Pesantren Madura Merespons UU Pesantren

927 kali dibaca

Isu polemik Undang-Undang Nomor 18 tentang Pesantren (UU Pesantren) sudah berlalu sejak 3 tahun silam. UU Pesantren dirasa perlu diperbincangkan dan ditinjau ulang (review) keberadaannya ketika Kepala Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT), Boy Rafli Amar, menyatakan sebanyak 198 pesantren di Indonesia terafiliasi jaringan terorisme yang disampaikan dalam rapat kerja (raker) Komisi III DPR RI (25/01).

Persoalan intensifikasi UU Pesantren tentu kembali dipertanyakan di sini. Meski Komjen Boy Rafli sendiri telah menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan objek pernyataan “lembaga pesantren” yang sebenarnya dimaksudkan untuk “oknum pesantren”, setidaknya telah membuka ruang usaha preventif terhadap pesantren mengingat episteme jihad sebagai kedok terorisme erat hubungannya dengan doktrin agama.

Advertisements

Mengurai benang merahnya, salah satu majalah pesantren mainstrem di daerah Sumenep, Madura melakukan investigasi terhadap seluruh pondok pesantren di Madura (Muara, Januari 2022). Majalah yang digadangkan akan hadir pada Mei mendatang mencoba menghadirkan sajian relasi antara Kementeri Agama (Kemenag) dengan lembaga pesantren melalui UU Pesantren yang disahkan pada tahun 2019.

Paradoks Pasal

Sejak 15 September 2019, keberadaan pesantren sudah harus berdasarkan izin operasional secara sah dari Kemenag. Hal itu diatur dalam UU Pesantren Pasal 6 Ayat (2) tentang pendirian pesantren sebagai lembaga keagamaan menjadi bagian dari Kemenag. UU Pesantren menjadi media standar kelayakan dan kontroling Kemenag terhadap pesantren di Indonesia.

Kemenag akan mencabut izin operasional jika pesantren disinyalir berafiliasi dengan jaringan terorisme. Hal serupa juga diungkapkan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kiai Cholil Nafis ketika angkat suara menanggapi pernyataan Komjen Boy Rafli. “Cabut saja izinnya, jangan hanya bikin narasi,” cuitan Kiai cholil di akun Twitternya (28/01).

Mencabut izin operasional bisa dilakukan jika pesantren yang terafiliasi dengan teroris terkontrol dalam koridor administrasi yuridis Kemenag. Tapi jika pesantren yang dimaksud berdiri secara independen, pendekatan yuridis tidak bisa diambil.

Investigasi kepesantrenan bulan lalu menguraikan fakta miris sebanyak puluhan pesantren tidak terakomodasi oleh UU Pesantren. Dalam hal ini, Madura yang kental dengan pendidikan pesantren bisa merepresentasikan kondisi sosio-yuridis pesantren di seluruh Indonesia.

Pertama, legal historis pesantren yang murni muncul akibat endapan akumulatif pengalaman keagamaan masyarakat. Keberadaan pesantren murni dibangun atas kehendak penuh masyarakat tanpa dominasi unsur di luarnya untuk memberikan suatu legitimasi kultural terhadap lembaga keagamaan. Terdapat usaha menjaga kemurnian pesantren sebagai lembaga masyarakat dari reduksitas “politik” (legalitas kontitusional).

Banyak sekali pesantren yang menolak “dana abadi” (UU Pesantren Pasal 49 Ayat 1) sebagai tunjangan sosial pemerintah dan memilih independen dengan kemandirian ekonomi, seperti Ponpes Salafiyah Syafiiyah Guluk-guluk dan Ponpes Karay Sumenep.

Kedua, paradoks pasal yang “menstandarisasi kiai”. Dalam UU Pesantren Pasal 9 Ayat (1) disebutkan bahwa ada syarat kelayakan seorang tokoh pantas mengasuh pesantren, baik keturunan langsung pendiri pesantren atau pihak lain.

Secara garis besar, kelayakan dari segi pengalaman dan keilmuan harus diakui secara legal berdasarkan ijazah. Kemudian, UU Pesantren Pasal 23 Ayat (3) yang menaikkan status lulusan pesantren setara dengan lembaga pendidikan umum lainnya dengan memasukkan kurikulum formal. Kemenag berusaha memberikan sertifikasi kelulusan yang sah bagi lulusan pesantren. Mirisnya, Kemenag tidak mampu mencerna implikasi kultur pesantren salafiyah yang masih kental dengan pandangan dan metode klasik yang tentu menolak ketentuan dalam pasal itu.

Memberikan Evaluasi

Tingginya nominasi pesantren di Madura yang eksis sampai sekarang tanpa izin operasional Kemenag, selain pasal paradoks yang harus ditinjau ulang, sosialisasi ke pelosok daerah untuk menyampaikan tujuan yuridis UU Pesantren harus digalakkan. Di samping juga menjalin hubungan baik dengan para pengasuh pesantren. Kita tidak bisa memungkiri bahwa pesantren berpotensi besar menjadi sasaran empuk objek doktrinal paham terorisme. UU Pesantren di sini diharapkan menjadi alat kontrol Kemenag dalam memutus jaringan teorisme.

Kondisi seperti ini menuntut Kemenag turun tangan baik secara langsung atau melalui buzzer dalam mensosialisasi UU Pesantren secara substansial dan komprehensif (litera legis and sentetia legis). Hingga Oktober 2021 lalu, masih terdapat 26.973 pesantren yang terkordinasi secara operasional oleh Kemenag. Di pelosok desa, masih banyak pesantren dengan sistem klasik yang tidak mampu diakomodasi oleh Kemenag sehingga beroperasi dengan bebas tanpa batasan kurikulum.

Kurangnya pemerintah dalam mensosialisasi UU Pesantren secara blusukan dengan mendatangi pesantren-pesantren di berbagai daerah mengakibatkan para pengasuh pesantren tidak tahu-menahu soal UU Pesantren. Fakta ini menjadi bukti kealpaan Kemenag dalam menghadirkan substansi hukum. Keberadaannya sekadar menguraikan narasi hukum dengan mengandalkan legitimasi keterikatan. Akibatnya, pihak pesantren tidak mengetahui secara benar tujuan yuridis UU Pesantren dan berakhir dengan penolakan.

Selanjutnya, mengevaluasi pasal yang didapati menjadi pradoks bagi pesantren. Langkah ini dilakukan untuk menempatkan hukum dengan elastis yang tidak hanya berkutat dengan pasal-pasal, juga sebagai pranata sosial (order) yang diterima dengan suka rela oleh kelompok masyarakat manapun. UU Pesantren dalam merespons realitas sosial pesantren saat ini, dituntut tidak hanya dijalankan secara normatif-yuridis yang cenderung kaku karena mengedepankan keterikatan sanksi, tapi juga dituntut berafiliasi secara etis dengan kebutuhan masyarakat saat ini (Law progressif, 2003).

Akhirnya, UU Pesantren mampu menjadi media jalinan silaturahim antara Kemenag dan pesantren dalam memutus jaringan terorisme yang marak terjadi saat ini. Dua lembaga itu bisa bekerja sama dengan baik untuk mengatasi berbagai paham yang menyimpang dan mengancam persatuan bangsa. Tujuan paling penting dari UU Pesantren yakni mengatasi ihwal terorisme di pesantren.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan