Di banyak forum pengajian dan majelis taklim, kisah-kisah karamah para wali sering kali menjadi bagian yang paling dinantikan. Cerita tentang kiai yang bisa mengetahui isi hati santrinya, berjalan di atas air, atau tiba-tiba muncul di dua tempat sekaligus menjadi sajian yang tak hanya memukau, tapi juga membentuk pola pikir bahwa spiritualitas identik dengan keajaiban.
Namun, dalam masyarakat modern yang kian rasional, pendekatan seperti ini mulai dipertanyakan. Generasi muda yang tumbuh dengan akses ke pengetahuan global, mulai mencari jawaban yang lebih masuk akal, terukur, dan dapat diuji.

Lalu, di manakah posisi pesantren — institusi pendidikan Islam tertua dan paling berpengaruh di Indonesia —dalam merespons perubahan zaman ini? Sudahkah budaya keilmuannya cukup tangguh untuk berdialog dengan dunia yang semakin ilmiah?
Tulisan ini akan mengulas kenapa pesantren harus bertransformasi dari sekadar pelestari cerita karamah menjadi pusat diskursus ilmiah yang hidup dan relevan.
Karamah dan Metafisik
Tak bisa dimungkiri, cerita-cerita karamah telah menjadi bagian dari tradisi lisan pesantren. Ia dituturkan dari generasi ke generasi sebagai penguat iman, sebagai bentuk penghormatan kepada ulama, dan sebagai sarana spiritual yang diyakini membawa berkah. Dalam tataran tertentu, ini sah-sah saja. Spiritualitas dalam Islam memang membuka ruang bagi dimensi ilahiah yang kadang tak bisa dijelaskan secara logis.
Namun, masalah muncul ketika narasi-narasi ini mendominasi ruang keilmuan hingga menyingkirkan rasionalitas. Ketika diskusi tentang metodologi, filsafat, dan sains dianggap “dingin”, “kering”, atau bahkan “tidak barakah”, maka pesantren perlahan berubah menjadi tempat pengulangan cerita, bukan pengembangan ide. Lebih parah lagi, karamah kadang dijadikan legitimasi otoritas tanpa pertanggungjawaban ilmiah. Kiai menjadi tak tersentuh, bukan karena hujjahnya kuat, tapi karena dianggap sakti.
Dunia Modern dan Rasionalitas
Kini kita hidup di dunia yang kian data-driven. Sains, teknologi, dan logika menjadi alat utama untuk menilai kebenaran. Generasi Z dan Alpha tidak lagi puas dengan jawaban “karena begitu kata guru”, mereka butuh argumen, data, dan relevansi. Mereka terbiasa berpikir kritis, mengecek ulang informasi, dan membandingkan berbagai sumber.