Santri, yang dikenal dengan keteladanan, kesederhanaan, dan ketaatannya dalam beragama, kini mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan. Fenomena pacaran, gaya hidup hedonis, dan perilaku yang bertentangan dengan norma pesantren semakin merebak di kalangan santri—termasuk anak kiai yang selama ini menjadi teladan. Dosa-dosa kecil yang sebelumnya dianggap biasa dan bisa dimaklumi, kini secara perlahan telah dinormalisasi.
Hal tersebut menumbuhkan kecemasan bahwa suatu saat pesantren, yang seharusnya menjadi benteng moral, justru menjadi tempat pembenaran atas dosa yang telah dibiarkan begitu saja.

Normalisasi Dosa Kecil
Fenomena yang paling mencolok adalah normalisasi pacaran di kalangan santri. Dulu, pacaran dianggap sesuatu yang tabu, terutama di lingkungan pesantren. Namun, saat ini, banyak santri, bahkan anak kiai sekalipun, yang terjebak dalam budaya pacaran. Mereka menganggapnya sebagai hal yang wajar, bahkan tanpa rasa bersalah. Banyak yang berdalih, “Ini cuma saling suka,” atau “Cuma sebatas komunikasi, tidak sampai melanggar,” seolah menganggap bahwa hubungan tersebut tidak mengarah pada dosa. Padahal, dalam ajaran agama, batasan antara halal dan haram sangat jelas.
Sejelas firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 32:
ًوَلاَ تَقْرَبُوا الزّنى. إنّهُ كان فاحِشَةً وَسآءَ سَبيلا
Yang artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.
Mendekati zina yang mereka anggap dosa kecil dan sepele ini ternyata dapat berkembang menjadi masalah besar. Begitu pacaran dianggap normal, maka tindakan seperti berpegangan tangan, berduaan di luar pengawasan, atau berbicara dengan nada yang mesra menjadi semakin tidak terlihat salah. Bahkan, ketika santri sendiri sudah merasa tidak bersalah atas perbuatannya, maka orang-orang di sekitarnya pun akan cenderung menoleransi perilaku tersebut. Toleransi terhadap dosa kecil ini semakin lama semakin memudarkan garis antara yang halal dan haram.
Hilangnya Teladan dan Wibawa
Santri, sebagai representasi dari kehidupan pesantren, harusnya bisa menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya. Mereka memiliki peran penting dalam menjaga norma-norma agama dan moralitas. Namun, ketika perilaku pacaran dan gaya hidup bebas semakin diterima di kalangan santri, maka kepercayaan masyarakat terhadap pesantren akan hilang. Hal ini dapat mempengaruhi pandangan orang-orang di luar pesantren tentang bagaimana seharusnya hidup yang sesuai dengan nilai agama.
Apalagi jika yang terlibat dalam perilaku ini adalah anak kiai atau tokoh agama. Banyak orang tua yang mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren dengan harapan bahwa mereka bisa menjadi pribadi yang saleh dan berakhlak mulia. Namun, ketika anak-anak ini melihat perilaku yang tidak seharusnya dari figur teladan mereka—baik itu anak kiai atau pengasuh pesantren—maka keteladanan yang seharusnya mereka terima justru berbalik menjadi contoh yang salah.
Bukan hanya anak-anak pesantren yang terpengaruh, tetapi juga masyarakat luas. Dosa yang awalnya dianggap kecil dan tidak berdampak besar, lama kelamaan akan merusak pandangan masyarakat terhadap pesantren. Dalam jangka panjang, kerusakan ini bisa mengarah pada hilangnya wibawa pesantren sebagai tempat pendidikan dan pengajaran agama yang semestinya menjadi contoh bagi umat.
Keruntuhan Moral
Pada titik ini, kita harus sadar bahwa dosa kecil yang terus-menerus dimaklumi dan diterima tanpa peringatan atau introspeksi bisa berlarut-larut menjadi lebih besar. Sama halnya dengan dosa-dosa yang dilakukan oleh para santri dan anak-anak kiai, yang awalnya tampak tidak masalah, akhirnya menjerumuskan mereka pada kesalahan besar yang tidak mudah untuk diperbaiki.
Pimpinan pesantren, yang seharusnya menjadi penjaga moral dan tata krama agama, juga tak luput dari fenomena ini. Bahkan para pengasuh pesantren pun terkadang terjebak dalam krisis moral yang sama. Jika seorang pengasuh pesantren, yang seharusnya menjadi contoh bagi anak-anak didiknya, ikut terperosok dalam perilaku yang tidak mencerminkan ajaran agama, maka dampaknya lebih luas lagi. Ini menunjukkan bahwa tidak ada yang kebal dari godaan jika dosa kecil yang dianggap biasa terus dibiarkan.
Mengembalikan Keteladanan
Dosa yang dinormalisasi bukanlah hal yang terjadi dengan sendirinya. Ini adalah hasil dari pembiaran dan ketidakpedulian terhadap ajaran agama yang seharusnya menjaga garis batas antara yang benar dan yang salah. Saat ini, sudah saatnya kita semua melakukan muhasabah diri dan kembali mengingatkan satu sama lain akan pentingnya keteladanan yang benar.
Tanggung jawab tidak hanya terletak pada individu santri, tetapi juga pada orang tua, pengasuh pesantren, dan masyarakat sekitar. Orang tua harus mengajarkan anak-anak mereka tentang batasan-batasan agama sejak dini, memberikan mereka bekal untuk mengenal diri sendiri, dan menanamkan cinta yang tidak berbasis pada nafsu atau perasaan sesaat.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan tempat pengajaran agama harus kembali menegakkan disiplin dengan cara yang penuh kasih sayang, bukan dengan membiarkan dosa kecil merajalela hanya karena dianggap sebagai bagian dari hidup remaja.
Para pengasuh pesantren, yang memiliki pengaruh besar terhadap santri, harus kembali menekankan pentingnya menjaga akhlak mulia, dan mengingatkan para santri bahwa menjaga diri dari dosa bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk menjaga marwah pesantren dan agama yang mereka anut.
Masih Ada Harapan
Jika kita ingin menjaga agar pesantren tetap menjadi benteng moral bagi masyarakat, maka kita harus kembali pada nilai-nilai dasar yang telah membentuk pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mulia. Kita harus berani mengingatkan satu sama lain tentang pentingnya menjaga adab, menjaga batasan, dan menegakkan disiplin yang sesuai dengan ajaran agama.
Santri bukanlah makhluk yang sempurna, namun mereka memiliki peran besar dalam membentuk masa depan bangsa. Keteladanan yang telah memudar harus kembali ditemukan, dan dosa-dosa kecil yang dianggap biasa harus dihentikan sejak dini. Agar pesantren tetap menjadi tempat yang mendidik akhlak dan mencetak generasi yang tidak hanya patuh, tetapi juga sadar dan bijaksana dalam setiap pilihan hidupnya.
Maka, mari kita bangun pesantren dan masyarakat dengan penuh kasih sayang, pengenalan diri, dan keteguhan dalam prinsip, agar anak-anak kita dapat tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, berakhlak mulia, dan benar-benar menjadi teladan bagi orang lain.