Santri dan Post Truth

842 kali dibaca

Post truth merupakan era yang ditandai dengan kesimpangsiuran informasi di mana kebenaran menjadi hal yang sangat sulit diidentifikasi. Banyak orang menggunakan informasi-informasi justru untuk menciptakan kebenaran subjekitf yang bertujuan untuk membela kelompok mereka masing-masing. Hal ini berdampak kepada penghakiman bahkan kriminalisasi kelompok yang dianggap berseberangan dengannya.

Kehadiran post truth dikarenakan beberapa kondisi yang ada di masyarakat saat ini, seperti pesatnya perkembangan teknologi. Dengan perkembangan teknologi, masyarakat merasa nyaman dengan berbagai macam informasi yang diproduksi dan diterima atau dapat dipilih. Selain itu, ketika pesan di media menjadi sesuatu yang memiliki sensasi yang tinggi dan spektakuler, hal seperti ini yang menyuburkan post truth.

Advertisements

Menurut Ibnu Hamad, profesor ilmu komunikasi FISIP Universitas Indonesia, post truth merupakan wacana pada umumnya, yang pembentukannya melibatkan tiga elemen penting pembentukan wacana. Pertama, framing atau seleksi muatan wacana, baik dalam aspek masalah atau tema, situasi atau waktu, atribusi atau karakter, argumen atau alibi, alur cerita maupun risiko dan tanggung jawab.

Kedua, signing atau pemilihan tanda (sign) dalam bentuk kata, istilah, gambar, simbol, frasa slogan, termasuk dalam urutan, ukuran, tipe, dan warna. Dalam wacana post truth, tanda bahasa lebih dari sebatas mewakili realitas, tetapi justru mengkonstruksi realitas.

Ketiga, priming atau penonjolan, yaitu wacana itu sebisa mungkin sampai ke audien melalui langkah-langkah secara simultan; memperbesar peluang untuk diakses (opportunity to acces/OTA), peluang untuk dibaca (opportunity to read/OTR), peluang untuk diingat (opportunity to memorize/OTM), dan peluang untuk dibagi (opportunity to share/OTS).

Santri di Era Post Truth

Sebagai penerus ulama, santri diharapkan sebagai tonggak untuk pembawa estafet kebenaran di masa yang akan datang. Disebabkan hal ini, dalam dunia pesantren, santri tidak cukup dibekali dengan keilmuan agama, melainkan juga life skill (kecakapan hidup) dan akhlak. Ini merupakan sebuah proses pendidikan kemanusiaan yang lebih sempurna, seperti halnya investasi SDM jangka panjang yang berasaskan akhlakul karimah dan berlabel keindonesiaan.

Dengan demikian, santri yang dikenal sebagai manusia yang memiliki kecerdasan organik yang luwes dalam menyikapi berbagai problem kebangsaan memiliki tugas sejarah memanggil kaum sarungan untuk terlibat dan melibatkan diri tampil di atas panggung publik, bukan malah sebaliknya, memilih mengasingkan diri dari ruang lingkup sosial.

Di era post truth ini saatnya santri melakukan counter culture dan kontra narasi terhadap informasi yang menimbulkan kebencian dan kebohongan. Tidak cukup hanya berbekal literasi, hal ini membutuhkan yang namanya ketahanan moral (moral resilience) yang fleksibel demi menyembuhkan luka panjang penuh kebohongan. Hal ini sangat penting seperti halnya semangat resolusi jihad yang dikobarkan KH Hasyim Asy’ari, manusia tak boleh tinggal diam melawan narasi kelancungan dan dusta untuk kemudian tampil membangun bangsa dan negara.

Dengan demikian, tugas santri nantinya adalah mengkonter paham-paham yang ekseklusif secara ideologi agama maupun negara. Selain itu, santri diharapakan dapat memberikan sebuah kekayaan paradigma kepada semua orang untuk bersikap terbuka dalam melihat wacana kekinian, sehingga cenderung bersikap inklusif. Semua ini nantinya dapat berperan penting dalam membangun dunia media komunikasi yang baik di ruang cyber maupun ruang kehidupan sosial lainnya.

Referensi:

Muhammad War’i, Nalar Santri: Studi Epistemologis Tradisi Pesantren.
Abdurrachman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan agama dan tradisi.
Badrut Tamam, Pesantren, Nalar, dan Tradisi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan