Pesantren Salaf Hari Ini

2,284 kali dibaca

Euforia pendidikan pesantren tampak semakin mengagumkan. Segala kualitas dan mutu sudah mengalami peningkatan. Terlebih, minat masyarakat yang semakin tinggi terhadap tren mondok.

Mungkin jika kita membahas eksistensi pesantren di kampung sepertinya terlalu klise. Apalagi di Madura, yang nota bene masyarakatnya adalah masyarakat santri, dan pesantren menjadi pilihan utama. Di kota, arus tersebut juga sudah menjalar. Tak sedikit orangtua di kota lebih memilih memondokkan anaknya di pondok pesantren.

Advertisements

Stigmasi masyarakat yang menyebut bahwa santri itu kolot, terbelakang, dan tidak maju sudah tidak lagi relevan. Bahkan, vibes santri hari ini semakin bersinar saja. Banyak masyarakat yang sudah mulai melirik eksistensinya, mulai dari kalangan politikus, pejabat, sampai calon mertua. Sangat bersyukur sekali sebenarnya menjadi santri di era hedon ini.

Dunia sinetron dan perfilman pun tidak mau kalah. Banyak cerita dalam sinetron dan film yang berlatar pesantren. Sebut saja sinetron Kun Anta, The Santri (film yang gagal debut karena polemik), Sisterillah (perjalanan persahabatan lima santriwati), Lima Menara, dan lain-lain. Disadari atau tidak, realitas tersebut semakin menunjukkan bahwa tren mondok di kalangan masyarakat menguat.

Di sisi yang berbeda, beberapa institusi perguruan tinggi pun mulai melirik sistem pembelajaran pesantren untuk diadopsi di kampusnya. Fakultas Syariah IAIN Madura, misalnya, yang mengarantina mahasiswanya di pondok pesantren dalam kurun waktu yang ditentukan untuk belajar kitab kuning. Jangan salah, ini bukan promosi kampus. Ini sebagai contoh saja. Di banyak kampus IAIN atau UIN, gejala semacam sudah mulai tumbuh.

Tren mondok tentu memiliki beberapa faktor. Achyat Khalili dalam tulisannya di buletin Sidogiri yang bertajuk “Euforia Pendidikan Pesantren” menjelaskan bahwa faktornya ada dua, yakni faktor eksternal dan faktor internal.

Pertama, faktor eksternal. Bagi Achyat, faktornya berasal dari masyarakat. Saat ini, banyak masyarakat menganggap bahwa sistem pendidikan pesantren bisa menjadi solusi atas segala krisis yang dihadapi.

Kita tahu, saat ini Indonesia dilanda oleh beberapa krisis, seperti krisis moral, krisis sosial, dan lainnya. Maka dengan sistemnya yang memprioritaskan ngalap barokah (mengambil berkah) bisa mengatasi segala krisis tersebut.

Sedangkan, faktor internalnya adalah berasal dari pesantrennya sendiri. Sampai saat ini kebanyakan pesantren memang bergerak secara sadar dalam merespons kebutuhan dan perkembangan zaman. Segala repair (perbaikan) atas mutu dan kualitas sistemnya terus digalakkan.

Sebenarnya ini menjadi persoalan penting. Sebab, kebutuhan masyarakat saat ini relatif berubah. Kecanggihan teknologi memang sudah seharusnya dimanfaatkan. Hal itu tidak lain agar sistem pembelajaran pesantren seimbang dengan perkembangan zaman. Hingga kemudian kita tidak hanya melihat santri yang berprestasi dalam bidang keagamaan saja, melainkan juga mendobrak dunia sains, olah raga, teknologi, dan lain-lain.

Apa Kabar Pesantren Salaf?

Bagi yang belum tahu, pesantren salaf merupakan pesantren yang masih menganut sistem kuno (baca: asal). Sesuai dengan namanya, salaf/salafiyah, pesantren ini (secara umum) hanya mempelajari kitab-kitab klasik. Sementara, pelajaran umum seperti matematika, bahasa Inggris, dan lainnya tidak ada. Bahkan, sejauh penulis memandang, dikhotomi keilmuan di pesantren salaf sangat pekat.

Menilik pada salah satu pesantren salaf di Kabupaten Sumenep (tanpa saya sebut nama) yang sampai saat ini tidak tersentuh keilmuan umum sama sekali. Bahkan, menurut santrinya, pesantren melarang santri membaca buku fiksi seperti novel.

Jika kita melihat kebanyakan pesantren sudah membumbui sistemnya dengan ilmu umum, di pesantren tersebut justru hanya belajar kitab kuning. Sebenarnya tidak ada yang salah, kitab kuning patut diakui sebagai elemen vital dalam keilmuan. Namun, akan lebih baik sepertinya jika diimbangi dengan disiplin ilmu lainnya.

Dari atribut salafnya, sebenarnya perlu jika pesantren-pesantren salaf juga disejajarkan dengan pesantren modern. Meskipun pastinya tidak sama, setidaknya pesantren salaf juga menjadi pesantren yang tidak kerontang oleh kemajuan.

Saya husnudzon saja, jika beberapa pesantren salaf masih tetap kokoh menganut salaf murni. Pasti ada beberapa alasan yang sudah dipertimbangkan, beberapa di antaranya, pertama, wasiat sang pendiri. Pendiri pesantren merupakan pemegang tonggak kekuasaan tertinggi. Keberadaannya biasanya paling disegani, dihormati, dan dimuliakan. Bagi santri tulen, penghormatan terhadap guru sangat diutamakan, apalagi kepada pendiri pesantren dan guru sepuh. Ini bukan soal stratifikasi atau membeda-bedakan, namun faktanya kiai sepuh dan pendiri pesantren memang memiliki tempat istimewa di masyarakat.

Jika sudah menjadi wasiat kiai pendiri, yang lain bisa apa. Sebab hal itu bukan sebatas undang-undang atau aturan pesantren, lebih dari itu ada hal yang lebih penting, yaitu penghormatan terhadap wasiat guru.

Kedua, karena pengelola pesantren (baik pengasuh, majelis keluarga, dan lain-lain) yakin bahwa sistem salaf murni merupakan garis aman. Mereka cenderung khawatir pesantren yang dipimpinnya terkontaminasi oleh radiasi luar. Sehingga, sistem tersebut tetap menjadi pilihan.

Maknanya, segala keputusan yang diambil sebenarnya dipertimbangkan dengan dan demi kebaikan. Hanya, terkadang porsi yang ditawarkan kurang tepat dengan realitas sekarang. Sudah selayaknya pesantren-pesantren salaf juga melihat dunia luar.

Sistem kuno yang dianut oleh pesantren salaf rupanya menyita banyak perhatian masyarakat. Tak jarang ia juga melahirkan respons negatif masyarakat. Salah satunya mengenai anggapan bahwa pesantren salaf lebih rentan tejangkit radikalisme.

Jika dilihat secara sepintas, argumen tersebut bisa jadi terimbas dengan kejadian sekarang. Sebab, pada kenyataannya, beberapa pesantren salaf hanya membekali santrinya ilmu agama, tanpa diimbangi ilmu umum sama sekali. Sehingga, pesantren salaf bisa menjadi sasaran empuk paham tersebut. Di lain sisi, keangkeran radikalisme dalam menanamkan doktrinasi semakin menjadi-jadi. Inilah bahayanya.

Namun, untuk membuang kemungkinan dan stigmasi tersebut (seperti radikal dan kolot), ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Beberapa di antaranya, pertama, dikarenakan objek kajiannya kitab kuning, maka pesantren salaf fokus meng-upgrade pembelajaran, semisal mengusung metode cepat membaca kitab kuning. Sehingga, daya tarik masyarakat akan meningkat. Selain itu juga, kitab-kitab yang digunakan sebaiknya juga ditambah dengan kitab-kitab kontemporer. Sehingga pembahasannya pun segar dan tidak rigid.

Kedua, mendirikan bahtsul masail yang membahas isu kontemporer. Sebagaimana yang lumrah, bahtsul masail biasanya membahas isu problematik untuk melahirkan kesimpulan hukum dengan cara diskusi ala santri. Realitas yang diangkat biasanya yang aktual.

Dengan itu, santri salaf tidak hanya terkungkung dalam pembahasan yang monoton, namun juga membuka ruang berpikirnya pada hal yang lebih kompleks. Dari bahtsul masail ini juga, ilmu yang dipakai tidak melulu ilmu agama, kesimpulan hukum pasti juga disandarkan kepada beberapa ilmu lain, seperti sains, medis, dan lainnya. Tergantung pada tajuk isu yang diangkat.

Ketiga, tetap menanamkan semangat nasionalisme dalam diri santri. Tidak harus dengan upacara sebagaimana yang dilakukan lembaga negeri atau swasta pada umumnya. Bisa diaktualisasikan dengan karakter pesantren salaf. Sebab, esensinya adalah menanamkan nasionalisme dan menyingkirkan benih radikalisme.

Sehingga kemudian tidak ada lagi stigma negatif atas pesantren salaf. Pesantren salaf juga bisa dipandang dan memiliki vibes kuat. Selain itu, pesantren salaf juga tetap pada porosnya (baca:karakter), namun juga tidak menutup cahaya dunia luar. Ini sebenarnya yang diharapkan. Wallahu a’lam.

Multi-Page

One Reply to “Pesantren Salaf Hari Ini”

Tinggalkan Balasan