Dalam kajian historis maupun filosofis, Nabi Muhammad tidak hanya hadir sebagai seorang pemimpin spiritual, tetapi juga agen revolusi intelektual dan sosial yang mengubah arah peradaban manusia. Kehadirannya membawa suatu sintesis antara wahyu dan rasio, yang secara paradigmatik menciptakan tatanan baru dalam cara berpikir umat manusia tentang eksistensi, moralitas, dan masyarakat.
Jika para filsuf Yunani sebelumnya menekankan pentingnya rasionalitas murni, maka Nabi Muhammad menghadirkan dimensi transendental yang menyinergikan wahyu dengan daya kritis akal. Sinergi inilah yang kemudian menghasilkan suatu model filsafat praksis yang bukan hanya spekulatif, melainkan juga aplikatif dalam kehidupan sosial-politik.

Paradigma lama yang berlaku di Jazirah Arab pra-Islam (jahiliyah) ditandai oleh dominasi mitos, sistem sosial yang timpang, serta ketiadaan struktur moral universal. Rasionalitas eksistensial masyarakat Arab tereduksi pada tradisi tribal yang sempit dan pada praktik hidup yang diatur oleh kepentingan kekuasaan.
Nabi Muhammad menghadirkan kritik filosofis terhadap kondisi tersebut melalui wahyu yang menekankan pentingnya keadilan (al-‘adl), kesetaraan (al-musawah), dan tanggung jawab moral (al-amanah). Wahyu dalam hal ini tidak meniadakan akal, tetapi justru menempatkannya pada posisi fundamental sebagai sarana memahami realitas empiris dan normatif.
Keseimbangan antara wahyu sebagai kebenaran absolut dan rasio sebagai instrumen interpretasi membuka ruang bagi lahirnya tradisi intelektual Islam yang kaya. Di sinilah terlihat bahwa Nabi Muhammad bukan hanya seorang nabi dalam pengertian religius, melainkan juga pemikir revolusioner yang menggeser paradigma filsafat menuju horizon baru. Dengan kata lain, beliau memperluas cakrawala filsafat dengan memasukkan dimensi normatif-transendental yang selama ini absen dalam tradisi filsafat Yunani klasik.
Transformasi filosofis Nabi Muhammad tidak berhenti pada ranah epistemologi, melainkan juga terimplementasi secara nyata dalam struktur sosial. Pada masa itu, masyarakat Arab berada dalam kondisi stratifikasi ekstrem: kaum bangsawan menguasai sumber daya, perempuan mengalami diskriminasi, budak terpinggirkan, dan kaum miskin terabaikan.
Nabi Muhammad menawarkan suatu revolusi nilai yang menekankan konsep egalitarianisme radikal. Prinsip bahwa “al-nās sawāsiya ka asnānil musht” (manusia setara bagaikan gigi sisir) merepresentasikan pernyataan filosofis yang radikal mengenai martabat manusia.
Dalam perspektif filsafat politik, revolusi Nabi Muhammad dapat dibaca sebagai upaya dekonstruksi terhadap tatanan hegemonik jahiliyah dan rekonstruksi fondasi baru yang berbasis pada nilai universal. Konsep ummah yang beliau gagas, misalnya, merupakan ide kosmopolitan yang menembus sekat etnis, ras, dan suku.
Hal tersebut sejalan dengan semangat humanisme universal yang dalam tradisi Barat baru mendapatkan gaungnya beberapa abad setelahnya. Dengan demikian, Nabi Muhammad dapat dipandang sebagai pionir filsafat sosial-politik yang memadukan dimensi moral dengan struktur praksis masyarakat.
Selain aspek sosial-politik, revolusi Nabi Muhammad juga bersifat eksistensial. Wahyu yang diturunkan tidak sekadar berfungsi sebagai pedoman ritual, melainkan juga teks eksistensial yang mengajak manusia untuk merenungkan makna hidup. Pertanyaan filosofis seperti siapakah manusia? dari mana asalnya? untuk apa ia hidup? dan ke mana ia akan kembali? mendapatkan jawaban komprehensif melalui ajaran kenabian.
Dalam kerangka etika, Nabi Muhammad menekankan prinsip kasih sayang (rahmah), keadilan (‘adl), dan kebajikan (ihsan). Nilai-nilai ini menjadi kerangka filosofis yang universal, yang dapat diterapkan melampaui batas agama dan kebudayaan.
Etika kenabian tersebut menolak sistem lama yang berbasis dominasi dan eksklusivisme, lalu menggantinya dengan etika yang holistik. Dengan demikian, revolusi yang dibawa Nabi Muhammad tidak hanya mengguncang aspek teologis, tetapi juga menghadirkan paradigma etika baru yang relevan hingga saat ini.
Revolusi filosofis Nabi Muhammad memberikan fondasi yang kokoh bagi perkembangan filsafat Islam klasik maupun modern. Para pemikir besar seperti al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rushd, hingga al-Ghazali dan Ibn Khaldun, membangun argumentasi filosofis mereka dengan berpijak pada paradigma yang diletakkan oleh Nabi Muhammad: integrasi antara wahyu dan rasio, antara iman dan ilmu. Bahkan, diskursus filsafat Islam modern yang berusaha menjawab tantangan globalisasi, modernitas, dan postmodernitas, masih tetap berakar pada warisan kenabian ini.
Lebih jauh, dalam konteks kontemporer, nilai-nilai yang diwariskan Nabi Muhammad tetap relevan dalam upaya menjawab krisis kemanusiaan, kesenjangan global, dan persoalan etika teknologi. Prinsip kesetaraan, keadilan, dan tanggung jawab moral yang beliau ajarkan dapat dijadikan dasar untuk membangun etika global yang lebih manusiawi. Dengan demikian, Nabi Muhammad tidak hanya hadir sebagai figur sejarah, tetapi juga sumber inspirasi filosofis yang terus mengalir lintas ruang dan waktu.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa Nabi Muhammad bukan sekadar pemimpin religius, melainkan juga seorang revolusioner filsafat yang membawa perubahan paradigmatik dalam sejarah manusia. Revolusi yang beliau gagas mencakup dimensi epistemologis (perpaduan wahyu dan rasio), sosial-politik (egalitarianisme dan konsep ummah), serta eksistensial-etis (makna hidup, kasih sayang, dan keadilan).
Warisan filosofis tersebut tidak hanya membentuk peradaban Islam, tetapi juga menawarkan kerangka universal bagi kemanusiaan. Dengan demikian, kajian ilmiah atas peran Nabi Muhammad dalam sejarah filsafat tidak hanya penting, tetapi juga mendesak, mengingat relevansinya yang abadi dalam menghadapi tantangan global kontemporer.
Referensi:
Abdullah, M. Najib. Filsafat Islam: Pendekatan Tema dan Konteks. Jember: Universitas Islam Negeri, 2019. http://repository.uingusdur.ac.id/436/1/FILSAFAT%20ISLAM%20-%20Pendekatan%20Tema%20dan%20Konteks.pdf.
Anjar Herdiansyah, Deden. Sejarah Nabi: Revolusi Sosial Muhammad SAW. 2024.
Ghalib, Achmad. Filsafat Islam. Jakarta: FITK UIN Jakarta. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/32750/1/FILSAFAT%20ISLAM%20BUKU.pdf.
Khoiriyah, Qori. “Filsafat Kenabian Menurut Murtadha Muthahhari.” Skripsi, UIN Bengkulu, 2020. http://repository.iainbengkulu.ac.id/728/1/Qori%20Khoiriyah.pdf.
Masroer, S.Ag., M.Si. “Revolusi Pemikiran Keislaman Ali Syariati dan Yudian Wahyudi.” UIN Sunan Kalijaga. . https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/42645/1/REVOLUSI%20PEMIKIRAN%20KEISLAMAN%20ALI%20SYARIATI%20DAN%20YUDIAN%20WAHYUDI.pdf.