Beberapa waktu terakhir, publik dikejutkan dengan pernyataan sejumlah pejabat negara yang menyarankan pengiriman anak-anak yang berperilaku “nakal” ke pesantren.
Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen, misalnya, dalam upayanya mendorong pesantren ramah anak, menyinggung peran pesantren dalam membina anak-anak dengan masalah perilaku.

Sekilas, wacana ini tampak solutif dan berangkat dari niat baik. Namun, di balik niat itu tersimpan logika keliru yang perlu dikritisi, yakni menjadikan pesantren sebagai tempat rehabilitasi sosial bagi anak-anak yang dianggap bermasalah oleh masyarakat atau negara.
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang bertujuan mencetak generasi yang alim, berakhlak, dan mandiri. Di balik kesederhanaannya, pesantren menyimpan kearifan pendidikan berbasis nilai, spiritualitas, dan kebersamaan.
Menjadikan pesantren sebagai tempat “pembuangan” anak-anak bermasalah sama artinya dengan mereduksi peran luhur pesantren. Seolah-olah, pesantren itu lembaga darurat sosial, bukan tempat untuk mencari ilmu, melainkan tempat “membersihkan” anak-anak dari kenakalan, kebrutalan, atau ketidakpatuhan.
Apakah negara sudah kehabisan cara untuk menangani problem sosial hingga harus menyerahkannya kepada pesantren?
Alih-alih membangun sistem pendidikan yang sehat, negara malah melempar tanggung jawab ke lembaga-lembaga yang tidak didesain untuk itu. Ini seperti mengobati luka parah dengan plester.
Kebijakan semacam ini justru bisa menjadi ancaman serius bagi pesantren sendiri. Dengan banyaknya kasus kekerasan di lembaga pendidikan, termasuk di beberapa pesantren, pengiriman anak-anak bermasalah tanpa sistem pengawasan yang kuat justru berpotensi menciptakan konflik, perundungan, atau kekerasan baru.
Apa jadinya jika pesantren, yang sejak dulu dihormati sebagai tempat mendidik jiwa dan akhlak, malah disalahgunakan menjadi lembaga penjinakan sosial?
Hal ini juga tidak adil bagi para santri yang benar-benar datang ke pesantren karena keinginan belajar dan mencari ilmu. Mereka berpotensi menerima dampak dari kebijakan yang sembrono, seperti suasana belajar terganggu, muncul potensi konflik sosial internal, bahkan rusaknya citra pesantren di mata publik.
Menghadapi anak-anak dengan perilaku menyimpang memang butuh pendekatan yang serius. Tapi bukan dengan membuang mereka ke institusi yang tidak siap, melainkan dengan pendekatan yang holistik: konseling psikologis, penguatan peran orang tua, pendidikan karakter di sekolah, serta dukungan komunitas.
Dalam Islam, memperbaiki akhlak bukan dengan kekerasan atau pengucilan, tapi dengan kasih sayang, pendidikan berulang, dan teladan. Bahkan Rasulullah SAW, saat mendidik generasi muda seperti Abdullah bin Abbas dan Anas bin Malik, tidak pernah memarahi mereka dengan keras, apalagi “mengasingkan” mereka.
Sudah saatnya negara tidak lagi melempar tanggung jawab moralnya ke pesantren. Tanggung jawab mencetak generasi berakhlak adalah bagian dari kebijakan pendidikan nasional, bukan semata-mata urusan pesantren atau tokoh agama.
Kalau pesantren dijadikan tempat pembinaan karakter, maka pemerintah wajib memastikan dukungan penuh, seperti kurikulum yang tepat, pelatihan guru, pengawasan independen, dan pendanaan memadai. Jangan asal kirim anak lalu lepas tangan.
Pesantren bukan tempat pembuangan masalah. Ia adalah pusat ilmu dan nilai. Mengirim anak-anak “nakal” ke pesantren bukan hanya keliru secara konsep, tapi juga bisa merusak esensi pesantren itu sendiri.
Jika negara benar-benar ingin menciptakan generasi yang berakhlak, mulailah dari hulu: bangun keluarga yang sehat, ciptakan lingkungan sosial yang mendukung, dan hadirkan sistem pendidikan yang menyentuh hati, bukan sekadar menakut-nakuti. Santri adalah simbol pencari ilmu, bukan sisa dari masalah sosial yang gagal ditangani negara.