Santri bukan hanya penjaga tradisi, tapi juga pewaris peradaban. Di era yang berubah cepat —baik sosial, politik, maupun teknologi— peran santri tidak cukup sekadar menjaga ilmu klasik. Mereka harus jadi penggerak pembaruan pemikiran Islam agar tetap relevan.
Dalam tradisi Islam, istilah tajdid berarti memperbarui pemahaman agama agar kontekstual. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini, pada awal setiap seratus tahun, orang yang memperbarui agamanya.” (HR. Abu Dawud).

Hadis tersebut jadi landasan teologis penting. Pembaruan bukan penyimpangan, tapi bagian dari dinamisme Islam. Maka, peran santri adalah menjaga semangat pembaruan itu tetap hidup dengan ijtihad agar tetap relevan dengan konteks zaman yang terus berganti.
Di era digital, banyak muncul tafsir agama instan, potongan ceramah viral, dan dakwah hitam-putih. Santri dituntut hadir memberi narasi Islam yang mendalam dan adil. Bukan sekadar membantah, tapi memberi pemahaman alternatif yang bernas dan solutif.
Contohnya dalam isu lingkungan. Fikih thaharah yang dipelajari di pesantren bisa dikembangkan menjadi kesadaran ekoteologi. Kesucian tak hanya soal tubuh dan pakaian, tapi juga menjaga ekosistem dan bumi yang menjadi tempat hidup bersama.
Ayat, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya” (QS. Al-A’raf: 56), menunjukkan bahwa iman sejati melahirkan tanggung jawab ekologis. Santri bisa mendorong reuse air limbah atau kampanye bebas sampah plastik.
Dalam isu keadilan sosial, masyarakat masih banyak yang tertindas. Petani tergusur, buruh tak sejahtera, hak minoritas diabaikan. Santri yang paham maqashid al-syari’ah harus hadir mendorong kebijakan yang adil dan menyejahterakan semua pihak.
Nilai seperti al-‘adl (keadilan) dan al-maslahah (kemaslahatan) bukan hanya konsep, tapi arah perjuangan. Santri bisa menjadi pemikir kebijakan berbasis nilai Islam, bukan hanya pemuka agama di mimbar atau pengisi kajian rutin mingguan.
Di dunia pendidikan, pembaruan juga menyangkut metode dan isi ajar. Pesantren kini mulai membuka ruang bagi sains, filsafat, dan teknologi digital. Tapi yang lebih penting adalah cara berpikir: dari hafal teks menuju paham konteks dan kritik konstruktif.
Saat belajar kitab Uqud al-Lujjain, misalnya, santri bisa diajak memahami konteks sejarahnya. Mereka juga bisa mengkritisi relasi gender patriarkis dalam teks, lalu membandingkan dengan prinsip Islam yang rahmatan lil ‘alamin dan penuh keadilan.
Teknologi digital adalah tantangan sekaligus peluang. Banyak santri kini berdakwah lewat media sosial, podcast, dan kanal youtube. Tapi pembaruan pemikiran Islam menuntut lebih, yaitu menyusun etika Islam di ruang digital yang makin kompleks.
Misalnya, bagaimana Islam memandang penyebaran data pribadi, adab dalam interaksi daring, dan prinsip tabayyun dalam menghadapi hoaks. Di sinilah pentingnya integrasi ilmu agama, sosial, dan teknologi untuk menjawab tantangan zaman.
Pembaruan bukan berarti menolak kitab kuning atau merendahkan ulama klasik. Justru, pembaruan adalah cara menjaga warisan itu tetap hidup. Santri yang membaca ulang warisan lama dengan semangat baru adalah penjaga sejati nilai-nilai keislaman.
Akhirnya, pembaruan pemikiran akan berhasil jika santri tak hanya menjawab soal di kelas, tapi juga menjawab masalah umat dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak, pesantren hanya akan jadi menara gading. Sudah saatnya santri menjadi obor yang menerangi zaman dengan ilmu dan akhlak.