Saat Santri Lupa Bahasanya Sendiri

39 views

Suasana kelas tak seperti biasanya. Tak ada riuh, apalagi tanya yang menyelingi mata perkuliahan kali ini. Rasa bosan, jemu, bahkan muak seolah menyatu merefleksikan amarah yang menggebu. Semuanya seolah kompak untuk segera mengakhiri materi ini setelah tak tahan dengan apa yang disampaikan oleh sesosok guru yang merasa prihatin.

Itu adalah cuplikan suasana yang saya rasakan ketika menjalani materi perkuliahan Bahasa Indonesia: hening dan hambar. Santri seolah kehilangan gairah untuk mendalami, bahkan sekadar ikut nimbrung menanyakan apa yang tak dipahami.

Advertisements

Kontras sekali saat membahas fikih, usul fikih, nahu, dan saraf; antusiasme yang menggebu-gebu terkadang membuat para santri tak segan untuk mengeluarkan kata kotor karena sudah terbawa emosi.

Di pondok pesantren, materi Bahasa Indonesia, seperti yang saya rasakan selama 9 tahun di dua pesantren berbeda, tak lebih sekadar tambahan pengetahuan yang dianjurkan bagi siapa pun untuk mendalaminya. Para santri seolah memosisikan pemahaman tentang berbahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kategori sunah belaka. Oleh karena itu, tidak ada pengawasan yang begitu maksimal terhadap para santri dalam mempelajari bahasa Indonesia.

Ketika ada selebaran berisi informasi “pelatihan bahasa asing” disebarkan ke seluruh penjuru pesantren, maka atmosfer yang berbalik 180 derajat membuat saya semakin merasa miris. Miris di sini bukan dalam artian ingin menafikan pentingnya bahasa Internasional, melainkan miris dalam konteks mereka yang melupakan pentingnya mendalami bahasa nasionalnya sendiri.

Meskipun, memang, hal ini tidak meluruhkan semangat para santri dalam kegiatan literasi tulis-menulis. Akan tetapi, sekali lagi, masih banyak santri tak paham tentang aturan-aturan baku yang sudah bertransformasi pada tahun 2022, dengan mengganti Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEBI).

Masih banyak dijumpai kesalahan-kesalahan dasar yang tak enak dibaca ketika mencoba membaca karya-karya para santri tersebut. Banyak kata yang diterjemah secara langsung dari bahasa Arab dan salah menurut KBBI.

Contohnya, seperti salat ditulis sholat, ustaz menjadi ustadz, selawat menjadi sholawat, musala menjadi musholla, magrib menjadi maghrib, dan zikir menjadi dzikir.  Atau yang juga sering terjadi, kesalahan dalam penggunaan imbuhan seperti mengubah ditulis merubah, memedulikan ditulis mempedulikan, mempraktikkan ditulis mempraktekkan, dan masih banyak lagi kesalahan-kesalahan lainnya.

Setelah mengecek secara langsung dan membaca beberapa tulisan yang membahas kesenjangan ini, setidaknya ada dua faktor yang ditengarai memengaruhi lemahnya motivasi para santri dalam memelajari Bahasa Indonesia.

Pertama, tidak adanya kurikulum yang mendukung pembelajaran bahasa Indonesia di pesantren. Banyak pesantren, khususnya yang tradisional, menitikberatkan kurikulum pendidikan hanya pada ilmu-ilmu yang berbau agama. Hal ini berakibat para santri hanya fokus pada kitab-kitab yang notabene berbahasa Arab.

Kedua, merasa sudah menguasai secara utuh. Banyak santri yang berasumsi bahwa bahasa Indonesia tidak pantas untuk dimasukkan lagi pada kurikulum pendidikan tinggi di pesantren. Padahal, perlu diketahui bahwa menguasai bahasa secara akademik seperti menulis jurnal dan karya ilmiah sangat berbeda ketimbang dari sekadar berbicara sehari-hari.

Dogma seperti ini perlu diluruskan;  memandang bahwa pesantren merupakan sebuah tempat pengaderan para santri agar nantinya dapat meneruskan estafet perjuangan Islam di Indonesia. Sedangkan, ketika tujuan pesantren benar-benar ingin mengenalkan ajaran Islam secara universal, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mentransfer pemahaman dari kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Hal ini seperti yang dikatakan Humboldt, bahwa bahasa adalah alat untuk berpikir. Oleh karenanya, masing-masing bahasa dapat menjadi resolusi bagi setiap orang untuk menginterpretasikan dunia. Ketika seorang santri tidak menguasai bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah baku, dikhawatirkan akan muncul salah pemahaman dan kesangsian-kesangsian yang terjadi.

Sebenarnya, mempelajari bahasa Indonesia dilingkungan yang sangat kental dengan bahasa asing –Arab atau Inggris– bukan lantas menjadi sebuah penghalang dalam meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia. Jika pesantren bisa menyeimbangkan penguasaan dua bahasa sekaligus – atau bahkan lebih, hal ini membuka peluang dalam mencetak santri kompetitif yang mampu bersaing dengan perkembangan zaman.

Jalan terakhir untuk mengatasi kekhawatiran ini adalah dengan menggalakkan pelatihan tulis-menulis – esai, opini, maupun jurnal – di seluruh pesantren dengan pendampingan berkelanjutan. Misalnya setelah diadakan seminar pelatihan, para santri langsung praktik membuat sebuah tulisan sekitar 200-300 kata, yang nantinya akan dikoreksi secara berkala oleh mentor yang tersedia. Kegiatan ini secara tidak langsung akan mendorong para santri untuk rajin membaca buku, karena menulis membutuhkan bacaan yang melimpah

Selain itu, harus ada konsep yang berbeda dalam kegiatan ini. Berbeda dalam arti lebih kreatif dan inovatif guna menghidupkan minat para santri dalam mendalami bahasa Indonesia, seperti memberikan sebuah apresiasi lebih berupa hadiah, hingga menyediakan akses tulisan seperti: “Mading Esai Mingguan” atau “Majalah Pesantren Digital”. Karena, bisa jadi, banyak yang merasa jenuh dan bosan ketika menerima model pembelajaran bahasa Indonesia yang itu-itu saja, dan sudah diajarkan sejak mereka di sekolah dasar (SD).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan