Pemerintah Indonesia saat ini tengah menggulirkan proyek besar penulisan ulang sejarah nasional. Program ini melibatkan banyak sejarawan, bertujuan menyusun narasi sejarah Indonesia dalam sepuluh jilid, dan direncanakan rampung pada tahun 2025, bertepatan dengan usia 80 tahun kemerdekaan.
Narasi yang dibangun disebut sebagai “sejarah resmi” dan ingin menekankan perspektif yang disebut “Indonesia-sentris”. Di permukaan, ini terdengar seperti upaya intelektual yang positif. Namun, dalam praktiknya, proyek ini langsung menuai gelombang kritik dari banyak kalangan: sejarawan, akademisi, pegiat HAM, aktivis, hingga masyarakat umum. Beberapa sejarawan bahkan mengundurkan diri dari tim penyusunan karena merasa prosesnya tidak objektif dan terlalu politis.

Yang menjadi sorotan utama adalah kekhawatiran bahwa beberapa bagian penting dari sejarah Indonesia justru dihilangkan atau dipinggirkan.
Misalnya, peristiwa G30S 1965 dan pembantaian massal yang menyusul, penculikan aktivis pada masa Orde Baru, tragedi Mei 1998, pelanggaran HAM di Papua, hingga peran oposisi dan kelompok minoritas.
Banyak pihak curiga bahwa sejarah sedang “dirapikan” untuk menampilkan wajah negara yang bersih dan kuat, sekaligus menonjolkan tokoh tertentu secara berlebihan.
Inilah inti dari kontroversinya: proyek sejarah ini dinilai tidak murni akademis, tetapi sarat kepentingan politik dan pencitraan kekuasaan.
Sejarah yang seharusnya jujur, kompleks, dan apa adanya, malah dikhawatirkan menjadi alat legitimasi dan glorifikasi pihak tertentu.
Sejarah untuk Kekuasaan
Kondisi ini mengingatkan kita pada konsep totalitarianisme historis—sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana rezim totaliter di masa lalu menggunakan sejarah sebagai alat kontrol dan dominasi.
Secara ilmiah, totalitarianisme historis merupakan bentuk dominasi negara atas narasi sejarah secara sistematis dan menyeluruh, dengan tujuan membentuk persepsi kolektif masyarakat sesuai kehendak penguasa.
Konsep ini merupakan turunan dari teori totalitarianisme klasik yang dikembangkan oleh Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism (1951) dan diperkuat oleh Carl J. Friedrich dan Zbigniew Brzezinski dalam Totalitarian Dictatorship and Autocracy (1956).
Menurut Friedrich dan Brzezinski, rezim totaliter memiliki ciri khas berupa; ideologi tunggal yang dominan, sistem partai tunggal, aparat pengawasan (polisi rahasia), monopoli atas media dan komunikasi, monopoli senjata, kontrol penuh atas ekonomi dan pendidikan
Namun dalam praktiknya, totalitarianisme juga bekerja lewat jalur yang lebih halus: melalui penguasaan atas ingatan kolektif dan sejarah nasional.
Inilah yang disebut dengan totalitarianisme historis. Yaitu, suatu kondisi di mana negara menyusun ulang narasi sejarah untuk menyelaraskan masa lalu dengan kepentingan ideologis atau politik kekuasaan saat ini.
George Orwell, dalam novelnya 1984, menggambarkan ini secara tajam: “Who controls the past controls the future. Who controls the present controls the past.”
Ketika sejarah dimanipulasi, maka orientasi masyarakat terhadap masa depan pun bisa dibentuk secara sepihak. Jika hanya satu versi sejarah yang dianggap sah, maka cara berpikir kritis akan mati perlahan. Generasi muda tumbuh tanpa akses terhadap versi alternatif, tidak tahu bahwa sejarah selalu memiliki banyak sisi, dan akhirnya menjadi mudah diarahkan.
Dalam konteks Indonesia, jika proyek penulisan ulang ini terus berjalan tanpa transparansi, tanpa melibatkan suara korban, tanpa menghadirkan keragaman pandangan, maka potensi terjadinya totalitarianisme historis bukan sekadar kemungkinan, tapi ancaman nyata.
Narasi tunggal akan menggantikan dialog sejarah yang seharusnya terbuka. Kritik akan dianggap mengganggu. Mereka yang menulis versi berbeda bisa dicap menyimpang. Dan yang paling tragis: luka sejarah yang belum sembuh, malah dihapus begitu saja dari buku pelajaran.
Bagi sebagian orang, mungkin ini terasa seperti urusan elite atau akademisi. Namun sesungguhnya, ini menyangkut nasib bangsa ke depan.
Sejarah bukan hanya catatan masa lalu, tapi fondasi cara kita melihat dunia, membentuk identitas, dan menentukan sikap terhadap kebenaran.
Kalau sejarah disusun hanya untuk mengamankan kekuasaan, maka rakyat akan kehilangan kemampuan untuk memahami akar masalah, belajar dari kesalahan, dan menuntut keadilan. Korban pelanggaran HAM akan terus hidup dalam ketidakadilan. Dan generasi mendatang akan mempelajari sejarah yang telah disunting sesuai selera politik, bukan kebenaran.
Sejarah yang Jujur
Manipulasi sejarah tidak hanya berdampak pada buku pelajaran atau museum. Ia merusak ingatan kolektif bangsa.
Ketika generasi muda tumbuh dengan versi sejarah yang telah disensor atau diselewengkan, maka mereka kehilangan kemampuan untuk memahami akar ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi hari ini.
Lebih jauh lagi, masyarakat akan kehilangan referensi moral untuk menilai kekuasaan. Ketika kesalahan masa lalu dihapus, pengulangan kesalahan itu akan lebih mudah terjadi.
Dan ketika tokoh-tokoh kontroversial diposisikan sebagai pahlawan, maka narasi kepemimpinan pun akan kehilangan integritas etiknya.
Proyek penulisan ulang sejarah bisa menjadi berkah jika dijalankan dengan niat ilmiah dan kejujuran intelektual.
Tapi jika dipakai sebagai alat untuk membungkam masa lalu dan membentuk narasi tunggal demi penguasa hari ini, maka kita sedang menggali lubang untuk jatuh ke dalam bentuk baru kekuasaan yang manipulatif.
Sejarah harus dijaga agar tetap terbuka, plural, dan berpihak pada kenyataan, betapapun pahitnya. Kita tidak butuh sejarah yang indah, kita butuh sejarah yang jujur. Karena dari kejujuran itulah bangsa bisa bertumbuh, memaafkan dengan sadar, dan melangkah ke masa depan dengan kepala tegak.
Jika hari ini kita membiarkan sejarah dibentuk sepihak, besok yang dibentuk adalah cara berpikir kita sendiri. Maka jangan diam. Karena ingatan adalah hak rakyat, bukan milik negara.
Sumber :
https://www.bbc.com/indonesia/articles/c1j5l41nlywo
Sumber foto: historia.id.