Santri Penghuni Toilet

2,109 kali dibaca

Bapak teknologi Indonesia yang visioner, BJ Habibie pernah mengatakan, “Jika engkau ingin mengenal dunia, membacalah. Dan jika engkau ingin dikenal dunia, maka menulislah.”

Seperti halnya bagi Abdu, menulis adalah proses menuju keabadian. Dengan menulis, seseorang yang telah tiada bisa menjadi abadi. Jasad boleh tiada, tetapi jasa berupa karya tulis akan tetap dikenang, selamanya.

Advertisements

Alasan ini pula yang melatarbelakangi tekad kuat Abdu untuk menjadi seorang penulis. Namun apalah daya, lingkungan pondok pesantrennya tidak mendukung terhadap apa yang dia harapkan selama ini. Dari sebab inilah, Abdu agak pesimis untuk melanjutkan niatnya. Hingga pada akhirnya, Abdu memutuskan untuk mengurungkan niatnya dengan alasan sederhana: lingkungan tidak mendukung.

Meskipun Abdu telah mengurungkan niat pertamanya, hal itu tidak menjadikan dia jauh dari dunia literasi. Karena, prinsipnya, harapan untuk dikenal dunia boleh saja gagal, tetapi tidak dengan niat keduanya; yakni mengenal dunia. Buku adalah jendela pengetahuan.

Oleh sebab itu, hari demi hari dia habiskan dengan membaca, membaca apa saja yang bisa dia baca. Mulai dari baca buku, koran, majalah, atau bahkan membaca keadaan di lingkungan sekitarnya. Sehingga, ke mana pun dia akan pergi, kurang lengkap rasanya jika tidak membawa buku. Seakan-akan, membawa buku dikala bepergian merupakan fardlu ‘ain baginya.

Hingga suatu ketika, dari kebiasaannya membaca, Abdu menemukan pendapat seorang tokoh, yang menjadi motivasi untuk menggerakkan kembali niat lama yg dulu diurungkannya; yakni menulis. Dalam literatur yang dia baca, seorang tokoh berkata, “Intelektual sejati adalah sosok yang tidak tunduk terhadap kenyataan. Dengan kata lain, seorang intelektual sejati harus mampu menciptakan terobosan-terobosan baru yang lebih bermanfaat untuk dirinya, lebih-lebih untuk lingkungannya.”

Dari pendapat inilah, Abdu mengerti bahwa seorang intelektual sejati harus berani menciptakan perlawanan terhadap apa saja, termasuk lingkungan. Entah yang bermanfaat (baik) atau sebaliknya. Andaipun bermanfaat, setidaknya mampu menciptakan hal-hal yang lebih bermanfaat lagi, lagi, dan lagi. Sebab itu pula, dalam jiwa Abdu muncul lagi semangat baru untuk meneruskan niat pertamanya; yakni dikenal dunia.

Sampai di tengah perjalanan, Abdu merasa bingung untuk memulai dari mana niat baiknya itu terwujud. Dia dibuat pusing tujuh keliling terhadap apa yang akan dia tulis. Hingga tiba saatnya, di mana Abdu membaca sebuah buku, di dalamnya menjelaskan tentang syarat utama sebelum menulis, yakni membaca. Karena itu, Abdu semakin bersemangat dalam membaca.

Hari demi hari Abdu lewati dengan membaca. Membaca, membaca, dan membaca. Hingga sampailah, di mana Abdu membaca koran Jawa Pos edisi hari Minggu, di mana terdapat rubrik “Halte” pada saat itu. Kebetulan termuat tulisan Eka Kurniawan, yang berjudul Maaf, Mau Ke Belakang. Di situlah Abdu gembira tiada tara, ketika mendapat bocoran tentang di mana suatu ide tulisan akan muncul/terbesit.

Di samping sekian lamanya Abdu membaca, tetapi belum bisa menciptakan satu pun karya tulis. Akhirnya, Abdu mencoba hal yang disampaikan Eka Kurniawan dalam esainya itu, yakni ke toilet. Setiap kali dia ke toilet, Abdu mengusahakan membawa seperangkat alat tulis (buku dan bulpen). Bahkan lebih konyolnya lagi, meskipun tidak ada hajat, tetap dia paksakan ke toilet.

Teman kamarnya yang sering berpapasan dengan Abdu di toilet, mulai curiga melihat tingkah lakunya yang konyol. Hingga sampai saatnya, kebiasaan konyol Abdu terbongkar, yang diam-diam menulis di dalam toilet. Akibatnya, Abdu sering di-bully teman sekamarnya. Namun apalah daya, Abdu tidak bisa membela diri, berhubung dari sekian tulisan yang berhasil dia buat di toilet, tidak satu pun yang termuat di media. Tetapi Abdu pantang menyerah, setiap kali mendapat perlakuan tidak enak dari teman kamarnya, Abdu memilih bersabar, seraya berkata, “Akan aku ciptakan Jogja-jogja kecil di sini.” Mendengar jawaban Abdu, teman sekamarnya tambah ketawa.

Suatu hari tanpa disangka-sangka, email Abdu mendapatkan balasan dari salah satu media online. Itu pertanda, salah satu tulisan yang Abdu kirim sebelum-sebelumnya dinyatakan lolos seleksi dan siap diterbitkan di hari yang telah ditentukan oleh pihak redaksi.

Tetapi Abdu tidak percaya ini, Abdu belum bisa menerima secara yakin bahwa salah satu tulisannya akan dimuat oleh salah satu media online. Baginya, ini adalah mimpi, hal di luar dugaannya. Tepat di sampingnya langsung, saya sendiri melihat secara jelas bagaimana ekspresi wajah Abdu melihat notifikasi yang diterimanya. Sebagai temannya, saya ikut senang.

Akhirnya melihat keberhasilan Abdu, teman sekamar pun bangga, terharu, sekaligus bercampur malu. Bagaimana tidak, teman-teman ingat sekali ketika kompak merundung Abdu ketika hendak pergi ke toilet; lalu bagaimana respons Abdu ketika dirisak, dia membalasnya dengan senyuman yang dipaksakan. Tetapi ketika Abdu berhasil, apresiasi berupa pujian pun tiada henti mengalir untuk Abdu.

Dengan kesetiannya bersama buku, dengan kesabarannya menerima cacian, dengan kegigihannya untuk tetap menulis, Abdu yang dulu berbeda dengan Abdu yang sekarang. Di mana, hari demi hari dihabiskan dengan menulis, waktu demi waktu pun dihabiskan untuk membaca. Akhirnya, tulisan demi tulisan yang telah ditulisnya, banyak diterima di berbagai media ternama.

Walhasil, ini menjadi pelajaran untuk kita semua, bahwa proses tidak akan mengkhianati hasil. Selagi kita berusaha, di situlah ada kemudahan. Naasnya, ketika kebiasaan Abdu di toilet saya terapkan, yang ada bukan menghasilkan tulisan, tetapi malah mangundang kemarahan santri yang lain karena harus terlalu lama ngantre di toilet, he-he-he. Wallahu A’lam.

Catatan: berdasarkan kisah nyata.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan