awr3_PI_halalbihalal

Sendok, Gelas, dan Pak Kiai

571 kali dibaca

Jadi santri ndalem bukanlah sesuatu yang mudah. Harus cekatan, sigap dan bertanggung jawab. Khidmah dengan jalan ini ngeri-ngeri sedap. Ngerinya, harus rela korban waktu, mental, dan fisik. Pasalnya jadi santri ndalem kalau dipikir-pikir ya capek. Capek banget malah. Tapi sedap, kebarokahan yang kita dapat tentu berbeda dengan santri umumnya. Kedekatan kita dengan Pak Kiai dan Bu Nyai juga tentu beda.

Menjadi santri ndalem punya penyeleksian yang berbeda setiap pondok. Ada yang dites interview-interview -atau lebih tepatnya ditanya-tanya saja sebagai formalitas, ada yang tes ketanggapan dan kemampuan bidang yang cocok, bahkan ada yang di training dulu hampir-hampir idol kpop hehe. Wajar saja, karena menjadi santri ndalem tidak boleh sembarang.

Advertisements

Tapi, tak sedikit juga pondok-pondok yang langsung menerima santri yang ingin menjadi santri ndalem. Asal bersedia, punya tekad, niat yang bagus, langsung join. Seperti pondok tempat Silfi menuntut ilmu. Siapa santri yang ingin menjadi santri ndalem, tinggal bilang ke senior di sana, nanti diarahkan di bidang apa, beres.

Begitu juga Silfi. Ia ingin sekali berkhidmah dengan jalur ini. Menurutnya kalau tidak sekarang, kapan lagi ia bisa begitu dekat dengan Pak Kiai dan Bu Nyai nya. Kapan lagi ia ngalap berkah seperti ini. Tapi kesan pertama Silfi menjadi “mbak ndalem” tak semulus proses masuknya. Baru hari pertama saja ia sudah keliru.

“Sil, kamu jaga dapur dulu ya. Kayanya belum ada kerjaan serius saat ini,” ucap mbak senior, santri ndalem yang bertugas di dapur.

“Baik, Mbak. Tapi Silfi harus ngapain ya?” jawabnya.

“Gampang. Kamu di sini sama saya. Bantu-bantu masak kalau jam masak mulai, kalau nggak kita duduk-duduk aja nunggu panggilan dari ndalem,” santri senior tadi menjelaskan.

“Baik, Mbak.”

Dua jam berlalu. Tak ada panggilan apapun dari ndalem. Silfi dan seniornya hanya mengobrol-ngobrol saja, sambil sesekali makan camilan yang ada.

“Sil, kamu tak tinggal dulu, ya. Aku kebelet,” ucap santri senior sambil meninggalkannya purat-parit.

“Tapi gimana kalau ada panggilan dari da—.” Silfi tak melanjutkan teriakannya karena memang seniornya sudah pergi jauh menghampiri toilet santri.

Selang beberapa menit terdengar panggilan dari ruang tengah. Panggilannya tak begitu keras, sepertinya memang panggilan Pak Kiai. Silfi kebingungan. Apa yang harus ia lakukan. Apakah menghampiri Pak Kiai, atau menunggu seniornya kembali? Tapi, panggilan itu terus menerus. Bisa saja penting. Silfi pun dengan gugup menghampiri suara khas yang biasanya hanya ia dengar ketika di majlis saja itu.

“Mbak, Mbak,” ucap Pak Kiai.

“Iya, Kiai,” Silfi menunduk mendekati Kiai.

“Mbak, tolong ambilkan @#%$,” suara Kiai mengecil.

“Baik, Kiai,” jawaban Silfi sambil kembali ke dapur.

Sesampainya di dapur, Silfi kebingungan, berusaha mencerna apa yang dikatakan Pak Kiai. Tapi ia tidak fokus, pendengarannya kabur ikut gugup mengingat ini pertama kalinya. Ia mencoba berpikir keras. Yang diminta Pak Kiai sendok atau gelas ya? Hampir lima menit Silfi belum bisa mengambil kesimpulan. Hingga panggilan itu kembalin terdengar.

“Mbak!”

“Ini, Kiai.” Silfi memutuskan membawa gelas, karena ia mengira Pak Kiai hendak minum.

“Apa yang kamu bawa ini, Mbak?” diiringi gelak tawa Pak Kiai.

“Saya meminta sendok, bukan gelas. Mbak menyuruh saya mencicipi puding ini dengan gelas?” Pak Kiai menunjuk puding yang ada di meja sambil tertawa lagi.

Silfi malu. Pipinya langsung memerah. Hari pertamanya tugas sebagai santri ndalem tapi sudah kacau balau. Tak berselang lama ia bergegas ke dapur menggantikan gelas tersebut dengan sendok.

“Ini, Kiai,” Silfi menyodorkan sendok tersebut pada Pak Kiai.

“Terima kasih, Mbak. Lain kali bertanya dulu kalau perkataan saya kurang jelas. Tapi sendok dengan gelas itu cukup jauh pelafalan katanya,” kata Pak Kiai sambil tertawa dan memerhatikan sendok yang dibawa Silfi.

Silfi kembali ke dapur lagi dengan wajah yang lebih merah. Pasalnya memang jauh kata “sendok” menjadi “gelas”. Dasar Silfi. Harusnya ia mencocokkan keadaan juga, yang di hadapan Pak Kiai itu puding, bukan kopi yang harus diseduh.

Silfi menceritakan kejadian yang ia alami kepada seniornya setelah kembali. Seniornya tertawa terbahak-bahak. Tapi, ternyata seniornya juga pernah salah dengar seperti itu, bahkan lebih parah. Disuruh membuat jus malah membuat mi. Padahal jelas-jelas Pak Kiai tidak pernah makan mi. Dasar.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan