Santri dan Ilmu Kanuragan

1,911 kali dibaca

Pada tahun 1899 sampai 1999, kalangan santri masih akrab dengan ilmu kanuragan, semacam ilmu kesaktian, benteng diri, bahkan ilmu silat tanpa ajar (“Pencak Asma dan Hizb Darb”, Triani Widyanti, Jurnal Ilmu Sosial).

Namun pada dekade 2000-an, santri mulai enggan dengan ilmu semacam itu. Sebab, mereka menganggapnya sebagai ilmu yang tidak berguna. Padahal, kalau kita melihat sejarah kemerdekaan Indonesia, banyak ulama, tokoh pesantren, ikut berperang yang ikut berperang bermodal ilmu kesaktian.

Advertisements

Pada masa lalu, ilmu kanuragan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Madura dan Jawa. Bahkan, ilmu kanuragan turut mewarnai nilai-nilai budaya dalam suatu kelompok masyarakat, baik masyarakat pedalaman maupun masyarakat pesisir pantai. Setiap keluarga bahkan mungkin setiap orang seolah-olah diwajibkan memiliki ilmu kanuragan. Hal ini terjadi antara masa pra-penjajahan, masa penjajahan, masa awal kemerdekaan, dan masa munculnya berbagai bentuk aksi pemberontakan.

Apa itu ilmu kanuragan? Kanuragan dalam bahasa Indonesia berarti ilmu yang memiliki fungsi alat menjaga, atau membela diri secara supranatural. Ilmu ini mencakup kemampuan diri untuk bertahan (kebal) terhadap berbagai ancaman dan bahaya dengan kemampuan yang luar biasa di luar nalar manusia (Triani Widyanti).

Sebenarnya, kanuragan sangat penting untuk membentengi diri dan membela Tanah Air. Saat Indonesia dijajah oleh Belanda dan Jepang (Heiho), para ulama pesantren juga berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan. Konon, perlawanan yang mereka lakukan di luar nalar. Hanya dengan melemparkan kacang hijau, butir-butir berubah wujud menjadi pasukan perang. Atau, seperti banyak diceritakan dalam buku sejarah, mereka berperang hanya bermodal bambu runcing.

Peran santri dan tokoh-tokoh pesantren dalam perang melawan penjajah juga memiliki arti sangan penting ketika Belanda datang lagi dengan membonceng tentara Sekutu sambil mengultimatum agar pejuang Indonesia menyerah. Saat itulah, Nahdlatul Ulama mengeluarkan fatwa jihad pada tanggal 22 Oktober 1945.

Fatwa itu dikenal dengan resolusi jihad yang diinisiasi KH Hasyim Asyaari, yang mampu membakar semangat juang kaum muslimin. Berkobarnya semangat juang kaum muslimin waktu itu tiada lain karena atas perintah dari para ulama, dan santri dengan tradisi pesantrennya bersikap sam’an wa tha’atan lil ulama’ wa santri . Ucapan ulama merupakan senjata yang berharga bagi masyarakat waktu itu.

Karena itu, kanuragan dan santri merupakan dua diksi yang saling mendukung dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Walaupun ada sebagian sejarah yang tidak mencantumkan para santri dalam membela Indonesia, namun penulis sangat setuju dengan sebuah pernyataan “bahwa kemerdekaan Indonesia karena partisipasi ulama dan santri”.

Banyak cerita-cerita dari para ulama bahwa kanuragan merupakan ciri khas yang dimiliki tokoh ulama dan santri. Kiai Musahri salah satu tokoh di Desa Torbang, Kecamatan Gelugur, Sumenep, Madura. Beliau menceritakan, dulu di zaman penjajahan Belanda ada sebuah batu besar yang menghalangi  jembatan menuju Pasar Lenteng. Pada waktu itu orang-orang Belanda berlalu lalang sambil menyuruh masyarakat Lenteng memindahkan batu itu. Ternyata dari puluhan orang, tidak satu pun yang bisa mengangkat  batu itu.

Tidak lama kemudian datanglah Kiai Saiyam dengan kedua santrinya. Kiai Saiyam lalu menghampiri kerumunan orang sembari bertanya, “Ada apa ini?”

“Begini kiai,” jawab seseorang, “ada batu besar yang menjadi penghalang akses jalan menuju pasar.”

Kiai Saiyam tanpa basa basi menghampiri batu yang sangat besar itu. Lalu batu besar itu diangkat dengan tangannya dan dilemparkan ke sungai. Menurut sebagian riwayat, Kiai Saiyam dikenal sebagai sosok yang sakti. Akhirnya orang-orang Belanda lari pontang-panting ketakutan dengan kesaktian  Kiai Saiyam, seperti diceritakan Kiai Musahri. Peristiwa terjadi sekitar tahun 1942. Kiiai Musahri pada waktu itu masih berumur 13 tahunan.

Peristwa ini menunjukkan bahwa ilmu linuwih (kesaktian) mempunyai pengaruh kuat terhadap gentarnya lawan. Di antara amalan dalam menggentarkan lawan adalah Pametak Sayyidina Ali dan Pametak Sayyidina Hamzah. Dulu, pada tahun 1999, banyak santri yang masih akrab dengan amalan-amalan hizb bahar, hizb yad, dan lainnya. Namun, di Era Industri 4.0 ini santri mulai jarang mengamalkan ini.

Oleh karena itu, menurut penulis, tradisi mendalami ilmu kanuragan di kalangan santri harus dipertahankan untuk tujuan kebaikan. Namun, tidak untuk disalahgunakan untuk menzalimi orang lain atau membuat diri sombong.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan