Santri dan Riset

74 views

Saya beruntung bisa hadir dalam rangkaian kegiatan pelatihan penulisan kreatif dan jurnalistik di Pondok Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Kamis-Jumat (29-30/5/2025) lalu.

Saya kebagian mengisi materi tentang metodologi riset di hari kedua, setelah materi penulisan cerpen yang disampaikan sastrawan Putu Fajar Arcana. Di hari pertama, peserta memperoleh materi penulisan opini dan dasar-dasar jurnalistik yang disampaikan Redaktur Kompas Hilmi Faiq dan Mukhlisin Ashar dari jejaring duniasantri.

Advertisements

Merupakan tantangan tersendiri bagi saya, bagaimana membicarakan metodologi penelitian di hadapan para santri yang notabene lebih bergelut dengan khazanah ilmu-ilmu agama, yang secara umum menggunakan kajian berbasis teks, khususnya kitab-kitab klasik. Untuk itu saya memutuskan untuk menjadikan sesi pelatihan sebagai “perkenalan”, dalam arti tidak fokus kepada detail-detail metodenya, melainkan memberi gambaran mengenai dunia penelitian itu sendiri, khususnya melalui kacamata ilmu sosial yang memusatkan kajiannya pada dinamika sosio-kultural masyarakat.

Menurut hemat saya, pada akhirnya santri harus mengenal metode penelitian juga. Mau tidak mau, pada era digital dan kompleksitas kehidupan modern yang semakin rumit, santri sedikit-banyak perlu dibekali kemampuan bermetode, dalam arti meneropong realitas sosio-kultural masyarakat melalui kacamata ilmiah.

Dengan keyakinan inilah, saya merangkai sesi pelatihan yang berfokus pada metode kualitatif, yakni melalui wawancara dan pengamatan. Saya mencoba menjelaskan prosedur-prosedur penelitian ilmiah sebagai suatu proses metodologis, dalam rangka mendapatkan data yang valid, reliable, dan berkualitas.

Alhamdulillah, responnya cukup baik. Para peserta terlihat antusias dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dibuka melalui berbagai teknik penelitian kualitatif. Hak itu nantinya saya harapkan dapat memberi keyakinan bagi mereka untuk tidak takut atau ragu-ragu dalam mengembangkan penelitian sendiri.

Dunia penelitian bukan dunia yang “menyeramkan” atau “misterius”, yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang “pilihan”. Tidak. Dunia penelitian sesungguhnya dunia yang biasa-biasa saja, sewajar kita menjalani hidup sehari-hari. Metode penelitian bukan aturan-aturan yang harus “disembah”, melainkan sekadar penuntun bagi kita untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dari penelitian itu sendiri. Meski buku-buku metodologi (dan kelas-kelas metodologi di kampus) memang terlihat pelik, jelimet, dan cukup memusingkan, dalam praktiknya penelitian adalah kegiatan yang “normal” saja dalam dunia akademik.

Saya bahkan sengaja menyitir potongan Sajak Sebatang Lisong karya WS Rendra: “…Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing/Diktat-diktat hanya boleh memberi metode/ tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan/Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa/mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang nyata.”

Puisi yang ditulis tahun 1977 ini, menurut saya masih sangat relevan. Kalau kita tidak bekerja melakukan penelitian sendiri, maka takdir kita sebagai “konsumen” pengetahuan yang dijejali “rumus-rumus asing” tidak akan berubah. Dan kita tidak mungkin memproduksi pengetahuan, kecuali dengan turun ke jalan raya, ke desa-desa, dan mencatat sendiri semua gejala dan menghayati persoalan yang nyata di masyarakat.

Sedikit-banyak spirit semacam inilah yang ingin saya tularkan, melalui sesi pendek pelatihan dasar-dasar penelitian di Pesantren Cipasung, yang berlangsung kurang-lebih dua jam. Dan sekali lagi, alhamdulillah, respon para santri yang menjadi peserta sangat baik. Saya kagum dengan semangat mereka dalam mereguk ilmu-ilmu baru, bahkan untuk sesuatu yang mungkin agak asing bagi mereka, seperti metode penelitian sosial yang saya bawakan.

Akhirul kalam, saya berucap syukur ke hadirat Tuhan, bahwa pelatihan terselenggara dengan baik dan memuaskan. Saya berharap ini adalah langkah awal bagi para santri untuk semakin mengenal dunia luas, yakni dunia sosio-kultural masyarakatnya sendiri. Bagaimana pun mereka kelak harus turun ke lapangan, terjun ke masyarakat, bahkan tidak mustahil menjadi tokoh-tokoh yang berpengaruh dan menjadi anutan, role-model, bagi masyarakatnya. Jika sudah terasah keilmuan agamanya, kemudian ditambahkan dengan kepekaan ilmiah untuk menganalisis masyarakatnya, saya yakin mereka akan semakin gesit dan lincah dalam bermanuver membawa masyarakatnya ke arah yang lebih baik. Wawasan mereka sebagai tokoh-tokoh agama dan/atau tokoh-tokoh publik pada gilirannya akan semakin membumi dalam mengenali kodrat lokalitasnya dengan baik, sehingga tidak terjebak dengan “rumus-rumus asing” yang selama ini mendikte kita.

Bagi saya, riset dan metode penelitian adalah salah satu jalan “melingkar” yang memungkinkan bangsa ini menemukan jati dirinya dengan lebih mudah dan lebih cepat. Indonesia sebagai bangsa yang plural dan penuh keragaman seharusnya merupakan tantangan ilmiah yang perlu kita sambut dengan tangan terbuka. Termasuk, atau terlebih-lebih lagi bagi para santri, yang telah dididik di pesantren yang tidak saja suatu lembaga pendidikan melainkan juga “laboratorium budaya” bagi masyarakatnya.

Semoga kelak semakin banyak ustaz dan alim ulama yang terjun ke kancah penelitian, sehingga menjadi “kai plus-plus”, kiai yang tidak hanya menguasai khazanah keilmuan Islam klasik, melainkan juga memiliki kepekaan ilmiah yang tinggi dalam membaca dinamika sosial-budaya masyarakatnya yang semakin kompleks ini.

Terima kasih Pesantren Cipasung yang telah menyambut kami dari jejaring duniasantri dengan baik dan menerima kami sebagai keluarga. Semoga ke depan menjadi spirit bersama kita untuk memajukan dunia pendidikan dan dunia ilmiah kita, agar bangsa Indonesia lebih kokoh dan kompetitif bersama bangsa-bangsa lain dalam memajukan kemanusiaan dan peradaban di muka Bumi ini.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan