Pesantren, Kapitalisme, dan Pasar Tuhan

Sore itu, langit Jombang separo mendung. Di halaman ndalem kiai sepuh, Archimea duduk berselonjor di atas tikar pandan, ditemani secangkir kopi tubruk dan kitab kuning tua yang sampulnya nyaris terkelupas. Dari kejauhan, terdengar suara para santri menggulung spanduk bekas acara maulid. Di antara kain spanduk itu, ada tulisan mencolok: “Santri Dilarang Membuka Warung Saat Ngaji.”

Archimea tersenyum. Sebuah larangan yang terasa lebih simbolik daripada literal. Sebab, kenyataannya, di luar sana, warung-warung milik santri justru lebih ramai dari pengajian. Di samping masjid, ada kedai kopi dengan nama “Ngopi Bareng Nabi”; di belakang asrama, ada toko herbal, snack sunnah, hingga booth pulsa yang dilabeli “Barokah Digital.”

Advertisements

Di titik itu, ia menyadari bahwa pesantren hari ini bukan lagi tempat sunyi yang hanya berisi hafalan Alfiyyah, ngaji bahtsul masail, atau suara lembaran kitab yang disela embusan angin. Dunia pesantren sedang berubah. Tak hanya sebagai ruang spiritual, tapi juga sebagai ekosistem ekonomi, dan mungkin lebih jauh: sebagai pasar.

Jejak Ekonomi Pesantren

Sejak abad ke-19, pesantren di Nusantara tak pernah steril dari aktivitas ekonomi. Santri-santri tempo dulu berdagang beras, hasil bumi, kitab bekas, bahkan jasa menulis surat bagi masyarakat sekitar. Ekonomi lokal tumbuh seiring gerak ilmu agama. Tapi semua itu bergerak pelan, kadang sunyi, dan selalu dibalut semangat nglakoni, bukan semata nguntungke.

Archimea pernah membaca catatan lama tentang Pesantren Termas dan Lasem, tempat di mana ekonomi kerakyatan tumbuh bersama tradisi sufistik dan keilmuan keislaman. Tak ada baliho. Tak ada endorse. Bahkan hasil dagang kadang-kadang diserahkan untuk dapur umum pesantren tanpa tanya “modal kembali atau tidak.”

Kini, realitas itu berubah. Pesantren bukan hanya bagian dari masyarakat ekonomi, tapi telah menjadi pasar itu sendiri. Ada santri membuka bisnis online, jualan merchandise santri, kopi kiai, sarung premium, dan madu habbatussauda dalam kemasan modern. Semuanya dibungkus dengan label “syariah” dan dipromosikan dengan jargon “ekonomi umat.”

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan