Seorang perintis tentu berbeda dengan pewaris. Seorang pemilik tentu berbeda dengan pengelola. Begitu juga dalam sebuah fan ilmu.

Mengetahui tokoh-tokoh yang lebih dahulu serta sudut pandangnya, menjadikan kita mengetahui mana mana yang menjadi dasar, mana yang menjadi pengembangan, mana yang lebih dahulu (turats), dan mana yang kontemporer (modern).

Bukan berarti semakin modern sebuah kitab berarti meragukan akan keotentikannya, namun untuk mengokohkan akar pada sebuah fan itu sendiri.
Duktur Al-Khusu’i Muhammad Al-Khusu’i, dosen hadis di Universitas Al-Azhar, mengatakan, “Faedah untuk mengetahui maratib ialah untuk mengukur referensi ketika terdapat pertentangan di dalamnya.”
Selain itu, mengetahui maratib merupakan awal untuk menyelami lautan ilmu itu sendiri. Itu akan menjadikan seseorang paham mana yang harus dijadikan dasar, dan mana yang dijadikan sebagai penambah wawasan.
Syaikh Usamah Sayyid al-Azhari, guru besar hadis dan Penasihat Kepresidenan Mesir, menjelaskan, kita memiliki empat kitab induk dalam fan ini, yaitu Al-Mustashfa (Karya Al-Ghazali), Al-Burhan (Karya Al-Juwaini), Al-Mu’tamad (Karya Abi Husain Al-Bashri), dan Al-‘Umad (Karya Abdul Jabbar).
Dua kitab pertama merupakan karya dari ulama Sunni (Ahlussunnah wal Jama’ah). Sedangkan, dua kitab terakhir adalah karya dari ulama Muktazilah. Masing-masing dari keempat kitab tersebut mempunyai syarh (saya tidak memerincinya karena terlalu banyak) yang sampai 40 syarh.
Sementara itu, di sisi yang lain, keempat kitab tersebut telah dikumpulkan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi dengan judul Al-Husul min Ilmi al-Ushul. Kemudian, Al-Husul ini diringkas oleh dua ulama terkenal bermarga al-Armawi, yaitu Imam Sirajuddin al-Armawi dengan judul At-Tahsil min al-Mahsul dan Imam Tajuddin al-Armawi yang memberinya juudl Al-Ashl min al-Mahsul. Kemudian, keduanya ini diringkas lagi oleh Imam Baidhowi yang sangat populer di telinga kita, yaitu Minhaj al-Wushul.
Tak sampai itu saja, keempat kitab induk yang pertama tadi, selain dikumpulkan oleh Imam Fakhruddin, juga telah dikumpulkan dan diringkas menjadi sebuah kitab bernama Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam oleh Abul Hasan Al-Amidi. Ini kemudian masih diringkas lagi dan menjadi karya monumental, kitab kelas muntaha dalam fan ini, berjudul Mukhtashor Ibnu Hajib karya Ibn al-Hajib (yang banyak di-syarh dan di-ikhtisar oleh berbagai ulama, akan sulit mengingatnya jika saya cantumkan).
Maka izinkan alfakir untuk meringkas tahapan yang sebaiknya dipelajari untuk kita thullab ‘ilm:
Pertama, Al-Waraqat, karya Imam Haramain. Bisa dengan Syarh Imam Al-Mahalli atau Syarh Imam As-Suyuthi.
Kedua, Minhaj al-Wushul ila ‘Ilm al-Ushul, karya Imam Al-Baidhawi. Bisa dengan Syarh-nya Al-Isnawi. Ketiga, Mukhtashor al-Muntaha, karya Imam Ibnu Hajib.
Tulisan ini saya tutup dengan ungkapan,
من حرم الأصول حرم الوصول
Artinya: Siapa yang tidak mempelajari dasar-dasarnya, dia tidak akan sampai pada puncaknya.
Wallahu a’lam, wa ahsana ilaikum jami’an.