Dalam tradisi pesantren, kita diajarkan untuk mencintai ilmu dengan sepenuh hati. Kita belajar nahu, saraf, balaghah, manthiq, bahkan hingga ilmu hadis dan ushul fikih, sebagai perangkat untuk memahami teks dan ajaran Islam. Ilmu-ilmu ini, yang dikenal sebagai ilmu alat, telah menjadi fondasi utama bagi siapa pun yang ingin menyelami khazanah keislaman klasik.
Namun, seiring berjalannya waktu, dalam menghadapi problematika sosial keagamaan masa kini, kita perlu mengakui kenyataan yang kadang menyakitkan bagi sebagian kalangan: ilmu alat saja tidak cukup. Tetapi perlu saya klarifikasi ulang, bahwa bukan berarti ia tidak penting dan ketinggalan zaman. Tidak. Saya katakan ilmu alat amat sangat penting, apalagi ia merupakan warisan dari ulama-ulama terdahulu, yang dengan mempelajarinya selain menambah wawasan, juga membuat kita menyambung tali batiniah dengan alim-‘allamah melalui keterhubungan sanad keilmuan kita.

Tradisi yang Mulia, Tapi Tak Boleh Mandek
Tidak ada yang salah dengan mempertahankan tradisi. Bahkan, tradisi pesantren kita adalah warisan intelektual yang sangat berharga. Tetapi masalah muncul ketika tradisi itu dianggap final dan satu-satunya cara melihat kebenaran. Ketika seorang santri merasa cukup dengan ilmu alat lalu menutup diri dari pendekatan lain, di situlah stagnasi dimulai.
Sebagai contoh, beberapa hari ini, ada salah satu teman di Instagram yang membuat postingan mengenai sebuah kitab yang membahas seksualitas, yaitu Fathul Izar. Ia mengkritik dari berbagai sudut pandang akademik (mulai dari latar penulisan kitab, kredibilitas sumber, penulisan, dan lain sebagainya, bisa dibaca dalam postingan oleh @a.nande_) muncullah reaksi defensif dari sebagian kalangan santri: “sangat disayangkan ketika kritik yang muncul seolah bertumpu pada ilmu modern, sedangkan ilmu alat kurang dijadikan pijakan.” Bahkan, kritik semacam itu dianggap sebagai bentuk “kontaminasi” dari dunia luar.
Padahal, apakah tidak mungkin justru dunia luar itu membawa kacamata baru yang membantu kita membaca ulang dunia Islam secara lebih jernih dan relevan?