Sakralisasi Busana

Seiring berjalannya waktu, busana Arab—jubah, gamis, dan sorban—tidak lagi dipandang sekadar produk budaya lokal. Ia mengalami proses sakralisasi. Lambat laun, pakaian itu dianggap sebagai “busana Islami” yang melekat dengan identitas agama. Banyak orang menilainya bukan sekadar mode, tetapi simbol kesalehan. Semakin panjang jubah atau semakin tebal sorban, semakin besar pula klaim keislaman seseorang.

Fenomena ini sesungguhnya bukan hal baru dalam sejarah agama-agama. Hampir semua tradisi besar mengalami proses serupa: budaya lokal yang kemudian diberi muatan religius. Dalam kekristenan, misalnya, jubah pendeta dan kerah putih dianggap lambang kesucian, padahal awalnya hanyalah mode Romawi kuno. Demikian pula dalam Hindu-Buddha, kain saffron yang dikenakan para bhiksu dulunya hanya pakaian murah meriah, yang diwarnai dari kulit kayu, lalu kemudian diposisikan sebagai simbol kesederhanaan spiritual.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Islam pun tak lepas dari proses ini. Pakaian Arab kuno yang praktis dan kontekstual berubah menjadi simbol universal. Proses sakralisasi ini diperkuat oleh representasi visual: lukisan, film, dan poster dakwah yang menggambarkan Nabi dan sahabat hampir selalu dengan busana Arab klasik. Dari situlah muncul kesan seolah-olah Islam memiliki “seragam resmi” berupa jubah dan sorban.

Padahal, inti ajaran Islam tentang pakaian sangat sederhana: menutup aurat dan menjaga kesopanan. Tidak ada keharusan model tertentu, apalagi mengikat umat Islam pada mode Arab abad ke-7. Dalam Al-Qur’an, aturan berpakaian muncul dalam kerangka moral, bukan estetika: pakaian disebut sebagai “penutup aurat” dan “perhiasan” (QS. al-A‘raf: 26). Artinya, ia berfungsi melindungi tubuh sekaligus memberi citra sosial yang pantas.

Namun dalam kenyataannya, sakralisasi busana melahirkan standar ganda. Seseorang yang berpakaian dengan jas atau batik kerap dipandang kurang Islami dibanding mereka yang berjubah. Padahal, sejarah Islam menunjukkan keberagaman busana yang sangat kaya.

Sultan Turki Usmani pada abad ke-19 bahkan memperkenalkan fes dan jas Eropa sebagai pakaian resmi, tanpa merasa kehilangan identitas keislamannya. Di Nusantara, sarung dan peci lama-kelamaan memperoleh nuansa religius, hingga banyak orang tak bisa memisahkan keduanya dari gambaran “muslim Indonesia”.

Inilah yang menunjukkan betapa cairnya relasi antara agama dan budaya. Busana tidak pernah statis; ia selalu berubah mengikuti ruang dan waktu. Sakralisasi sering kali muncul bukan karena tuntunan teks, melainkan karena kebiasaan sosial yang kemudian diberi legitimasi teologis. Dari sinilah lahir pandangan reduktif: seolah-olah yang tidak berpakaian ala Arab berarti kurang Islami.

Proses ini perlu kita kritisi. Menganggap jubah dan sorban sebagai satu-satunya pakaian Islami bukan hanya menyalahi sejarah, tetapi juga menutup kreativitas budaya umat Islam. Justru dengan membuka ruang bagi keragaman busana, Islam bisa menunjukkan dirinya sebagai agama universal, yang mampu hidup dalam berbagai konteks budaya.

Maka, jika kita ingin jujur, sakralisasi pakaian bukanlah perintah agama, melainkan hasil konstruksi sosial. Islam hanya menetapkan nilai dasarnya—aurat dan kesopanan—sementara modelnya bebas berkembang sesuai budaya. Jubah dan sorban bisa Islami, tetapi begitu pula batik, jas, atau sarung, selama ia memelihara prinsip yang sama.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan