Orang-orang memanggilnya Sarifudin Sang Penabuh. Julukan itu disematkan semata karena dia orang paling ahli banjari di Kampung Mindu.
Setelah boyong dari pondok pesantren, dia diamanahi menghidupkan grup banjari Kampung Mindu yang sudah mangkrak dua tahun. Personel terakhirnya sudah terlampau tua, dan anak-anak muda kurang berminat meneruskan. Mereka memilih profesi lainnya, yang lebih menguntungkan.

Sarifudin membangun ulang grup banjari dari nol. Memperbaiki alat-alat yang rusak dengan bantuan kas masyarakat kampung serta merekrut anggota baru. Urusan mencari anggota baru tidaklah mudah. Dia membujuk teman-teman sepantarannya untuk bergabung. Itupun harus diiming janji tidak akan mengganggu pekerjaan utama mereka. Setelah berkali-kali membujuk sebulan lamanya, barulah teman-teman Sarifudin mau bergabung ke dalam anggota banjari. Antara terpaksa atau iba dengan Sarifudin yang pasrah.
Sarifudin menamai grup banjari kampungnya Al-Mujahidin, yang berarti pejuang. Mereka menjadi pembaharu yang mengemban tugas menghidupkan kembali grup yang telah mati.
Al-Mujahidin mendapatkan panggung perdana dalam acara Ruwah Desa. Mereka menjadi pengisi acara pembuka beriringan dengan kenduri dan doa bersama. Kesempatan emas yang tak disia-siakan Sarifudin dan teman-teman. Mereka mengerahkan hasil latihan dua minggu penuh. Melantunkan selawat dengan nada-nada tinggi diiringi bunyi rebana yang kompak dan penuh variasi. Kendati masyarakat lebih menantikan wayang kulit sebagai pertunjukan utama, penampilan mereka berhasil mengundang tepuk tangan meriah dari para penonton. Mereka bahagia dan puas walau hanya mendapatkan bayaran makan dan 2M, makasih mas.
Penampilan memukau Al-Mujahidin di acara Ruwah Desa menginisiasi masyarakat Kampung Mindu untuk mengundang mereka mengisi acara hajatan, seperti pernikahan, khitanan, aqiqah, walimatul haji. Bisyarah yang diterima tidak lagi 2M. Mereka kerap kali mendapat amplop berisi uang lumayan besar untuk dibagi bersepuluh.
Sarifudin tidak puas sampai di situ. Dia sesekali mengajak teman-temannya berlatih selawat baru atau menambah variasi pukulan dan nada selawat lama. Itu diikhtiarkan Supaya orang-orang tidak bosan, katanya. Teman-temannya yang dulu enggan kini bersemangat berlatih karena bisa mendapatkan uang tambahan.
Kepopuleran Al-Mujahidin dengan cepat menyebar ke kampung lain. Mereka banjir undangan. Pernah dalam satu minggu mereka mendapat tujuh undangan. Tampil tiap hari full non stop. Ketenaran itu tidak lantas membuat Sarifudin meninggi dengan mematok bisyarah. Dia beserta teman-teman ikhlas menerima pemberian tuan rumah. Apa pun itu. Sekalipun hanya makanan.
Genap satu tahun, Sarifudin merasa Al-Mujahidin semakin kompak. Tarik suara vokalis dengan iringan nada banjari bisa serasi. Akhirnya Dldia mengajak teman-temannya berpartisipasi dalam festival banjari. Mereka sepakat meski harus berlatih kian intens dan mengganggu aktivitas keseharian. Tiap hari mereka latihan, menyempatkan waktu di antara bekerja, berkeluarga, dan beristirahat. Target mereka langsung festival banjari tingkat provinsi. Satu bulan membanting tulang dan mempertaruhkan waktu, Al-Mujahidin keluar sebagai juara harapan pertama. Tidak buruk sebagai pengalaman pertama.
Prestasi Al-Mujahidin membuat nama mereka kian terkenal. Sarifudin dan teman-teman sepakat menetapkan bisyarah minimal. Nominal yang tidak terlampau banyak, juga tidak sedikit. Informasi menyebar dengan masif. Undangan tidak lantas surut, malah semakin banyak. Kini, Al-Mujahidin tidak hanya mengisi acara hajatan, tetapi turut serta mengisi acara besar seperti pengajian atau haul. Sarifudin sampai menambah anggota sebagai cadangan apabila ada anggota inti yang berhalangan saking membludaknya undangan.
Kesuksesan Al-Mujahidin menginspirasi masyarakat kampung lain untuk membentuk grup banjari serupa. Satu per satu grup banjari eksis. Mengambil pasar Al-Mujahidin. Sarifudin dan teman-teman tidak iri. Mereka malah senang karena selawat kian lestari di kampung-kampung lain.
Al-Muhajidin kembali berpartisipasi dalam festival banjari tahun berikutnya. Beberapa grup banjari baru dari kampung lain ada yang ikut serta. Grup jawara tahun lalu kembali berpartisipasi untuk menyabet juara. Persaingan berlangsung sengit. Vokalis tiap grup mengerahkan segala kemampuan bercengkok dengan nada tinggi dan para penabuh mengerahkan keterampilan memainkan variasi banjari dengan merdu. Persiapan satu setengah bulan Sarifudin dan teman-teman tidak sia-sia. Mereka berhasil mendapatkan piala juara satu.
Kesenangan itu tidak murah. Dia mengambil hal yang sepadan. Jari-jari tangan kanan Sarifudin berdarah setelah perlombaan. Hal yang lumrah bagi para penabuh rebana. Kebanyakan dari mereka malah senang karena tangan mengapal yang membuat pukulan kian mantap. Satu sampai dua minggu luka akan sembuh dengan sendirinya.
Tapi ini lain. Luka Sarifudin tidak kunjung sembuh setelah lima belas hari berlalu. Dia memeriksakan ke dokter dengan terpaksa. Padahal, luka seperti ini biasanya akan sembuh setelah diobati sendiri. Dokter merawat luka Sarifudin dengan teliti. Membersihkan luka dengan larutan salin, mengoleskan antiseptik pada luka, dan menutupnya dengan perban.
Sarifudin mengunjungi kembali dokter setelah tujuh hari berlalu untuk kontrol. Dokter membuka perban dan mendapati luka yang belum mengering. Ekspresinya sedikit kaget, tapi masih bisa mengontrolnya. Dia merawat luka itu seperti sebelumnya, dan meminta Sarifudin datang kembali satu minggu kemudian.
Kontrol kedua, ekspresi kaget sang dokter tidak dapat ditutupi lagi. Luka Sarifudin tidak jua sembuh. “Saya sudah mengerahkan segala kemampuan, Mas. Tapi, luka ini tidak juga sembuh. Luka ini mungkin tidak cukup disembuhkan dengan perawatan medis, perlu juga perawatan alternatif,” sang dokter bertutur selembut mungkin supaya tidak menyinggung pasiennya.
Perkataan dokter mengantar pikiran Sarifudin menerawang jauh. Grup banjarinya perlahan turun pamor. Orang-orang kurang suka penampilan Al-Mujahidin tanpa kehadiran sang penabuh ulung, Sarifudin. Anggota yang lain tetap bisa memainkan variasi demi variasi dengan baik, tetapi Al-Mujahidin seperti kehilangan jati diri tanpa kehadiran Sarifudin. Ibarat tubuh yang kehilangan jiwanya. Kosong.
Malam demi malam, Sarifudin duduk termenung di teras rumah berteman secangkir kopi hitam. Mengamati tangan kanannya dalam balutan perban putih dengan pikiran memikirkan nasib Al-Mujahidin. Teman-temannya memang mempunyai pekerjaan utama, tapi apakah grup banjari Kampung Mindu akan vakum kedua kalinya. Sarifudin takut mengecewakan amanah masyarakat Kampung Mindu yang diembankan padanya. Apa kesalahannya?
Jarak satu minggu setelah kontrol terakhir ke dokter, Sarifudin memutuskan sowan ke kiainya untuk meminta nasihat. Sudah lama dia tidak berkunjung ke pondok. Tepatnya tiga tahun yang lalu. Sarifudin merasa malu melupakan pondok dan Kiai yang berjasa membimbing dia menjadi pribadi sekarang ini.
“Kebetulan ahlinya datang,” ucap Kiai begitu melihat Sarifudin masuk teras ndalem.
Sarifudin mendengar perkataan Kiai. Pikirannya dipenuhi tanda tanya. Belum sempat mengucap salam, Kiai memberikan sebuah rebana kepadanya. “Mohon dibantu mengiringi selawat, Mas. Mau ada tamu.”
Sami’na wa atha’na. Sarifudin menerima rebana itu sambil menundukkan badan. Bersama santri lainnya, dia menabuh rebana dan melantunkan selawat. Kiai menghambur menyambut tamu yang datang dan mengantarnya masuk masjid. Sarifudin dan santri penabuh rebana mengikuti di belakang. Dengan tangan yang masih sakit, dia berusaha maksimal memainkan rebana dengan baik.
Tamu itu memberikan kultum mengenai ujub, berbangga diri. Mulai dari apa itu ujub, kenapa dibenci oleh Allah, sampai bahaya ujub bagi manusia. Kalimat demi kalimat masuk melalui telinga Sarifudin. Berjalan melalui pikiran. Meluncur menuju hati, menohoknya. Dadanya bergetar hebat. Bulir-bulir air mata menggenang di ujung kelopak mata. Merembes jatuh membasahi pipi. Suaranya terisak. Sarifudin mendapat jawaban atas masalahnya.
Sarifudin kembali menemui Kiai setelah tamu pulang.
“Jangan tinggalkan selawat, Mas. Tetap sebar dan gaungkan selawat di seluruh penjuru, Mas.” Kiai tersenyum dan menepuk bahu Sarifudin.
“Nggih, Kiai,” jawab Sarifudin. Dia menyalami Kiai. Lama. Mengharap doa dan barakah.
Ketika pulang, Sarifudin baru menyadari lukanya yang semakin sakit setelah bermain rebana tadi. Dia membuka perban. Kaget. Lukanya tak ada di sana. Sembuh.
Sumber ilustrasi: ig ferdiansyah9129.
Mantap sekali cerpen ini. Pesannya tersampaikan dengan baik. Sayangnya dialog antar tokoh kurang banyak.