Reinterpretasi Hukum Murtad dalam Islam

“Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah ia.” (HR. Bukhari). Demikian dalil yang selalu dijadikan sebagai senjata legitimasi, untuk menghalalkan darah manusia yang dicap sebagai murtad.

Terus terang, ada pertanyaan yang mengganjal bagi saya. Bagaimana mungkin Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, justru mengizinkan penghilangan nyawa manusia, hanya karena perbedaan keyakinan? Bukankah soal keyakinan adalah soal yang sangat privat, dan bersifat kerelaan bagi pemeluknya?

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Bahkan lebih jauh, Allah swt. telah berfirman bahwa: “Tidak ada paksaan dalam beragama” (QS. Al-Baqarah: 256).

Berangkat dari keganjalan itulah, akhirnya saya tertarik untuk membaca tentang pandangan pemikir-pemikir muslim kontemporer, terkait persoalan ini. Dan dari sanalah, ada titik terang atas pertanyaan hati saya selama ini.

Murtad, di dalam Al-Qur’an, disebutkan beberapa kali. Misalnya, pada: QS. Al-Baqarah: 217, yang menegaskan bahwa orang yang murtad akan kehilangan amalnya di dunia dan akhirat. Kemudian pada QS. An-Nahl: 106, yang menyebutkan ancaman azab bagi yang kafir setelah beriman.

Dalam beberapa ayat tersebut, Al-Qur’an tidak satupun menyebutkan untuk memberikan sanksi hukuman mati bagi orang yang murtad. Ayat-ayat tersebut lebih condong memberikan sanksi yang bersifat ukhrawi, yaitu mereka akan kehilangan amal dan memperoleh azab atau siksaan. Artinya, sanksi yang diperoleh bagi mereka yang murtad adalah diserahkan kepada Allah swt.

Selanjutnya, meskipun terdapat hadis (yang terkesan) membenarkan penghilang nyawa bagi yang murtad, akan tetapi, jika melihat ulang fakta-fakta sejarah, atau beberapa riwayat terkait penerapan hukuman mati tersebut, kita akan menemukan bahwa, mereka yang dibunuh pada masa Nabi saw. dan Sahabat bukan semata-mata karena kemurtadannya. Tetapi, mereka melakukan pemberontakan, memprovokasi, dan bahkan ada yang sampai memproklamirkan diri sebagai nabi, yang semua itu dapat mengancam stabilitas kota Madinah, yang notabene masih tergolong muda.

Dengan demikian, hukuman mati tersebut sesungguhnya bukan persoalan teologis, tetapi persoalan politis.

Hal itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Yusuf al-Qaradawi, bahwa: hukuman mati bagi murtad, sesungguhnya hanya berlaku jika murtad itu melakukan pengkhianatan dan permusuhan secara terbuka (Yusuf al-Qaradawi, 2009).

Lebih jauh, Fazlur Rahman mengungkapkan, bahwa: Nabi dalam mengambil keputusan tersebut, bukan sekadar menghukum, tetapi demi menjaga kelangsungan sebuah komunitas yang terancam punah (Fazlur Rahman, 1982).

Oleh karena itu, kita perlu melihat secara menyeluruh (teks dan konteks), agar tidak menabrak prinsip dasar Islam itu sendiri, yaitu: Tidak ada paksaan dalam beragama.

Sebab jika hanya memaknai hadis tersebut secara tekstual tanpa mempertimbangkan konteksnya, maka agama yang ramah dan penuh kasih sayang ini, bisa menjadi agama yang menakutkan.

Saya meyakini, bahwa puncak dari ajaran Islam adalah memanusiakan manusia. Menjaga harkat dan martabatnya. Menjaga jiwa dan raganya. Bukan justru merenggutnya.

Sesungguhnya, memberikan kebebasan, atau membiarkan orang memilih keyakinannya secara sukarela (tiada paksaan), bukanlah ancaman bagi agama Islam. Tetapi, merupakan ujian bagi kita untuk menghadirkan Islam dengan wajah yang menyejukkan, wajah yang damai, yang rahmatan lil alamin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan