Berbicara tentang pondok pesantren memang tak akan pernah lepas tentang dinamika sosial yang terjadi di dalamnya. Pondok pesantren adalah miniatur dari lingkungan sosial masyarakat yang lebih besar. Karena itu, berbagai problematika baik yang bersifat internal maupun eksternal pasti terjadi. Terlebih lagi, pesantren yang memang sudah berdiri sejak dulu. Aksi toxic atau perilaku yang membawa pengaruh negatif adalah salah satu masalah yang masih terus dialami pesantren hingga kini.
Awal januari 2025 kemarin saja, insiden tragis yang dilaporkan oleh detik.com mengungkapkan bahwa seorang santri asal Buleleng, Bali, tewas setelah dikeroyok oleh enam seniornya. Peristiwa yang menimpa salah satu santri Pondok Pesantren Nurul Abror Al Robbaniyin Alasbuluh, Banyuwangi, Jawa Timur, itu menjadi penanda bahwa masalah ini masih marak terjadi. Bahkan, boleh dikata tak kunjung menemukan penyelesaian.

Secara umum, istilah toxic diungkapkan untuk menggambarkan orang yang beracun atau memberikan dampak buruk terhadap orang lain, terutama terhadap psikis. Dari definisi ini jelas bahwa toxic dapat berupa aksi secara verbal maupun non-verbal yang dapat merusak kesehatan mental seseorang. Di lingkungan pesantren, aksi toxic yang biasa terjadi adalah perundungan, baik berupa kata-kata bahkan kekerasan fisik.
Sebagaimana dilaporkan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) pada 2024, tercatat 573 kasus kekerasan yang dilaporkan di lingkungan pendidikan, termasuk sekolah, madrasah, dan pesantren. Angka ini mengalami lonjakan yang signifikan dari tahun ke tahun. Pada 2020 tercatat 91 kasus kekerasan, kemudian pada 2021 meningkat menjadi 142 kasus, 194 kasus pada 2022, dan 285 kasus pada 2023.
Senioritas
Pada dasarnya senioritas bukanlah sebuah masalah, termasuk di dalam lingkungan pesantren. Sebab, senioritas juga memiliki sisi positif, yaitu para senior berperan sebagai pembimbing bagi juniornya. Mereka dapat mengajarkan banyak hal, seperti bagaimana menjalankan kegiatan sehari-hari di pesantren, cara beradaptasi dalam lingkungan yang baru, belajar bersama, hingga berbagi pengalaman hidup yang berharga. Lebih-lebih, senioritas memang tidak akan pernah benar-benar hilang.
Namun, yang perlu digarisbawahi dan sering kali menjadi problematika adalah ketika senioritas disalahgunakan. Akar masalah perundungan di pesantren sebenarnya berasal dari penyalahgunaan ini. Senioritas dianggap sebagai ajang balas dendam atau sarana untuk mendiskriminasi dan mendominasi juniornya. Mulai dari ejekan, pengucilan, pemalakan, hingga pemukulan.
Biasanya santri senior melakukan suatu hal dengan semena-mena yang penting menguntungkan dirinya, tak peduli jika itu merugikan juniornya. Alasan yang sering mereka lontarkan adalah karena mereka juga pernah merasakan hal yang sama dulu, atau hanya sekadar meneruskan budaya yang sudah lama ada di lingkungan tersebut.
Jika fenomena tersebut terus dinormalisasi, korban-korban baru akan terus bermunculan, dan pada akhirnya menciptakan siklus kekerasan yang tak berkesudahan. Tak hanya itu, citra pesantren juga akan rusak, menurunkan kepercayaan masyarakat untuk memondokkan anaknya di pesantren.
Nah, kemudian apa yang mesti dilakukan?
Sepertinya sebagai seorang santri jawaban pertanyaan ini sudah dapat kita ketahui sendiri. Karena pada dasarnya, pesantren adalah tempat untuk membina moral dan karakter. Termasuk hubungan kita dengan sesama manusia atau yang biasa kita kenal dengan ihsan.
Nabi Muhammad sebagai sang proklamator Islam telah banyak mencontohkan tentang cara berinteraksi dan bersosial dengan sesama ciptaan Tuhan, tak luput juga antara senior dan junior, yaitu dengan saling menghormati dan menyayangi.
Secara esensial, kita adalah makhluk sosial yang tetap membutuhkan bantuan orang lain. Dari sinilah kemudian Nabi mengajarkan manusia untuk menumbuhkan rasa kasih sayang di hatinya. Sabda Nabi, “Siapa yang tidak menyayangi, maka ia juga tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebagai penutup, senioritas memang bukan masalah. Namun, yang kerap menjadi problematika adalah ketika senioritas dijadikan sebagai ajang balas dendam, bahkan hingga dijadikan media untuk merundung para junior. Sebagai pemeluk agama Islam yang rahmatan lil’alamin, aksi toxic dan perundungan bukanlah sesuatu yang diajarkan dalam agama kita, sehingga melakukannya hanya akan membuat citra Islam, lebih-lebih pesantren menjadi buruk. Ihdina as-sirath al-mustaqim.
Sumber foto: Unicef.
Senioritas yang melakukan pelanggaran (kekerasan) sama buruknya dengan yang seangkatan atau bahkan yang junior yang juga melakukan tindakan makar. Jadi, siapapun itu (khususnya di pesantren) yang melanggar harus dihilangkan. Saporana,,,