Sedekah Padi dan Krisis Ekologi

685 kali dibaca

Sore. Saya membungkuk bersama kawan saya di balik juntaian padi yang menguning, di antara petak-petak sawah yang sangat luas menjurus ke sebuah laut. Angin senja menyisir persawahan dengan sangat lembut diiringi cericit burung pipit yang memakan padi yang masih utuh di batangnya atau sisa padi yang sudah dipanen oleh pemiliknya. Seorang kakek sedang mendekat dengan mengendarai sepeda ontel ke sebuah petak sawah yang padinya sudah siap panen beberapa hari ke depan. Dibawanya jhajhan ghennak (kembang-kembang dan jajanan pasar) yang dibungkus dengan daun pisang. Kami mengikutinya dari belakang. Sore yang semakin remang membuat kami semakin ahli dalam berkamunflase.

Setelah kami menemukan tempat persembunyian yang tepat untuk mengintai sang kakek, kakek merunduk di sebuah pojok petak sawah. Ya, kembang-kembang dan jajanan pasar ditaruh di situ, dengan menyulut asap kemenyan di atas bara kulit kelapa. Maghrib segera datang, kakek pun kembali pulang. Kami yang masih dalam persembunyian pelan-pelan mengambil jajanan yang ditaruh kakek itu. Kami memakannya dengan penuh rasa senang. Hari yang menyenangkan untuk diceritakan ke teman-teman di surau nanti. Dan mungkin juga kelak kepada anak-anak kami yang sudah tak lagi bisa melakukan hal yang sama.

Advertisements

Cerita di atas merupakan pengalaman saya di kampung halaman waktu masih kanak-kanak. Waktu panen padi tiba merupakan waktu yang sangat menyenangkan bagi kami sebagai anak desa. Memakan jajanan pasar yang ditaruh oleh orang yang padinya mau panen secara gratis tentu pengalaman sangat berharga. Mungkin lebih berharga daripada makanan yang dijajakan di restoran. Ya, jajanan beserta kembang-kembang itu sebagai sedekah padi menjelang panen tiba (ada juga yang menyebutnya slametan padi). Mungkin orang banyak mengenalnya lebih pada sedekah bumi. Tapi, begitulah cara orang-orang terdahulu dalam menghargai bumi yang sudah memberikan segalanya kepada kehidupan manusia.

Di kampung saya, sedekah padi biasanya dilakukan seminggu atau maksimal tiga hari sebelum hari panen padi tiba. Tidak tahu asal-usulnya dari mana, tapi mungkin sudah menjadi  bagian dari kearifan lokal di desa saya. Kebanyakan orang akan datang ke sawahnya (biasanya sore menjelang maghrib) untuk menaruh jajanan tersebut serta dibakarnya kemenyan. Mungkin itu semacam mitos yang dipercaya oleh masyarakat agar hasil panen menjadi berkah dan melimpah. Terlepas dari mitos ataupun tidak, hal tersebut merupakan kearifan lokal masyarakat dalam menghargai hasil bumi  yang Tuhan berikan.

Waktu merenggut segalanya, ketika zaman sudah semakin berkembang maju. Modernitas akhirnya pelan-pelan menimbun kearifan lokal yang ada di desa kami dan mungkin juga di banyak daerah. Saya sudah tak lagi melihat kakek-kakek yang mengendarai sepeda ontel membawa jajanan pasar ke sawah menjelang maghrib. Begitu juga saya tak melihat anak-anak yang berburu jajanan tersebut ke sawah. Mungkin mereka sudah tak mengenal kearifan lokal tersebut. Mereka lebih sibuk pada gawai yang di dalamnya terdapat banyak game online  yang mungkin bagi mereka lebih menyenangkan.

Ada yang hilang dari sebuah zaman. Bukan hanya kearifan lokal sedekah padi, tapi juga kesadaran bahwa berharganya bumi. Hilangnya kesadaran itu bersamaan dengan modernitas yang semakin melaju kencang. Lantas lupa terhadap bumi tempat manusia hidup di dalamnya. Dunia seakan teralihkan ke dalam dunia maya. Tapi begitulah kenyataan hari ini, akhirnya dunia digemparkan oleh isu krisis ekologis yang semakin hari semakin memprihatinkan. Alih-alih menghargai bumi dengan cara sedekah padi atau sedekah bumi, manusia modern justru merusak bumi dengan tanpa merasa bersalah. Akhirnya terjadilah penimbunan sampah, eksploitasi alam secara berlebihan, polusi udara, krisis iklim dan sebagainya.

Mengatasi hal tersebut tentu saja tidak mudah. Artinya di tengah krisis ekologis, kita tetap dipaksa untuk mengikuti perkembangan zaman. Kita tak dapat menolak hal itu. Tapi yang menjadi persoalan adalah bagaimana kesadaran manusia  akan pentingnya menjaga bumi agar tetap sehat dan ramah lingkungan yang menjadi  tugas bersama. Karena teknologi telah menjadi alat utama dalam eksploitasi bumi secara berlebihan. Meskipun kesalahan tidak sepenuhnya terdapat dalam teknologi yang justru hal itu menandakan kemajuan berpikir manusia, tapi yang memprihatinkan kesadaran manusia yang ikut terenggut di dalamnya.

Bersamaan dengan itu, banyak orang yang menganggap bahwa alam atau bumi adalah sesuatu yang eksternal dari diri manusia. Tanah, air, batu, pohon, hewan seolah-olah tak pernah berkontribusi pada kelangsungan hidup manusia. Padahal manusia tak bisa hidup tanpa menghirup oksigen yang dihasilkan dari pepohonan. Dengan paradigma eksternal tersebut yang kemudian membuat manusia kehilangan kesadaran dan mengeksploitasi alam secara berlebihan.

Maka, di sinilah pentingnya membangun kembali  kesadaran tentang pentingnya merawat bumi tempat kita hidup. Menganggap segala yang ada di bumi atau alam ini sebagai sesuatu yang penting bagi kelangsungan hidup kita. Pemikiran eksploitatif yang didasarkan pada nafsu manusia tanpa memikirkan kebaikan bersama ini yang perlu kita benahi bersama-sama. Merusak alam, itu artinya juga merusak diri kita sendiri. Belum lagi jika melihat jangka panjang kehidupan manusia ke depan, yang mana anak-cucu kita yang akan menghuninya.

Kemajuan teknologi tentu saja sebuah hal yang tak bisa ditolak sebagai penanda kemajuan, tapi kearifan lokal tidak jauh lebih penting di mana di dalamnya selalu terkandung nilai-nilai yang patut kita pertahankan sampai kapanpun. Kearifan sedekah padi, merupakan satu contoh penghargaan terhadap bumi yang memberikan kita ruang hidup. Betapa penghargaan semacam itu sangat penting, karena hal itu sebagai wujud dari rasa syukur kita kepada Tuhan yang telah memberikan rezeki melimpah. Maka, di sinilah pentingnya kita merawat kearifan lokal yang ada seperti sedekah padi, sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Tuhan dan untuk menjaga bumi manusia.

Yogyakarta, 27 Mei 2023.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan