Santri dan Tanggung Jawab Intelektual

207 views

Dalam tradisi pesantren, kita diajarkan untuk mencintai ilmu dengan sepenuh hati. Kita belajar nahu, saraf, balaghah, manthiq, bahkan hingga ilmu hadis dan ushul fikih, sebagai perangkat untuk memahami teks dan ajaran Islam. Ilmu-ilmu ini, yang dikenal sebagai ilmu alat, telah menjadi fondasi utama bagi siapa pun yang ingin menyelami khazanah keislaman klasik.

Namun, seiring berjalannya waktu, dalam menghadapi problematika sosial keagamaan masa kini, kita perlu mengakui kenyataan yang kadang menyakitkan bagi sebagian kalangan: ilmu alat saja tidak cukup. Tetapi perlu saya klarifikasi ulang, bahwa bukan berarti ia tidak penting dan ketinggalan zaman. Tidak. Saya katakan ilmu alat amat sangat penting, apalagi ia merupakan warisan dari ulama-ulama terdahulu, yang dengan mempelajarinya selain menambah wawasan, juga membuat kita menyambung tali batiniah dengan alim-‘allamah melalui keterhubungan sanad keilmuan kita.

Advertisements

Tradisi yang Mulia, Tapi Tak Boleh Mandek

Tidak ada yang salah dengan mempertahankan tradisi. Bahkan, tradisi pesantren kita adalah warisan intelektual yang sangat berharga. Tetapi masalah muncul ketika tradisi itu dianggap final dan satu-satunya cara melihat kebenaran. Ketika seorang santri merasa cukup dengan ilmu alat lalu menutup diri dari pendekatan lain, di situlah stagnasi dimulai.

Sebagai contoh, beberapa hari ini, ada salah satu teman di Instagram yang membuat postingan mengenai sebuah kitab yang membahas seksualitas, yaitu Fathul Izar. Ia mengkritik dari berbagai sudut pandang akademik (mulai dari latar penulisan kitab, kredibilitas sumber, penulisan, dan lain sebagainya, bisa dibaca dalam postingan oleh @a.nande_) muncullah reaksi defensif dari sebagian kalangan santri: “sangat disayangkan ketika kritik yang muncul seolah bertumpu pada ilmu modern, sedangkan ilmu alat kurang dijadikan pijakan.” Bahkan, kritik semacam itu dianggap sebagai bentuk “kontaminasi” dari dunia luar.

Padahal, apakah tidak mungkin justru dunia luar itu membawa kacamata baru yang membantu kita membaca ulang dunia Islam secara lebih jernih dan relevan?

Membedakan Alat dan Tujuan

Ilmu alat adalah sarana untuk memahami teks. Tapi memahami dunia membutuhkan lebih dari sekadar memahami teks. Dunia ini tidak tertulis dalam bentuk syair atau matan, melainkan dalam bentuk realitas sosial yang kompleks: relasi kuasa, dinamika gender, politik identitas, kapitalisme digital, dan banyak lagi.

Bayangkan jika seorang ahli nahu mencoba membaca persoalan radikalisme hanya dari tarkib kalimat atau fi’il madhi. Atau, seseorang yang mengandalkan saraf untuk menilai kompleksitas praktik atau laku sosial keagamaan dalam masyarakat urban. Tentu pendekatan seperti ini akan menemui jalan buntu.

Untuk memahami itu semua, kita butuh ilmu sosial, antropologi, filsafat, sosiologi pengetahuan, bahkan kajian gender dan media. Semua ini bukan untuk menggantikan ilmu alat, tapi melengkapinya.

Otoritas Bukan Berarti Kekebalan Kritik

Sebagian orang menganggap kitab-kitab pesantren tidak boleh dikritik kecuali oleh mereka yang menguasai sanad dan ilmu alat secara mendalam. Tapi kita juga harus jujur: tidak semua yang ditulis dengan bahasa Arab gundul itu benar secara mutlak. Boleh jadi kitab-kitab tersebut dijadikan pijakan jika memang layak, pun tidak menutup kemungkinan untuk membatasinya jika terkesan membahayakan bagi awam.

Apalagi jika kita membahas hal-hal yang menyentuh tubuh manusia, seksualitas, atau hubungan gender, maka pendekatan empiris dan interdisipliner menjadi sangat penting. Menulis tentang tubuh perempuan, misalnya, bukan sekadar perkara fikih dan hadis, tapi juga perkara etika, keilmuan, bahkan kesehatan masyarakat.

Mengaji dan Membaca Dunia

Tantangan santri hari ini bukan hanya menghafal Alfiyah atau memahami Jawahirul Balaghah, tetapi juga mampu membaca realitas dengan jernih. Dan realitas itu tidak selalu bisa dijelaskan dengan qiyas atau kaidah ushul, tapi juga dengan observasi, riset, dan dialog lintas keilmuan.

Kita bisa tetap salaf, tetap menjaga adab, tetap cinta turats. Tapi kita juga harus rendah hati untuk belajar dari ilmu lain. Bahkan Imam al-Ghazali sekalipun tidak menutup diri dari filsafat dan logika Yunani. Lalu mengapa kita, yang ilmunya jauh di bawah beliau, merasa cukup dengan hanya satu jalan?

Sekali lagi mungkin amat sangat perlu saya tegaskan, bahwa ilmu alat memang penting, sangat penting. Tapi ketika digunakan sebagai satu-satunya kacamata untuk memahami dunia Islam hari ini, kita justru sedang membatasi potensi keilmuan kita sendiri. Di sinilah letak tantangan besar santri hari ini: bukan sekadar menjaga tradisi, tapi juga merawat keberanian untuk menyeberang dan belajar dari luar.

Karena Islam tidak hanya tentang menghafal yang telah lalu. Kita sebagai pewarisnya juga selalu siap dan siaga untuk membaca yang sedang terjadi, bahkan merumuskan masa depan agar kehidupan tetap seimbang. Sehingga misi Islam pun sebagai Rahmah bagi alam semesta mampu terealisasikan, tidak hanya sebagai cita-cita belaka.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan