Pesantren dan Tantangan Rasionalitas Zaman

23 views

Di banyak forum pengajian dan majelis taklim, kisah-kisah karamah para wali sering kali menjadi bagian yang paling dinantikan. Cerita tentang kiai yang bisa mengetahui isi hati santrinya, berjalan di atas air, atau tiba-tiba muncul di dua tempat sekaligus menjadi sajian yang tak hanya memukau, tapi juga membentuk pola pikir bahwa spiritualitas identik dengan keajaiban.

Namun, dalam masyarakat modern yang kian rasional, pendekatan seperti ini mulai dipertanyakan. Generasi muda yang tumbuh dengan akses ke pengetahuan global, mulai mencari jawaban yang lebih masuk akal, terukur, dan dapat diuji.

Advertisements

Lalu, di manakah posisi pesantren — institusi pendidikan Islam tertua dan paling berpengaruh di Indonesia —dalam merespons perubahan zaman ini? Sudahkah budaya keilmuannya cukup tangguh untuk berdialog dengan dunia yang semakin ilmiah?

Tulisan ini akan mengulas kenapa pesantren harus bertransformasi dari sekadar pelestari cerita karamah menjadi pusat diskursus ilmiah yang hidup dan relevan.

Karamah dan Metafisik

Tak bisa dimungkiri, cerita-cerita karamah telah menjadi bagian dari tradisi lisan pesantren. Ia dituturkan dari generasi ke generasi sebagai penguat iman, sebagai bentuk penghormatan kepada ulama, dan sebagai sarana spiritual yang diyakini membawa berkah. Dalam tataran tertentu, ini sah-sah saja. Spiritualitas dalam Islam memang membuka ruang bagi dimensi ilahiah yang kadang tak bisa dijelaskan secara logis.

Namun, masalah muncul ketika narasi-narasi ini mendominasi ruang keilmuan hingga menyingkirkan rasionalitas. Ketika diskusi tentang metodologi, filsafat, dan sains dianggap “dingin”, “kering”, atau bahkan “tidak barakah”, maka pesantren perlahan berubah menjadi tempat pengulangan cerita, bukan pengembangan ide. Lebih parah lagi, karamah kadang dijadikan legitimasi otoritas tanpa pertanggungjawaban ilmiah. Kiai menjadi tak tersentuh, bukan karena hujjahnya kuat, tapi karena dianggap sakti.

Dunia Modern dan Rasionalitas

Kini kita hidup di dunia yang kian data-driven. Sains, teknologi, dan logika menjadi alat utama untuk menilai kebenaran. Generasi Z dan Alpha tidak lagi puas dengan jawaban “karena begitu kata guru”, mereka butuh argumen, data, dan relevansi. Mereka terbiasa berpikir kritis, mengecek ulang informasi, dan membandingkan berbagai sumber.

Dalam konteks ini, pesantren yang hanya mengandalkan narasi metafisik bisa tampak usang. Ketika masyarakat berbicara tentang artificial intelligence, climate change, atau filsafat moral, tapi pesantren masih berkutat pada kisah sendal kyai yang tak bisa dicuri, maka ada kesenjangan diskursus yang harus dijembatani. Jika tidak, pesantren bisa kehilangan daya tawar dalam percaturan intelektual global.

Pusat Intelektual: Dulu dan Sekarang

Ironisnya, jika kita menengok sejarah, pesantren justru lahir sebagai pusat intelektual yang sangat progresif. Ulama-ulama Nusantara dahulu menulis kitab, berdebat tentang teologi, merespons isu kolonialisme, bahkan aktif dalam wacana kebangsaan. Pesantren adalah tempat di mana kitab-kitab filsafat Islam dalam berbagai tingkatan diajarkan.

Namun, dalam beberapa dekade terakhir, sebagian pesantren justru menjadi konservatif secara intelektual. Diskusi kritis dianggap bidah, perbedaan pendapat diseragamkan, dan nalar digantikan oleh dogma. Ada kecenderungan untuk mempertahankan status quo, menjaga stabilitas, dan menghindari kontroversi. Akibatnya, keberanian berpikir kritis —yang dulunya menjadi napas utama pesantren— perlahan mati suri.

Menghidupkan Budaya Ilmiah

Mengapa penting bagi pesantren untuk kembali menghidupkan diskursus ilmiah?

Pertama, karena Islam sendiri sangat menjunjung ilmu pengetahuan. Al-Qur’an mengajak manusia berpikir, merenung, dan meneliti. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi.” Tapi pewarisan itu bukan hanya pada ritual, tapi juga pada semangat mencari kebenaran.

Kedua, karena tantangan zaman hari ini sangat kompleks. Isu-isu seperti radikalisme, liberalisme, gender, pluralisme, hingga bioetika dan teknologi digital, menuntut jawaban keagamaan yang argumentatif. Pesantren harus mampu menghasilkan jawaban yang tidak hanya saleh secara spiritual, tapi juga rasional dan berdampak sosial.

Ketiga, karena santri hari ini akan menjadi pemimpin masa depan. Jika mereka hanya dibekali hafalan dan cerita-cerita magis, tanpa kemampuan berpikir kritis dan metodologis, maka mereka akan tertinggal. Dunia tak butuh hanya hafiz, tapi hafiz yang bisa menjawab problem dunia.

Apa yang Perlu Diubah?

Melihat perkembangan dan tantangan zaman yang demikian kompleks, mau tidak mau pesantren juga perlu menyesuaikan diri. Perubahan adalah keniscayaan. Apa yang perlu diubah?

Pertama, mindset harus berubah. Kiai dan pengasuh pesantren harus membuka diri pada pentingnya nalar ilmiah dalam pendidikan agama. Ini bukan soal sekularisasi, tapi revitalisasi.

Kedua, perlu adanya kurikulum yang membuka ruang bagi filsafat, logika, dan metodologi keilmuan. Kitab kuning harus dibaca tidak hanya dengan teks, tapi juga dengan konteks. Diskusi harus difasilitasi, bukan dibatasi.

Ketiga, santri harus dibiasakan berdiskusi, menulis, dan menyampaikan argumen secara logis. Forum bahtsul masail harus dikembangkan menjadi laboratorium intelektual yang aktif dan tidak hanya formalitas.

Keempat, kisah karamah tetap bisa diceritakan, tapi ditempatkan dalam ranah spiritual, bukan ilmiah. Kebenaran ilmiah harus berdiri di atas bukti dan nalar, bukan sekadar takjub.

Penting untuk ditegaskan: mengedepankan diskursus ilmiah bukan berarti menafikan spiritualitas. Justru, Islam yang utuh adalah Islam yang memadukan akal dan qalbu, ilmu dan hikmah. Karamah bukan untuk dipertontonkan, tapi untuk memperdalam rasa tawadhu’. Ilmu bukan untuk dipertandingkan, tapi untuk membebaskan manusia dari kebodohan.

Pesantren bisa menjadi tempat terbaik untuk memadukan keduanya —tempat di mana zikir dan pikir bertemu, tempat di mana malam diisi dengan munajat, dan siang dengan diskusi intelektual.

Berubah demi Masa Depan

Zaman telah berubah. Dunia tak lagi hanya membutuhkan pendengar yang patuh, tapi pemikir yang tangguh. Pesantren harus bangkit dari romantisme masa lalu dan mulai menata masa depan. Bukan dengan menghapus tradisi, tapi dengan memberi ruang bagi inovasi.

Cerita karamah boleh tetap hidup sebagai penguat iman. Tapi, jangan biarkan ia menenggelamkan nalar. Sudah saatnya budaya keilmuan pesantren menyeimbangkan antara keajaiban dan argumentasi, antara kharisma dan keilmuan, antara sakralitas dan rasionalitas.

Karena jika pesantren ingin tetap jadi mercusuar peradaban, maka ia harus menyala dengan cahaya ilmu —bukan sekadar aura magis.

***

Catatan: Artikel ini ditulis sebagai ajakan berpikir, bukan tuduhan atau penghakiman. Pesantren tetap memiliki tempat mulia dalam sejarah dan masa depan umat Islam. Namun, seperti semua institusi pendidikan, ia perlu terus memperbarui diri.

Sumber foto: Al Muhibbin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan