Santri dan Pesantren di Mata Dunia

13 views

Barat terus berusaha dalam hegemoninya tentang Islam dan modernitas, dan ditengah itu, entitas lokal seperti santri dan pesantren tampak sebagai anomali. Di satu sisi, mereka adalah produk tradisional yang tumbuh di luar sistem pendidikan formal kolonial. Di sisi lain, mereka justru menjadi fondasi Islam Nusantara yang berhasil menjaga keberagaman dan kedamaian. Ketika dunia internasional sibuk mencari narasi Islam yang damai dan inklusif, pesantren di Indonesia menyodorkan jawaban nyata. Tidak berupa debat teoritis, tetapi lewat praktik keseharian.

Namun, posisi strategis ini tak selalu mendapat pengakuan yang proporsional. Pandangan dunia terhadap pesantren dan santri masih dibentuk oleh prasangka, disederhanakan oleh stereotip, dan kadang dimanipulasi oleh logika politik global. Maka menjadi penting untuk mengajukan satu pertanyaan kunci: mengapa dunia internasional masih ambivalen dalam memandang pesantren?

Advertisements

Dua Wajah Reduksi Islam

Pasca peristiwa 11 September 2001, dunia mengalami pembelahan ideologis dalam memandang Islam. Negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutunya, meluncurkan “perang melawan terorisme” yang dalam praktiknya sering kali menyeret institusi-institusi Islam ke dalam ranah kecurigaan. Sekolah Islam, madrasah, hingga pesantren pun tak luput dari sorotan. Islam direduksi menjadi dua wajah: Islam “baik” yang pro-demokrasi, dan Islam “buruk” yang diasosiasikan dengan radikalisme.

Dalam konteks ini, pesantren mengalami ambiguitas posisi. Di satu sisi, mereka merupakan pusat transmisi keislaman. Di sisi lain, mereka tidak selalu kompatibel dengan narasi demokrasi liberal Barat yang menjadikan sekularisme sebagai parameter tunggal rasionalitas. Dunia internasional kerap gagal memahami bahwa nilai-nilai pesantren tidak identik dengan fundamentalisme, melainkan menawarkan bentuk religiusitas yang kontekstual dan berakar.

Bukan Objek Globalisasi

Salah satu kesalahan mendasar dalam membaca pesantren adalah anggapan bahwa ia adalah objek pasif dari arus global. Narasi ini lahir dari paradigma developmentalis yang melihat dunia dalam kerangka “negara maju vs negara berkembang.” Dalam perspektif ini, institusi lokal seperti pesantren dianggap usang dan harus direformasi agar sejalan dengan standar global—standar yang ironisnya, sangat bias Barat.

Padahal, pesantren justru menjadi bentuk perlawanan epistemik terhadap hegemoni global. Ia adalah ruang alternatif yang menolak dikolonisasi oleh cara berpikir sekuler-rasionalis semata. Di pesantren, santri dididik untuk tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan sosial. Ini adalah bentuk pendidikan holistik yang jarang ditemukan dalam sistem pendidikan modern yang semakin teknokratik dan depolitis.

Santri bukan sekadar pelajar agama. Ia adalah subjek historis yang terlibat aktif dalam dinamika sosial-politik bangsa. Dari perlawanan terhadap kolonialisme hingga reformasi, santri selalu hadir sebagai aktor perubahan. Dunia internasional yang terbiasa memandang umat Islam sebagai obyek harus mulai belajar melihat santri sebagai agen dengan agensinya sendiri.

Narasi Alternatif dan Islam Kultural

Salah satu kekuatan utama pesantren adalah kemampuannya merawat Islam kultural—sebuah bentuk Islam yang hidup berdampingan dengan budaya lokal tanpa kehilangan substansi ajarannya. Di Indonesia, kita tidak melihat benturan antara Islam dan budaya seperti yang terjadi di banyak negara lain. Islam masuk dengan damai, beradaptasi, dan berkembang menjadi kekuatan sosial.

Model Islam seperti ini mulai menarik perhatian dunia, terutama ketika model Islam politik atau Islam puritan gagal menyelesaikan persoalan sosial di berbagai negara Muslim. Islam kultural yang dirawat pesantren menawarkan paradigma alternatif: Islam tidak harus identik dengan negara teokratis, tetapi bisa menjadi kekuatan moral dalam masyarakat sipil.

Pandangan ini perlahan-lahan mulai diakui. Lembaga-lembaga internasional mulai melibatkan pesantren dalam dialog antaragama, pendidikan perdamaian, dan pembangunan sosial. Namun, pengakuan ini belum cukup. Dunia internasional masih lebih banyak memberi panggung kepada elite-elite Muslim urban yang terdidik di Barat ketimbang kepada kiai-kiai kampung yang telah membina ribuan santri dalam keheningan dan ketekunan.

Politik Representasi dan Kegagapan Negara

Salah satu sebab utama kenapa pesantren tidak sepenuhnya dihargai di level internasional adalah buruknya politik representasi. Negara sering kali lebih memilih menghadirkan wajah-wajah Islam modern yang sesuai dengan selera diplomasi global—tokoh-tokoh Muslim yang berbicara dalam bahasa Inggris fasih, berpenampilan rapi, dan membawa label “moderat” yang diterjemahkan secara sempit.

Padahal, moderasi bukan soal penampilan atau gaya bicara, melainkan soal komitmen pada nilai-nilai keadilan, toleransi, dan keterbukaan. Pesantren telah membuktikan semua itu dalam praksisnya, tetapi karena tidak masuk dalam radar media global atau kebijakan luar negeri negara-negara besar, mereka tetap berada di pinggiran.

Ini adalah kegagapan negara dalam membangun diplomasi kebudayaan yang autentik. Alih-alih menjadikan pesantren sebagai soft power yang strategis, negara justru terjebak dalam pendekatan formalistik yang menjauhkan pesantren dari percaturan global.

Pesantren, Kapitalisme Global, dan Tantangan Internal

Ironisnya, ketika dunia mulai melirik pesantren, justru di dalam negeri pesantren menghadapi tantangan yang sangat besar: komersialisasi pendidikan, tekanan standar kurikulum nasional, dan infiltrasi nilai-nilai neoliberal. Banyak pesantren dipaksa bertransformasi agar “kompetitif” secara pasar, tanpa sadar mengorbankan otonomi kulturalnya.

Di titik ini, pertanyaannya bukan hanya “bagaimana dunia memandang pesantren“, tetapi “bagaimana pesantren memandang dirinya sendiri di tengah tekanan global“. Apakah pesantren akan tetap menjadi ruang pembebasan, atau justru menjadi lembaga teknokratik yang kehilangan ruhnya?

Perlu ada kesadaran kolektif di kalangan santri dan kiai bahwa mempertahankan identitas pesantren bukan berarti menolak modernitas, tetapi menolak dikendalikan oleh logika tunggal modernitas ala Barat. Pesantren harus terus membangun poros pengetahuan alternatif—baik melalui publikasi, digitalisasi, maupun kerja sama internasional yang berbasis kesetaraan.

Politik Identitas Global

Dunia saat ini sedang memasuki fase baru: krisis identitas global. Ketika ekonomi kapitalistik gagal menjawab kegelisahan eksistensial manusia, identitas—termasuk identitas keagamaan—menjadi medan pertarungan baru. Dalam konteks ini, Islam sering kali dimanipulasi menjadi alat mobilisasi politik, baik oleh negara maupun kelompok ekstrem.

Santri, dengan basis pendidikannya yang membumikan ajaran Islam ke dalam realitas sosial, memiliki peran strategis. Ia bisa menjadi penengah dalam pusaran politik identitas. Tapi hal ini hanya bisa terwujud jika santri juga terlibat aktif dalam diskursus global—tidak hanya menjadi konsumen gagasan, tetapi juga produsen narasi.

Sudah waktunya santri menulis, berbicara, dan berjejaring lintas batas. Dunia tidak akan mengerti pesantren jika pesantren terus membungkam suaranya sendiri. Dunia tidak akan menghormati santri jika santri hanya menjadi penonton dalam percaturan wacana global.

Melampaui Pengakuan, Menuju Posisi Tawar

Pertanyaan awal kita bukan semata-mata “bagaimana dunia memandang pesantren?”, tetapi “mengapa kita perlu menunggu pengakuan dunia?”. Dunia internasional yang selama ini mendefinisikan Islam dari luar harus dihadapkan pada kenyataan bahwa ada pusat-pusat Islam yang tidak tunduk pada hegemoninya. Pesantren adalah salah satunya.

Tugas kita bukan sekadar memperbaiki citra, tetapi membangun posisi tawar. Pesantren harus berani menentukan standar keilmuannya sendiri, agendanya sendiri, dan arah peradabannya sendiri. Dunia harus melihat pesantren bukan sebagai institusi lokal yang eksotik, tetapi sebagai kekuatan epistemik yang mampu berkontribusi pada penyelesaian krisis global—dari krisis spiritualitas, krisis solidaritas, hingga krisis makna hidup.

Santri bukan sekadar pewaris tradisi. Ia adalah penjaga masa depan. Dan pesantren adalah laboratorium tempat masa depan itu ditempa—dengan sabar, dengan hikmah, dan dengan keyakinan bahwa peradaban besar lahir bukan dari pusat kekuasaan, tetapi dari pinggiran yang gigih merawat nilai.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan