Santri dan Kedaulatan Tanah

2,653 kali dibaca

Sekitar 20.000 tahun yang lalu, nenek moyang Bangsa Indian tiba di Amerika Utara dari Asia. Dalam kurun waktu yang sangat panjang, suku-suku Indian menjalani laku hidup selaras dengan alam.

Hingga suatu saat pada akhir abad ke-15, ekspedisi Spanyol yang dipimpin Columbus tiba di benua itu pada 1492 M. Kemudian, kelompok ekspedisi Inggris mendarat di sana pada 1620 dan mendirikan koloni di Massachusetts. Tak mau ketinggalan, penjelajah Perancis Robert Cavalier de La Salle mendirikan koloni di wilayah yang kini disebut Texas pada 1685.

Advertisements

Pada akhir abad ke-18, sebagian besar Amerika Utara telah diklaim oleh negara-negara Eropa: Spanyol, Britania Raya, dan Perancis.

Hal yang mirip juga terjadi di wilayah Nusantara. Pada awal abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20, selama 500 tahun, Nusantara dikuasai oleh bangsa-bangsa asing.

Perjuangan bangsa Indonesia, yang ditandai proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta, berhasil mendirikan negara berdaulat Republik Indonesia.

Pada abad ke-19, hal serupa juga terjadi di seberang Samudera Pasifik. Suku-suku Indian melawan dominasi pemerintah Amerika Serikat yang menginginkan tanah-tanah mereka. Bangsa Indian kalah perang dan dipindahkan ke reservat, daerah khusus untuk mereka tinggali hingga sekarang.

Segera setelah itu, menjelang akhir abad ke-19, kapitalisme pertanian Amerika mulai dibangun. Sepanjang abad ke-20, pilar-pilar kapitalisme dipertahankan, diperkuat dan dikembangkan. Kelompok dominan ini menjadi blok hegemonik yang merupakan gabungan: para pemilik properti, perusahaan-perusahaan pertambangan mineral dan pengekspolarasi minyak bumi dari fosil, para industrialis alat-alat perang, raksasa-raksasa teknologi, grup-grup media internasional, firma-firma kesehatan dan industri farmasi, para monopolis, para pejabat pemerintahan dan yang terpenting lembaga-lembaga keuangan internasional.

Setelah Perang Dunia I, blok ini telah menjelma menjadi kapitalisme global. Pada awal abad ke-21, salah satu pengelola aset terbesar di dunia mengelola aset hingga 7 triliun dollar AS.

Krisis global pangan, energi, keuangan, dan lingkungan hidup memicu revolusi dramatis  dalam kepemilikan tanah. Dengan payung kolonialisme baru dan imperialisme baru serta dukungan kapitalisme global, para imperialis melakukan penguasaan tanah di seluruh penjuru dunia. Pada 2005-2009, sekitar 20 juta hektare tanah telah berpindah tangan melalui banyak cara.

Pengelola tanah komersial internasional menagih utang budi pemerintah-pemerintah korup terutama di negara-negara sedang berkembang dan negara-negara miskin di Afrika dan Asia. Mereka menekan rezim-rezim korup di berbagai negara untuk membuat regulasi yang memungkinkan penguasaan tanah seolah-olah terlihat legal.

Di Bangkalan, Jawa Timur, awal 2020, tanah bersertifikat sejak 30 tahun yang lalu, status tanah direbut sekelompok oknum yang mengaku sebagai ahli waris. Sekarang, tanah sengketa ini digunakan sebagai gudang air mineral kemasan.

Di Flores, Juni 2020, Ketua Suku Yewe Wilfridus Bu’u mempertanyakan keputusan BPN setempat memproses sertifikasi tanah suku Yewe menjadi tanah milik pribadi. Padahal, yang bersangkutan berdasarkan musyawarah mufakat bersedia membatalkan permohonan  sertifikasi tanah tersebut. Menanggapi berita acara pembatalan proses sertifikasi yang diajukan oleh suku Yewe, salah satu pegawai BPN mengatakan: “Pembatalan proses sertifikasi tidak dapat dilakukan karena sudah telanjur masuk aplikasi.” Sementara kepala BPN masih sibuk urusan yang lain.

Koperasi Nenek Eno Kampar Riau mewadahi masyarakat penerima sertifikat, hampir 1400 sertifikat tanah di atas lahan seluas sekitar 2570 hektare. PTPN V membimbing masyarakat mengelola lahan tersebut dengan sistem pengelolaan kebun berstandar dan berkualitas tinggi. Hal ini menghasilkan nilai manfaat sehingga kesejahteraaan masyarakat meningkat. Masyarakat penerima sertifikat berkomitmen tidak menjual tanah tersebut kepada pihak lain. Tanah adat tersebut dikembalikan kepada warga desa pada Mei 2019 oleh Presiden Joko Widodo.

Para petani Garut, terdiri dari 543 kepala keluarga, memperoleh sertifikat tanah seluas 104 hektare. Selanjutnya, para petani penerima sertifikat tersebut mendirikan koperasi yang mengelola komoditas unggulan ekspor: kopi dan pisang, juga komoditas-komoditas lain seperti padi, jagung, cabe, kapulaga, aren, teh, karet, cengkih, dan domba.

Sementara itu, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Riau, untuk memberdayakan dirinya sendiri serta untuk layanan masyarakat dengan  pendidikan maupun kesehatan, memakmurkan tanah seluas 47 hektare serta melakukan proses sertifikasi tanah sekitar 100 hektare di Siak.

Pada awal 2020, santri-santri dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan, Aceh, kelompok tani hutan, pelaku industry, dan masyarakat sekitar menghadiri acara Ngaji Tani Akbar dan Munas Santri Tani di Pesantren Genggong Probolinggo, Jawa Timur, yang diasuh oleh Gus Haris Damanhuri Romly. Para santri bisa memanfaatkan sekitar 1,1 juta hektare tanah Perhutani Divisi Regional Jawa Timur untuk kegiatan perhutanan sosial.

Menurut kepala Perhutani: “Pemanfaatan bisa berbentuk jasa lingkungan dan kegiatan lainnya yang berbasis tanah maupun nontanah.” Hal ini meliputi pembuatan tanaman, pemanfaatan lahan, pelestarian sumber daya alam, dan pemanfaatan jasa lingkungan.

Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin, melalui program sertifikasi tanah nasional, berusaha mewujudkan dua tujuan sekaligus: peningkatan kesejahteraan rakyat dan melindungi aset-aset tanah milik bangsa Indonesia. Kiai-kiai dan para santri serta pesantren-pesantren yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara adalah jangkar kedaulatan tanah nasional.

Mustahil bangsa Indonesia berhasil mencapai dan meraih kedaulatan pangan tanpa kedaulatan tanah.

Wallahualam bis shawab.

Rumah Merah, 29 06 2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan