Setelah FPI Terlarang

840 kali dibaca

Pemerintah secara resmi akhirnya melarang keberadaan Front Pembela Islam (FPI) di wilayah hukum Indonesia. Pelarangan itu disampaikan Menteri Koordinator Politik dan Hukum Mahfud Md pada Rabu, 30 Desember 2020. Dengan demikian, FPI menjadi organisasi terlarang seperti halnya HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) — dan di zaman Orde Baru ada PKI (Partai Komunis Indonesia).

Keputusan pemerintah ini sebenarnya merupakan penegasan atas status FPI sebagai organisasi masyarakat yang sudah tidak memiliki legal standing sejak 21 Juni 2019. Saat itu, FPI tidak bisa memenuhi persyaratan untuk memperoleh perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Kementerian Dalam Negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Advertisements

Dalam dokumen Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang diajukan ke Kementerian Dalam Negeri untuk memperoleh perpanjangan SKT, FPI tidak mencantumkan Pancasila sebagai asas. Selain itu, dalam visi dan misi yang tertulis juga dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Seperti disampaikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, visi dan misi yang tercantum dalam AD/ART FPI adalah “penerapan Islam secara kafah di bawah naungan khilafah Islamiyah melalui pelaksanaan dakwah, penegakan hisbah, dan pengawalan jihad” (indonews.id, Kamis, 28/11/2019).

Atas dasar itu, maka Kementerian Dalam Negeri tidak menerbitkan perpanjangan SKT bagi FPI. Sejak saat itu, keberadaan FPI sebenarnya adalah ilegal.  Di mata hukum, ia tidak memiliki legal standing, alias keberadaannya tidak diakui atau dianggap tidak ada oleh negara.

Dengan status “ilegal” itu, sebenarnya aparat penegak hukum sudah bisa mengambil tindakan ketika, sebagai ormas, FPI melaksanakan berbagai kegiatan di ranah publik. Namun aparat penegak hukum terlihat ragu bertindak, dan terkesan ada pembiaran. Baru setelah secara resmi pemerintah menyatakan FPI sebagai organisasi terlarang, aparat penegak hukum mulai mengambil tindakan tegas.

Dengan adanya pembubaran FPI —dan sebelumnya HTI, negara sedang melucuti kekuatan kelompok-kelompok berpaham radikal keagamaan yang dianggap selalu menyebarluaskan radikalisme agama. Radikalisme agama ini juga menjadi pintu masuknya terorisme dalam berbagai bentuknya. Mereka, saat ini, dianggap menjadi ancaman serius bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Banyak negara hancur karena radikalisme agama, dan kita tak ingin Indonesia mengalami nasib serupa.

Tapi pembubaran FPI sesungguhnya bukan merupakan titik henti dan yang paling penting. Sebab, organisasi seperti FPI dan HTI hanyalah amplifier, wadah, dan katalisator dari suatu paham yang disebut radikalisme agama itu. Ketika FPI dan HTI dibubarkan, misalnya, maka penganut dan pengikut radikalisme agama bisa mencari atau membentuk amplifier baru, wadah baru, dan katalisator baru. Memerangi isme, paham, atau kepercayaan memang tak semudah membubarkan FPI dan HTI.

Jadi, di sinilah what next setelah pembubaran FPI menjadi lebih penting. Bukan hanya tugas pemerintah, seluruh komponen bangsa juga memiliki tanggung jawab yang sama untuk menutup seluruh ruang bagi radikalisme untuk merembes, masuk, dan kemudian tumbuh subur hingga menjadi gerakan yang militan.

Jika merunut tumbuh suburnya radikalisme agama pasca-Orde Baru, salah satu yang perlu memperoleh perhatian serius adalah ruang pendidikan. Jika mendalami fenomena yang terjadi, nyaris tak ada pendidikan benar-benar masih steril dari pengaruh dan godaan radikalisme agama, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, baik pendidikan umum maupun keagamaan. Bahkan, pesantren pun, berdasarkan temuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sudah mulai dirambah oleh agen-agen radikalisme dan terorisme ini.

Memang, dalam dekade-dekade terakhir, ada fenomena gelombang pasang gairah keagamaan atau beribadah yang membuncah, namun masih kurang dibarengi dengan pendalaman keilmuannya. Di sekolah-sekolah umum negeri, misalnya, kegiatan-kegiatan keagamaan begitu marak tak ubahnya seperti sekolah keagamaan. Di beberapa tempat pernah ada SMP atau SMA negeri yang mewajibkan siswinya berjilbab. Kalau di lembaga pendidikan Islam siswinya diwajibkan berjilbab masih wajar. Tapi jika itu terjadi di sekolah negeri bisa jadi pertanyaan besar. Lalu, ada juga di sejumlah sekolah yang melarang hormat bendera dalam kegiatan upacara. Contoh lain, belum lama ini di Jakarta, seorang guru sekolah negeri mengarahkan siswanya untuk memilih calon ketua OSIS yang muslim.

Masih banyak contoh-contoh yang terlihat sepele seperti itu di ruang-ruang pendidikan kita, tapi justru itulah bibit-bibit persemaian radikalisme agama. Jangan heran jika suatu hari anak kita pulang dari sekolah membawa pernyataan yang mengagetkan: “Kata guru di sekolah tadi, kita tak boleh bersalaman dengan orang kafir!”

Dengan sistem dan penyelenggaraan pendidikan yang masih membuka ruang bagi masuknya benih-benih radikalisme seperti itu, maka jangan heran kalau kemudian banyak lahir generasi radikalis. Ukurannya jelas, jika masih ada generasi masa kini yang mempersoalkan NKRI dan menggunakan agama untuk merongrong NKRI, artinya ada yang salah dengan pendidikan nasional kita, baik itu pendidikan dalam pengertian umum maupun pendidikan keagamaan, terutama yang menyangkut pendidikan kewarganegaraan-keindonesiaan dan pendidikan keagamaan-keislaman.

Seharusnya, sesuai dengan tingkatan wajib belajar, misalnya, generasi muda kita sudah harus paham akan kewarganegaraannya dan keindonesiaannya. Begitu juga untuk generasi yang belajar di lembaga pendidikan keagamaan. Seharusnya tidak ada lagi lulusan pendidikan agama yang memperhadapkan relasi agama-negara.

Itulah salah satu tugas terpenting setelah FPI dinyatakan sebagai organisasi terlarang: menutup seluruh ruang bagi masuknya radikalisme.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan