Piala Dunia dan Sufisme di Maroko

964 kali dibaca

Pagelaran Piala Dunia 2022 di Qatar terasa istimewa dengan lolosnya Maroko ke babak semifinal. Tim yang berstatus sebagai kuda hitam itu, selain menumbangkan tim-tim besar seperti Spayol dan Portugal, juga membawa nilai Islami di Piala Dunia kali ini. Terlihat selebrasi-selebrasi yang ditampilkan berbentuk sujud syukur. Pun salah satu pemain Maroko; Achraf Hakimi, selalu meminta doa ibundanya tercinta sebelum melaksanakan pertandingan sepak bola.

Pesona yang dibawa Maroko membawa kegembiraan tersendiri bagi umat Islam dunia. Pasalnya, Maroko adalah negara Islam pertama yang mampu masuk ke babak semifinal Piala Dunia. Dengan lini pertahanan yang apik, penjaga gawang terbaik, serta lini penyerangan yang rapi, membuat Maroko tampil sebagai tim hebat dalam memainkan si kulit bundar.

Advertisements

Selain tampil menawan di gelaran Piala Dunia, ternyata Maroko juga mampu menghasilkan sufi-sufi ternama. Lihat saja pada sosok Imam Al-Jazuli, yang didaulat sebagai wali besar dengan karya Kitab Dalail Khairat. Kemudian ada Imam Al Busiri yang menulis Kitab Qasidah Burdah. Ada pula Syeikh Abul Hassan asy-Syadzili, pendiri Thariqat Syadziliyah lahir di daerah Syadzila, Maroko. Dan ada Syaikh Sidi Ahmed al-Badawi, seorang Wali Qutub pendiri Thariqah Al-Badawiyah. Kesemua ulama tersebut mengembangkan hakikat kesufian yang banyak dianut oleh umat Islam di seluruh dunia.

Keistimewaan Negara Maroko, juga dikenal dari julukannya sebagai bumi para wali. Disebut demikian karena dalam negara itu, setidaknya ada lebih dari 5000 makam suci waliyullah yang selalu ramai oleh penziarah. Biasanya para penziarah mengharapkan barakah dari keberadaan para wali di sana. Corak keislaman yang begitu kental, membuat Maroko sebagai negara Islam dengan historitas yang cemerlang.

Dilihat dari persebaran Islam, Maroko adalah negara yang menjadi cikal bakal lahirnya agama Islam di Spanyol. Saat itu Maroko berhasil menaklukan Andalusia dan membuat peradaban Islam di sana maju. Padahal, masa itu, Andalusia termasuk salah satu kerajaan yang kuat. Namun dengan strategi yang hebat, Thoriq bin Ziyad sebagai panglima perang Maroko, mampu membawa kemenangan untuk Islam. Dari sinilah perkembangan keislaman di Eropa juga mulai melebar.

Corak sufisme dari Maroko menjadi magnet kuat, bagaimana Islamisme dalam gelaran Piala Dunia kali ini memang benar-benar hidup. Hal ini ditambah dengan ditunjuknya Qatar sebagai tuan rumah, menambah pengenalan nilai-nilai keislaman semakin tajam. Pada akhirnya, Islam menjadi agama yang paling disorot pada perhelatan Piala Dunia kali ini.

Sufisme dan Ruang Terbuka

Corak sufisme dari Maroko membawa kekayaan pemikiran di masyarakat itu sendiri. Dengan adanya nilai-nilai sufistik tersebut, Maroko mampu hadir sebagai negara yang terbuka terhadap perbedaan. Nilai sufistik secara tidak langsung akan berpihak kepada kebenaran, cinta kasih, perdamaian, yang meorientasikannya pada dialog terbuka serta membangun jembatan keilmuan yang harmoni antara sesama manusia.

Kita bisa melihat bagaimana Maroko tidak alergi pada budaya Barat yang secara keyakinan jelas berbeda. Akan tetapi, mereka mempunyai pendirian yang matang dalam hal pengaplikasian budaya tersebut pada diri mereka. Maroko tetap menghormati khazanah kebudayaan yang dibangun di dalamnya. Kemudian mereka juga berdialog, dengan mempromosikan kebudayaan mereka kepada negara Barat. Pokok komunikasi seperti inilah, yang menjadi nilai dari sufisme itu sendiri.

Sufisme lebih tertarik dalam pengkajian keilmuan secara terbuka. Tidak menjelek-jelekkan kepercayaan lain, namun kuat memegang kepercayaan sendiri. Jelas indikator seperti inilah yang dibutuhkan Islam di masa sekarang. Di mana Islam dengan corak sufistik, akan memiliki potensi yang lebih besar dalam memimpin dunia menuju suatu kemajuan. Mengurangi peperangan dan lebih fokus pada diskusi-diskusi keilmuan.

Sufistik Melawan Ekstremisme

Sifat dari ekstremisme sendiri ialah memaksakan setiap kehendak kepada semua orang. Cenderung memakai cara keras dengan mengedepankan ancaman. Maka tidak jarang, yang timbul adalah peperangan dan pengkultusan diri sebagai seseorang yang paling benar. Budaya seperti ini apabila diteruskan, hanya berujung pada kehancuran dunia. Satu demi satu akan tumbang akibat perang saudara.

Kita telah banyak melihat contoh ekstremisme bertebaran. Tindakan terorisme dan radikalisme adalah contoh nyata bagaimana ekstremisme mampu membuat kehancuran yang sekian besarnya. Ekstremisme tidak memandang hakikat kemanusiaan, yang ada hanyalah keikutsertaan seseorang pada kelompoknya. Hal ini menjadi tolok ukur dasar untuk mengkonfirmasi pihak tersebut sebagai kawan ataupun lawan.

Pemahaman sufistik, dalam banyak hal akan menggeser nalar ekstremisme yang begitu brutal. Sufistik dalam tataran keilmuan, membuat manusia lebih cerdas dan berdaulat. Manusia menjadi sosok yang dapat menghargai segala bentuk perbedaan. Membuat manusia lebih menerima bahwa kebenaran bukan hanya satu, dan untuk kelompoknya saja. Kebenaran adalah bentuk relatif yang kapan saja bisa berubah sesuai keadaan sekitarnya.

Maka pokok sufistik inilah yang nantinya akan menghantam gelombang ekstremisme yang menggejala di tubuh Islam itu sendiri. Dan keikutsertaan Maroko dalam gelaran Piala Dunia kali ini, adalah sebuah anugerah sekaligus pertanda bahwa nilai-nilai sufisme tersebut perlu dihidupkan kembali. Islam memerlukan sufisme untuk bangkit dan memimpin dunia menuju kedamaian.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan