Pondok Parappe, Pesantren Salaf Benteng Radikalisme

4,994 kali dibaca

Pada mulanya adalah tudang atau sorogan. Keduanya berarti mengaji kitab kuning dengan cara seorang santri secara individu menyodorkan (menghadapkan) materi yang akan dipelajari kepada guru atau kiai. Itulah yang terjadi pada tahun 1970-an di rumah KH Abd Lathif Busyra. Pada mulanya hanya beberapa santri. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak santri yang mengaji kitab kuning kepada KH Abd Lathif Busyra. Bahkan, tak sedikit yang datang dari jauh.

Melihat perkembangan jumlah santri makin banyak, maka KH Abd Lathif Busyra menjadikan kediamannya sebagai pesantren. Dan, berdirilah Pondok Pesantren Salafiyah Parappe (PPSP) atau yang dikenal dengan Pondok Pengajian Kitab Kuning/Gundul. Pesantren ini terletak di Desa Parappe, Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat. Orang sering menyebutnya sebagai Pondok Parappe.

Advertisements

Pondok Parappe kini tetap dikenal sebagai salah satu pesantren salaf terbesar yang masih secara ketat menjalankan tradisi pengajian kitab kuning dengan sistem sorogan, dalam Bahasa setempat disebut tudang. Tujuan pendidikannya memang secara khusus mendidik para santri agar faqiih fi al-din, menguasai ilmu-ilmu agama, melalui pengajaran kitab kuning atau kitab-kitab turats warisan ulama salaf.

Meskipun sudah dimulai sejak 1970-an, namun sang pendiri, KH Abd Lathif Busyra, baru pada 1997 membentuk yayasan untuk mengelola dan mengorganisasi pelaksanaan pendidikan di Pondok Pareppe tersebut. Yayasan tersebut diberi nama Yayasan Pondok Pesantren Assalafy. Yayasan ini kini menaungi sejumlah lembaga Pendidikan, seperti Madrasah Diniyah, Ula’ (Ibtidaiyah), Wustho’ (Tsanawiyah), dan Ulya’ (Aliyah) di bawah naungan Kementerian Agama RI.

Pendidikan Diniyah Formal

Seiring berjalannya waktu, penyelenggaraan pendidikan di Pondok Pareppe ini juga mengalami perkembangan. Pada 2016, misalnya, sebagai upaya peningkatan kualitas kurikulum tanpa meninggalkan entitas dan identitas sebagai lembaga pendidikan salafiyah, sistem pendidikan dikembangkan menjadi Pendidikan Diniyah Formal (PDF) pada satuan pendidikan Tingkat ‘Ulya. Pada 2018, PDF juga diterapkan pada tingkat Wustho. Peralihan ke PDF ini adalah sebagai pertama dan satu-satunya untuk seluruh pondok pesantren di Sulawesi Barat.

Dengan semakin banyaknya santri dan program Pendidikan kian beragam, Pondok Pareppe yang masih dipimpin pendirinya, KH Abd Lathif Busyra, ini terus menambah dan mengembangkan fasilitas. Dewan Pengurus PPSP, setelah menerima donasi dari para wali santri, alumni, dan simpatisan PPSP pada tahun 2016  membebaskan lahan baru seluas 2 hektare. Lokasinya tak jauh dari lokasi Pondok Pareppe sebelumnya. Di atas lahan baru ini kemudian dibangun Gedung dan fasilitas Pendidikan pada 4 Februari 2018. Peletakan batu pertama pembangunannya dilakukan  Gubernur Provinsi Sulawesi Barat saat itu. Dengan demikian, fasilitas Pendidikan di Pondok Pareppe semakin representatif.

Benteng Radikalisme

Pesantren yang pada 2018 menjadi tuan rumah Musbaqah Kitab Kuning Tingkat Porvinsi ini dikenal sebagai Lembaga pendidikan yang membentengi generasi muda dari serbuan virus radikalisme dan terorisme. Sebab, standar kurikulum pendidikannya sangat ketat, yang meliputi kitab-kitab kuning peninggalan ulama salaf di bidang fikih, tafsir, hadits, ilmu alat, tata bahasa, aqidah, tasawwuf, dan lain-lain yang menutup ruang bagi masuknya paham radikalisme dan terorisme. Contoh-contoh kitab yang diajarkan di antaranya Safinatunnajah, Fathul Qarib, dan Fathul Muin untuk di bidang fikih. Di bidang teologi/aqidah, ada kitab Kifayatul ‘Awam dan Ummu Al-Barahim yang merupakan kitab syarah dari Al-Dasuki. Dalam kitanb-kitab tersebut tidak ada sama sekali d anjuran tentang jihad fisik dalam arti bebas. Kalau ada kitab memuat tentang konsep jihad, khilafah, ar-raiyyah (kepemimpinan), misalnya, tidak sedikitpun para guru di sini berpikir tentang pendirian negara Islam untuk mengganti Pancasila.

Selain itu, dalam proses belajar-mengajar, tradisi berbeda pendapat di Pesantren Pareppe ini dijunjung tinggi. Perbedaan pendapat dalam memahami teks dan konteks dalam kitab kuning yang tak berbaris itu memang menjadi fenomena biasa di dunia pesantren, tidak terkecuali pada Pesantren Salafiyah Parappe. Itu terlihat dan terjadi dalam kegiatan diskusi usbu’iyyah/syahriyyah maupun bahtsul masail di kalangan santri, yang merupakan forum adu argumentasi berbasis kitab kuning.

Di pesantren ini juga dikembangkan tradisi sufisme ala pesantren sangat mewarnai cara pandang dan perilaku keberagamaan santri dan masyarakat sekitarnya. Salah satu tokoh sufi yang dijadikan rujukan penting melalui kitabnya, Ihya Ulumid Diin, Imam Al-Ghazali telah membentuk watak santri yang tawadhu, qanaah, ikhlas, dengan amalan wirid dan majahadah yang intensif. Tradisi sufisme dengan sendiri membentengi santri dari pengaruh arus radikalisme dan terorisme.

Yang menarik, di Pesantren Pareppe ini ada kewajiban bagi santri untuk menghafal Pancasila, dan setiap 17 Agustus digelar upacara kemerdekaan Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia (NKRI. di halaman pondol. Tak lain, KH Abd Latif Busyra adalah yang mewajibkan para santri menghapalkan Pancasila dan mengikuti upacara kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus. Tentu, upara kemerdekaan dilaksanakan ala santri; peserta upacara santri putra tetap mengenakan sarung, yang putri berjilbab.

Itulah Pesantren Pareppe, yang terus mendidik generasi muda untuk menguasai keilmuan Islam yang berjiwa nasionalis.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan