Santri dan Pesantren di Mata Dunia

12 views

Barat terus berusaha dalam hegemoninya tentang Islam dan modernitas, dan ditengah itu, entitas lokal seperti santri dan pesantren tampak sebagai anomali. Di satu sisi, mereka adalah produk tradisional yang tumbuh di luar sistem pendidikan formal kolonial. Di sisi lain, mereka justru menjadi fondasi Islam Nusantara yang berhasil menjaga keberagaman dan kedamaian. Ketika dunia internasional sibuk mencari narasi Islam yang damai dan inklusif, pesantren di Indonesia menyodorkan jawaban nyata. Tidak berupa debat teoritis, tetapi lewat praktik keseharian.

Namun, posisi strategis ini tak selalu mendapat pengakuan yang proporsional. Pandangan dunia terhadap pesantren dan santri masih dibentuk oleh prasangka, disederhanakan oleh stereotip, dan kadang dimanipulasi oleh logika politik global. Maka menjadi penting untuk mengajukan satu pertanyaan kunci: mengapa dunia internasional masih ambivalen dalam memandang pesantren?

Advertisements

Dua Wajah Reduksi Islam

Pasca peristiwa 11 September 2001, dunia mengalami pembelahan ideologis dalam memandang Islam. Negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutunya, meluncurkan “perang melawan terorisme” yang dalam praktiknya sering kali menyeret institusi-institusi Islam ke dalam ranah kecurigaan. Sekolah Islam, madrasah, hingga pesantren pun tak luput dari sorotan. Islam direduksi menjadi dua wajah: Islam “baik” yang pro-demokrasi, dan Islam “buruk” yang diasosiasikan dengan radikalisme.

Dalam konteks ini, pesantren mengalami ambiguitas posisi. Di satu sisi, mereka merupakan pusat transmisi keislaman. Di sisi lain, mereka tidak selalu kompatibel dengan narasi demokrasi liberal Barat yang menjadikan sekularisme sebagai parameter tunggal rasionalitas. Dunia internasional kerap gagal memahami bahwa nilai-nilai pesantren tidak identik dengan fundamentalisme, melainkan menawarkan bentuk religiusitas yang kontekstual dan berakar.

Bukan Objek Globalisasi

Salah satu kesalahan mendasar dalam membaca pesantren adalah anggapan bahwa ia adalah objek pasif dari arus global. Narasi ini lahir dari paradigma developmentalis yang melihat dunia dalam kerangka “negara maju vs negara berkembang.” Dalam perspektif ini, institusi lokal seperti pesantren dianggap usang dan harus direformasi agar sejalan dengan standar global—standar yang ironisnya, sangat bias Barat.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan