat dan sebagainya hanya dibolehkan menggunakan pengeras suara dalam. Penggunaan pengeras suara juga tidak boleh sampai mengganggu lansia, pasien, dan warga non-muslim.

Jauh sebelum itu, pada 2010 Otoritas Bahrain telah memperbaharui aturan mengenai larangan penggunaan pengeras suara di masjid selama salat. Aturan ini mengakhiri debat panjang dan isu sensitif yang telah berlangsung selama bertahun-tahun di kerajaan tersebut. Di negeri ini, pengeras suara hanya boleh digunakan untuk azan.

Adapun di Suriah, yang 80 persen penduduknya muslim, pengeras suara luar yang hanya diperbolehkan untuk azan. Kegiatan khutbah Jumat atau pengajian hanya diperbolehkan memakai pengeras suara dalam. Namun begitu, tidak ada pembatasan volume azan. Demikian juga di Turki. Penggunaan pengeras suara di Turki hanya diperbolehkan saat azan dan khutbah salat Jumat.

Di Uni Emirat Arab (UAE), warga justru diminta melapor jika ada speaker masjid yang dianggap terlalu keras. Meskipun untuk azan, di negeri ini ada pembatasan volume penggunaan pengeras suara luar. Batas maksimal adalah 85 dB, jauh lebih rendah dari Indonesia. Sebab, di UAE, suara di atas 85 dB sudah dianggap bisa memicu kehilangan pendengaran.

Di negara tetangga kita, Malaysia, penggunaan pengeras suara juga diatur, meskipun berbeda-beda tergantung wilayahnya. Di Selangor, misalnya, ceramah dan khutbah Jumat dilarang menggunakan toa atau speaker eksternal. Penggunaan speaker eksternal hanya sebatas untuk azan dan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an.

Dari lokus ketiga ini kita tahu, bahwa Indonesia bukan satu-satunya negara mayoritas muslim yang mengatur soal penggunaan toa di tempat-tempat ibadah. Negara-negara lain sudah melakukannya lebih dulu. Maka menjadi menggelikan jika ada framing bahwa Indonesia mulai anti-Islam hanya gara-gara membuat aturan penggunaan toa di masjid/musala. Apalagi, ini bukan yang pertama. Pada 1978 regulasi serupa pernah diterbitkan, hanya belum sedetail pengaturan yang sekarang.

Keempat. Toa sebenarnya barang baru bagi masyarakat muslim Indonesia. Muslim Indonesia baru mengenal teknologi pengeras suara ini pada dekade 1970-an. Hal itu terjadi setelah TOA Corporation, pabrik pengeras suara di Jepang bermerek Toa, memasarkan produksinya ke Indonesia pada awal 1970-an.

Adapun, penemu toa sendiri sebenarnya adalah Athanasius Kircher, seorang pastor yang lahir di kota Geisa, Jerman pada 2 Mei 1602 dan meninggal di Roma pada 28 November 1680. Saat itu, ia mencari cara agar khutbah atau ceramah-cerahnya bisa lebih keras dan didengar lebih banyak jemaah. Sebagai tokoh yang juga gandrung pada ilmu teknik, ia tercatat menemukan alat mekanis seperti jam magnetis dan berbagai macam automan. Terakhir, ia menemukan alat pengeras suara itu —dan kita mengenalnya sebagai toa.

So, sejak TOA Corporation memasarkan produknya di Indonesia itulah, perlahan-lahan di masjid-masjid atau musala-musala di Indonesia mulai dipasangi toa, hingga akhirnya ia dianggap sebagai bagian dari syiar Islam. Hingga, mengaturnya saja bisa dianggap menghalangi syiar Islam.

Setelah Toa

Kebetulan, sepanjang Minggu (27/2/2022) ini saya berjalan-jalan keluar masuk kampung-kampung di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di sepanjang perjalanan, dari kendaraan berpendingin dengan jendela yang tertutup rapat, beberapa kali dan di tempat-tempat yang berbeda, saya masih bisa mendengar suara ceramah-ceramah para dai, entah live atau rekaman, yang diamplifikasi oleh toa.

Bayangkan, saya yang berada di dalam kabin kendaraan tertutup rapat saja, entah seberapa jauh jaraknya dari sumber suara, masih bisa mendengarnya dengan jelas. Bagaimana dengan orang-orang yang kupingnya begitu dekat dengan corong toa itu? Bagaimana jika orang-orang yang berada di sekitar moncong toa itu sedang sakit, jantungan, atau sedang stres karena lagi dikejar-kejar penagih utang? Apakah ada yang peduli?

Kita lupa darimana asalnya toa itu, hingga mengatur tata cara penggunaannya saja menjadi persoalan tersendiri, persoalan penistaan agama.

Tapi kita jangan lupa bahwa motif sesungguhnya dari kegaduhan ini sebenarnyalah bukan persoalan agama an sich. Sebab, jika kita jeli melakukan pemetaan, yang menyoal dan kemudian melakukan framing menyesatkan adalah mereka-mereka juga; yang secara politik adalah oposan, yang bisa dikerucutkan pada kasus Pilkada DKI Jakarta pada 2017 dan Pilpres 2019; yang secara keagamaan adalah datang dari kelompok radikalis-ekstremis, yang bisa dikerucutkan pada pengusung khilafah.

Karena itu, pengaturan tata cara penggunaan toa ini bukan akan menjadi hal terakhir yang di-framing sebagai isu anti-Islam. Nanti, ketika rencana sertifikasi bagi dai atau pendakwah atau penceramah benar-benar diberlakukan seperti yang telah dilakukan di sejumlah negara muslim, framing serupa juga akan dilakukan.

Karena itu, kita harus tetap menjaga kewasaran di tengah berbagai narasi menyesatkan yang terus diembuskan melalui berbagai media. Kita juga jangan pernah lupa pada pitutur para ulama wara, bahwa syiar dan dakwah yang terbaik dan paling efektif adalah dengan akhlak, akhlakul karimah, bukan dengan kenceng-kencengan toa.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan