SAAT PERUPA MENULISKAN KESETIAAN

408 kali dibaca

KEMBANG WIJAYA KUSUMA /1/

barangkali pertemuan adalah barang langka
hingga kuncup daun enggan mekar menjadi puisi.

Advertisements

pada awalnya sebuah mimpi
terbangun di keheningan pantai malam
ada nelayan tanpa perahu resah ingin berlayar
jiwanya lenyap karena mendamba kapal
demi mengasihi hasrat seorang raja yang sedang berkuasa di daratan.

sebelum angin menjemputnya layu,
sebelum matahari mengantarkan kematian
tanpa menyertakan tangan sang nelayan
kembang wijaya kusuma sampai di pangkuan istana.

wijaya kusuma, aku masih ingin merabamu
menemui detak wisnu yang tertanam di lidahmu.

kali ini, aku menolak tawaranmu
untuk menunggu kedatangan puisi yang tak pasti
biarkan aku pulang dari penantian
menikmati kenyataan malam yang sesak kesunyian.

wijaya kusuma, urailah wewangian tubuhmu
saat kau telah tiba berjumpa malam
tunggu aku, menemuimu.

KEMBANG WIJAYA KUSUMA /2/

menunggu adalah sunyi sebelum memasuki pertemuan
pada putik daun yang mulai berkembang
mendekatkan diri kepada puisi.

wijaya kusuma, aku memanggilmu di kesunyian
untuk mencari keagungan rembulan
menyusuri rasi bintang di dasar laut petang
hingga kau sampaikan salam permulaan
sebelum jantungmu tiba merebak wewangian.

setiap malam pengembara memimpikan mahkota
di atas pemakaman raja-raja
bergerilya menemukan bunga kekasih
mengantarkan asa menuju kursi singgasana.

wijaya kusuma, hidupmu tak kan berlangsung lama
seirama petang bersandar pada kulit malam
bangunlah selagi malam masih jauh berjalan
mencari setapak jalan dalam kegelapan.

SAAT PERUPA MENULISKAN KESETIAAN

1/
saat perupa menuliskan kesetiaan
melalui tangannya yang akrab
dengan seutas kain lugu yang terangkum
pada kisi-kisi bilik yang sepi cahaya.

2/
di sebuah ruang hampa
bersama limbah rumah dan asap kayu
perupa merebahkan malam yang mendidih
menekuni liku pola perjalanan
peninggalan nenek moyang.

3/
matanya yang mulai masak
diliputi kasak-kusuk waktu yang kian terlepas
meraba sosok rumit keindahan
menguras keringat jemari yang menua.

4/
lihatlah senyuman di wajah perupa
setiap delapan jam perhari
kesetiaannya ditunaikan seharga dua lembar kertas
pecahan lima dan dua ribuan
tak cukup untuk mengeringkan kucuran
peluh mereka yang basah.

CANDU

semalam telah kupulangkan rembulan
kepada kesunyian yang pernah kita ragukan
sebab aku tak mampu lagi
mendekati cermin yang selalu berpaling
dari wajahku.

setiap pagi kau tumbuhkan bayang-bayang
pada sawah dan ladang ganjil
hingga matahari lupa akan cahaya
langit sore tiba tanpa membawa senja
dan aku tersesat dalam labirin,
birama sepi,
notasi gelisah
yang kau anyam satu persatu
sepanjang garis waktu.

kau seperti hujan yang dirindukan kemarau panjang
tanpamu aku kehilangan darah
tapi aku tak pernah benar-benar ingin bersamamu
pergilah!
kepadaku, tanamkanlah amnesia.

EDELWEIS

Edelweis, matamu adalah malam
tempatku mengabadikan mimpi. Setiap saat
kusirami tubuhmu dengan kata-kata
hingga berbunga
lalu mekar menjadi puisi.

Tebing-tebing terjal dan pegunungan
tertunduk oleh kaki para pendaki
yang kautemui di peristirahatan sabana.
izinkan aku menyentuh keningmu, lalu bertanya: “Apa itu abadi?”
sembari tersenyum, kau jawab:
“Abadi adalah puisi. Kata-kata yang tak pernah mati”.

Edelweis, kau adalah dambaan
atas kisah-kisah singkat yang renta hilang,
wewangian layu berbinar angin payau
ajarkanlah kami memaknai kematian
membaca jiwa yang akan lenyap oleh lelap.

RITUS SEPASANG TANGAN
:Membaca “Hands” Albercht Durer

seperti halnya kedua mata
dengan sedu dan darah, membahasakan kesedihan
orang-orang menitipkan rupa
pada markah bisu untuk bisa dituliskan
menjadi sepotong risalah.

sepasang tangan itu menangkup ritual sesaji
berturtur dalam diam
memendam sepikat kata, diantara ruas terali
merapal mimpi dalam sahaja
termangu melangitkan harap
perihal permohonan dan rapal asa
menanti wujud cita-cita dan doa.

meski kau senyapkan doa dalam rahim sunyi
Tuhan akan tetap mendengar suaramu.

ilustrasi gambar: shutterstock.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan