Santri dan Pemilu 2024

856 kali dibaca

Pada 2024 Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) serentak. Untuk Pemilu Presiden dan Legislatif rencananya akan dilaksanakan pada Februari 2024. Sedangkan, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak diagendakan pada November 2024. Maka, selama 2024, yang tahapan pemilunya sudah dimulai sejak 2022 ini, kita bakal mengalami tahun-tahun politik yang akan terasa begitu panjang dan intens.

Mau tidak mau, suka tidak suka, sebagai bagian dari anak-anak bangsa, kaum santri harus mengambil posisi dan memainkan peran signifikan dalam kontestasi demokrasi ini. Sebab, Pemilu 2024 nanti akan menjadi momentum krusial dan strategis bagi penentuan masa depan bangsa Indonesia.

Advertisements

Karena itu, ikut mengawal dan menyukseskan Pemilu 2024 tak kalah penting dibandingkan dengan keterlibatan santri dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan di masa lalu. Tak peduli dengan dinamika perpolitikan nasional atau apolitis artinya hampir sama dengan tak peduli akan masa depan bangsa, dan itu artinya lebih dekat dengan pengingkaran terhadap spirit resolusi jihad kaum santri.

Ada beberapa kondisi kenapa kaum santri harus mengambil posisi dan memainkan peran signifikan dalam Pemilu 2024 ini. Pertama, inilah untuk kali pertama pemilu diselenggarakan secara serentak. Pemilihan presiden dan pemilihan anggota legistlatif, yang pada pemilu-pemilu sebelumnya digelar secara terpisah, pada 2024 nanti dilaksanakan secara bersamaan.

Begitu juga dengan pemilihan kepala daerah (pilkada). Sejak reformasi dan pilkada dilaksanakan secara langsung, bisa tiap saat di berbagai pelosok Indonesia ada pemilihan bupati, wali kota, atau gubernur karena berakhirnya masa bhakti para kepala daerah itu memang berbeda-beda. Mulai 2024, seluruh kepala daerah di Indonesia akan dipilih secara serentak di waktu yang bersamaan. Lima tahun kemudian, berakhirnya masa bhakti mereka juga bersamaan.

Tentu saja, ini akan menandai sebuah era baru dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, sebuah negara yang begitu luas, dengan jumlah peserta pemilu dan pemilih atau pemilik hak suara yang juga demikian banyak.

Sebagai gambaran, jumlah partai politik (parpol) yang mendaftar sebagai peserta Pemilu 2024 sebanyak 40. Belakangan, yang dinyatakan lolos verifikasi calon peserta sebanyak 24 parpol. Besar kemungkinan, Pemilu 2024 akan diikuti 24 parpol. Pada Pemilu 2019, pesertanya sebanyak 16 parpol.

Dengan jumlah parpol peserta pemilu sebanyak itu, kita bisa membayangkan betapa banyak orang-orang yang akan bertarung berebut suara dalam pemilihan anggota legislatif baik untuk tingkat DPR RI, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota. Kita juga bisa membayangkan, betapa kerasnya persaingan perebutan suara akan terjadi, baik agar masing-masing parpol bisa lolos ke Senayan maupun tiap-tiap calon legislator beroleh kursi. Persaingan yang keras akan terjadi baik antar-parpol maupun antar-individu.

Kedua, dalam pemilihan presiden nanti tak ada lagi calon incumbent. Joko Widodo tidak bisa lagi dicalonkan sebagai presiden sebab sudah menduduki jabatan tersebut selama dua periode berturut-turut. Maka, ketika kontestasi pemilihan presiden tak melibatkan petahana, semua calon, berapa pun jumlahnya, memiliki kans yang sama untuk menang —dan kalah.

Pertarungan tanpa petahana ini mengimplikasikan dua hal sekaligus. Pertarungan antarkubu dalam memperebutkan dukungan rakyat akan berlangsung pada derajat yang lebih keras, masif, dan intens. Di saat yang sama, pemilih disuguhi “peta buta” akan kesanggupan para calon dalam mengemban amanat dari jabatan yang diperebutkan. Dengan peta seperti ini, “suara mengambang” bisa jadi lebih banyak jumlahnya dan akan lebih menentukan hasilnya. Maka, perebutan “suara mengambang” adalah pertarungan yang sebenarnya.

Ketiga, tren menguatnya politik identitas. Harus diakui, pelaksanaan Pilpres 2024 memang masih dibayang-bayangi fenomena yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilihan Presiden 2019. Seperti kita tahu, Pilkada DKI Jakarta 2017 yang mempertarungkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Anies Baswedan berlangsung begitu “brutal” yang dipanasi dengan politik identitas.

Politik identitasnya berbasis keagamaan. Karena itu, terjadi klaim bahwa pendukung Anies adalah kelompok pro-Islam dan di kubu seberang adalah kelompok prokafir atau anti-Islam. Maka, yang sesungguhnya hanyalah perebutan kursi gubernur itu, di lapangan lebih menyerupai Perang Badr, perang antara orang-orang beriman dengan kaum kafir. Hingga, ada kampanye yang menyebut “haram menyalati mayat pendukung Ahok”.

Keterbelahan masyarakat akibat politik identitas berbasis keagamaan menjadi kubu pro-Islam dan anti-Islam itu ternyata tak juga mencair meskipun Ahok sudah kalah dan masuk bui, namun justru terus menguat hingga Pilpres 2019 yang mempertarungkan pasangan Joko Widodo-KH Amin Ma’ruf dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Dan seperti kita tahu, fenomena yang mewarnai Pilpres 2019 sama persis dengan Pilkada DKI Jakarta 2017. Bahkan, rembesan politik identitasnya jauh lebih masif dan intens. Pertarungan pasangan Joko Widodo-KH Amin Ma’ruf dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang sejatinya juga hanya memperebutkan kursi kepresidenan, dianggap layaknya Perang Bdr, perang suci bela agama. Lucunya, pasangan Prabowo-Sandiaga diklaim sebagai represensi Islam. Sedangkan, KH Amin Ma’ruf yang berpasangan dengan Joko Widodo, yang saat itu adalah Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Rais Am Syuriah PBNU, justru dianggap sebagai representasi dari kekuatan anti-Islam —bahkan sampai ada yang menggolongkannya sebagai kelompok fobia-Islam.

Posisi dan Peran Santri

Pengkubuan masyarakat menjadi dua kelompok yang berlawanan-berhapan sebagai dampak dari politik identitas pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 itu bahkan semakin mengkristal hingga hari ini, yang ditandai dengan suburnya buzzer dari kedua kubu atau dari kelompok-kelompok kepentingan lain yang membonceng situasi. Para kubu itu terus merawat, menghidupi, dan manfaatkan kaum buzzer untuk saling menyerang sehingga “suasana perang” tetap terpelihara hingga hari-hari ini.

Maka, dengan penggambaran seperti itu, sangat wajar jika Pemilu 2024 nanti masih dihantui politik identitas berbasis agama. Dan bisa jadi tensi politik identitasnya jauh lebih panas  dibandingkan dengan Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Itulah kenapa saya menganggap posisi dan peran yang akan dan harus dimainkan oleh kaum santri begitu penting pada Pemilu 2024.

Dalam anatomi perpolitikan nasional, posisi dan peran kaum santri dalam tradisinya memang begitu cair. Ia bisa berada di mana saja, dan bisa memainkan peran apa saja. Jika istilah kaum santri di sini mengacu pada orang-orang pesantren, baik tokoh-tokoh pesantren, alumni pesantren, maupun santri aktif, maka benar keberadaannya memang begitu cair.

Akan ada dari mereka ada yang, misalnya, menjadi kader atau pengurus partai politik yang berbeda-beda. Juga akan ada yang menjadi tim sukses atau pendukung dari kontestan pemilu yang berbeda-beda. Tentu saja ada begitu banyak dari mereka yang tak terlibat dalam aktivitas politik praktis namun telah memiliki preferensi politik tertentu. Atau, banyak dari mereka yang akan menjadi bagian dari floating mass atau masa mengambang, para pemilik hak suara yang belum menentukan pilihannya, yang akan menjadi medan perebutan para kontestan paling sengit.

Dengan pilihan dan preferensi politik yang begitu cair atau beragam itu, kaum santri sesungguhnya bisa memainkan peran strategis dalam menentukan masa depan bangsa, yang salah satunya melalui partisipasi aktifnya dalam Pemilu 2024 nanti. Itu dengan catatan, berpolitiknya kaum santri harus tetap dijiwai oleh spirit resolusi jihad. Artinya, perjuangan dan kiprah kaum santri harus tetap dalam kerangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), demi dan untuk kemajuan negara-bangsa (nation-state) ini.

Jika dibaca secara terpisah, hal tersebut akan terasa klise. Namun, jika disandingkan dengan konteks Pemilu 2024, yang sudah dibayang-bayangi politik identitas berbasis agama, spirit resolusi jihad itu menjadi sangat penting dan relevan. Sebab, pada dosis yang berlebihan, politik identitas, lebih-lebih yang berbasis agama, memiliki daya destruksi yang luar biasa.

Setidaknya, pada dosis yang berlebihan, politik identitas berbasis agama itu akan membawa sejumlah dampak sekaligus, dan itu sudah terbukti. Pertama, masyarakat akan terpecah belah menjadi kubu-kubu yang saling berlawanan-berhadapan. Maraknya aksi kekerasan berlatar perbedaan keyakinan, ujaran kebencian, dan hoaks adalah bagian yang telah diproduksi oleh politik identitas itu. Kondisi seperti ini pasti akan menghambat gerak maju bangsa.

Kedua, alam demokrasi akan terganggu. Memang, dalam derajat tertentu, demokrasi membuka pintu terhadap politik identitas. Itulah esensi demokrasi. Namun, dalam dosis yang berlebihan, politik identitas akan melemahkan sistem demokrasi, bahkan bisa mematikannya.

Jika terjadi pembusukan dan demokrasi mati, negara akan kacau dan saat itulah sistem atau ideologi lain mulai mengendap-endap untuk masuk dan merebut kekuasaan. Demokrasi harus tetap dijaga dan dirawat karena hingga saat ini masih merupakan sistem yang memiliki mekanisme kontrol publik paling baik dibandingkan dengan yang lain. Karena itu, menjaga dan merawat demokrasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga semua orang.

Dalam konstelasi Pemilu 2024 yang tergambarkan seperti itulah, kaum santri memiliki dan bisa memainkan dua peran strategis sekaligus. Pertama, menetralisasi atau meredam menguatnya arus politik identitas berbasis keagamaan agar tidak sampai mencapai dosis yang membahayakan keajekan negara demokratis.

Dengan latar pendidikan dan tradisi keagamaannya, santri memiliki otoritas untuk itu. Pada fenomena maraknya politik identitas yang mewarnai Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019, nyaris tak ada kaum santri yang menyatakan sikap. Jika hal yang sama terjadi pada Pemilu 2024, rasanya sudah saatnya kaum santri speak up agar gerakan politik identitas berbasis agama, alias berpolitik dengan menjual-jual agama, itu tidak melampaui batas.

Identifikasi Kontestan

Kedua, kaum santri bisa memerankan diri sebagai referensi dan preferensi politik bagi masyarakat umum. Salah satu caranya, misalnya, dengan memberikan “pencerahan” agar masyarakat tidak terjebak dengan pilihan-pilihan pada kontestan pemilu yang memiliki potensi sebagai kekuatan antidemokrasi atau berseberangan dengan spirit resolusi jihad.

Sebagai kaum terpelajar, tentu terlebih dulu santri harus mampu melakukan identifikasi terhadap para kontenstan pemilu, baik dalam pengertian partai politik maupun orang-orang yang diusung oleh partai politik.

Caranya, sekali lagi, salah satunya kita bisa merujuk pada buku How Democracies Die (Bagaimana Demokrasi Mati) karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Di buku tersebut ada pemodelan pertanyaan-pertanyaan indikatif untuk mengidentifikasi kontestan pemilu. Darinya kita bisa tahu apakah ada kontestan pemilu yang memiliki potensi sebagai kekuatan antidemokrasi atau berseberangan dengan spirit resolusi jihad.

Rumusan pertanyaan indikatifnya misalnya seperti ini: apakah mereka memiliki hubungan dengan geng bersenjata, paramiliter, milisi, gerilyawan, atau organisasi yang terlibat tindak kekerasan? Apakah mereka sekutu atau pendukung penggunaan massa untuk menyerang lawan? Apakah mereka menyetujui atau pernah memuji tindak kekerasan yang dilakukan oleh pendukungnya? Jika jawaban dari semua pertanyaan indikatif tersebut “ya”, berarti mereka merupakan kontestan yang intoleran dan prokekerasan, dan itu berarti bertentangan dengan spirit resolusi jihad.

Dengan mampu mengidentifikasi kontestan pemilu, dan dengan itu kemudian menjadi referensi dan preferensi politik bagi masyarakat umum, maka kaum santri bisa mengentaskan rakyat sebagai pemilik kedaulatan negeri ini dari jerat kubangan lumpur politik identitas berbasis agama. Dengan begitu, tanpa disadari, kaum santri akan punya peran strategis dalam mengawal dan menyukseskan Pemilu 2024 yang berporos pada spirit resolusi jihad.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan