Di dalam hutan lebat aku berjalan menelusuri jalan yang dipenuhi dengan duri-duri kecil. Pandanganku yang dibatasi oleh semak belukar dan kabut tebal, membuatku berpikir apakah aku tersesat. Tapi apakah makna tersesat? Bukankah tersesat adalah keadaan di mana kita tidak mengetahui sedang berada di mana dan tidak mengetahui jalan kembali?
Semakin jauh langkahku menembus lebatnya rimba, semakin kusadari: ada sesuatu yang tengah kucari.Namun anehnya, sesuatu itu tak pernah kutahu wujudnya, tak pula kudengar namanya, bahkan bayangnya pun tak sempat hinggap dalam ingatan.

Ia—entah apa atau siapa—berbisik di antara desir dedaunan: “Jangan mencariku.” Sebab ia tahu, betapapun keras aku mencoba, takkan pernah kutemukan dirinya. Namun di balik larangan itu, ia mengisyaratkan hal lain:“Lihatlah sekitarmu… di sanalah aku berada.”
Aku terdiam, bimbang, dan limbung. Bagaimana mungkin mencari yang tak boleh dicari, menemukan yang katanya takkan pernah ditemukan, namun justru tersembunyi di tengah pandangan? Ah, hutan ini kian pekat—dan akal warasku mulai rapuh, digerus teka-teki yang seakan tanpa jawab.
Aku terus berjalan, atau mungkin tersesat,
di antara bayang-bayang bisu dan suara yang samar. Dan dalam keheningan malam rimba, aku mulai bertanya, apakah yang kucari sesungguhnya diriku sendiri?
Semakin jauh kutapakkan langkah, kian dalam aku menuju jantung hutan purba. Kabut yang sejak tadi menggantung tebal di antara pepohonan perlahan mulai menipis, membuka pandangan yang sebelumnya tersekap.
Dengan sabit di tangan, kutebas jalan di antara semak dan sulur-sulur liar. Setiap ayunan terasa seperti mengukir jalanku sendiri di rimba yang seakan menelan waktu.
Hingga di satu titik, di sela ranting dan kabut yang mulai mengalah, tampaklah dari kejauhan—sekira seratus langkah di depan sana—sebuah rumah bambu tua berdiri bisu.
Aku melangkah mendekat, perlahan namun pasti. Semakin dekat, semakin kusadari: bangunan itu jauh lebih kecil dari yang kubayangkan. Dinding-dindingnya rapuh, atapnya bolong menatap langit, tiang-tiang penyangganya renta seakan siap rebah kapan saja. Ilalang menjalar liar, bersatu dengan gubuk itu, menjadikannya satu tubuh yang ditelan alam. Dalam hati, aku bergumam—tak mungkin ada yang berdiam di sini.
Namun rasa penasaran menuntunku. Dengan langkah yang pelan dan suara salam yang lirih, kubuka pintu yang berderit berat. Hening. Tak ada balasan, tak ada gerak. Sepertinya memang kosong, pikirku.
Tapi alangkah terkejutnya aku, begitu melangkah masuk—sebab bagian dalam rumah itu bagai dunia yang lain.
Di tiap sudut tergantung lilin-lilin kecil yang nyalanya temaram. Buah-buahan segar, tersusun rapi dalam wadah bambu, seakan baru saja dipetik pagi ini.
Aroma manisnya menyeruak, mengusik perut yang telah lama kosong. Tanpa pikir panjang, kutarik beberapa buah dan mulai menikmatinya.
“Emmm… segar…,” bisikku, di antara gigitan yang memuaskan.
Namun belum sempat kutelan rasa manis itu, tiba-tiba— suara berat dan serak, bagai datang dari dasar bumi, terdengar di belakangku: “Letakkan buah itu!”
Sekujur tubuhku seketika gemetar. Bulu kudukku berdiri. Napas tercekat. Perlahan, dengan segenap keberanian yang tersisa, kubalikkan tubuh.
Dan di sana— berdiri sosok lelaki raksasa, dua kali tinggi tubuhku, rambut panjang tergerai kusut, janggut tak terurus, pakaian compang-camping yang seolah bagian dari bayang malam. Matanya menatap tajam, menusuk hingga ke sumsum.
Tanpa mampu mengendalikan diri, suara pecah dari tenggorokanku: “Aaaaaaaaaaaa—hantu rumah bambu!”
***
Semakin lama, kepalaku terasa berat. Dunia di sekitarku memudar, berubah gelap… lalu senyap. Aku tak tahu harus berbuat apa. Tapi tunggu… kurasakan kelopak mataku masih terpejam. Dengan perlahan kubuka mata— Aku terbaring di dalam gubuk itu. Barangkali semua yang tadi kulihat hanyalah mimpi?
“Mungkin hanya ilusi lelah,” gumamku, mencoba menenangkan diri. Namun sebelum sempat aku berdiri, sosok lelaki tinggi itu telah berdiri di ambang pintu, bayang tubuhnya tertimpa cahaya samar dari lilin.
“Kau sudah terjaga?” suaranya berat, namun kini terdengar lebih bersahabat.
Spontan tubuhku bergerak mundur ke sudut ruangan, naluriku masih dibalut ketakutan.
“Tenanglah,” ucapnya, pelan. “Tak perlu takut. Aku pemilik rumah ini. Tadi kau berteriak keras lalu pingsan ketika melihatku. Apa yang kau lakukan di hutan ini, wahai anak muda? Siapa namamu?”
Di tangannya, ia mengulurkan sepotong ubi rebus. Aku ragu-ragu, namun perutku yang kosong memaksaku menerima.
“Namaku… Yami,” jawabku perlahan, sembari mencoba menahan gemetar. “Aku datang ke sini… mencari sesuatu. Sesuatu yang belum pernah kulihat.”
Kuambil gigitan kecil dari ubi rebus itu, rasanya sederhana namun hangat.
“Panggil saja aku Paman Goethe,” katanya, duduk di samping. “Apa yang kau cari, Yami?”
Aku mengikuti langkahnya keluar rumah. Tubuhnya yang tinggi besar melangkah pelan. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang lebar.
“Aku mencari sesuatu… yang katanya tidak bisa kucari. Ia bilang aku takkan pernah menemukannya, namun katanya, ia ada di antara ciptaan.”
Goethe berhenti sejenak, menoleh padaku. “Apa dia pernah memberimu ciri-ciri?”
“Tidak seorang pun pernah melihatnya. Namun aku tahu… ia ada.”
Paman Goethe mengernyit. “Bagaimana kau bisa yakin pada sesuatu yang tak pernah dilihat?”
Aku menatap tanah, sejenak bimbang, kemudian berkata: “Karena dia adalah Pencipta.”
“Pencipta?” ulangnya perlahan.
“Ya… Dialah yang menciptakanku, menciptakan paman, menciptakan hutan ini… Dialah sumber dari segala sesuatu.”
Ia terdiam lama, lalu berkata, “Jika Dia adalah sumber segala sesuatu… siapa pula yang menciptakan-Nya?”
Aku bungkam. Pertanyaan itu seakan menusuk benakku yang letih. Goethe tersenyum, mengajak duduk di dekat api kecil.
“Sudahlah, jangan biarkan dirimu terjebak dalam kebingungan itu, Yami,” katanya lembut. “Pencipta yang kau sebut itu, orang biasa menyebutnya… Tuhan.”
Ia melanjutkan: “Kau adalah kau. Aku adalah aku. Dan Tuhan… adalah Tuhan. Ia tak menyerupai kita, sebagaimana kita pun tak menyerupai-Nya. Tuhan mencipta tanpa diciptakan, ada tanpa terikat ruang dan waktu. Ia tak bersemayam di antara ciptaan-Nya, namun segala ciptaan memancarkan jejak-Nya.”
Aku menatap api yang bergetar kecil di antara kayu-kayu rapuh.
“Banyak yang meragukan Tuhan hanya karena mereka tak melihat-Nya,” ujar Goethe. “Dan banyak pula yang justru menyembah apa yang mereka lihat, mengira itulah Tuhan. Padahal… Tuhan adalah soal keyakinan, bukan penglihatan. Ia tak butuh pembuktian… hanya pengakuan dalam hati yang tulus.”
Aku menghela napas panjang. “Kalau begitu… sia-sia saja aku menembus hutan ini.”
Goethe tersenyum samar. “Tak sepenuhnya sia-sia, dan tak sepenuhnya salah.”
Aku tertawa kecil. “Paman lagi-lagi membuatku bingung. Kalau begitu… apa maksud ucapan bahwa Tuhan ada di sekitarku?”
Goethe bangkit tanpa menjawab. Ia masuk ke dalam, membiarkanku merenung di beranda kecil rumah bambu itu. Kabut mulai menggantung kembali di antara pepohonan.
Tak lama, Goethe keluar membawa buah-buahan dan ubi rebus. Kami duduk bersama. Ia berkata, pelan:
“Tuhan tak ada di dunia ini dalam wujud-Nya, tapi manifestasi-Nya ada dalam setiap ciptaan. Setiap daun, tanah, angin—bahkan dirimu sendiri—adalah pantulan dari kehendak-Nya. Karena itu, Tuhan selalu dekat. Setiap yang kau lihat, setiap yang kau rasakan… adalah pengingat akan-Nya.”
Aku menunduk. Kata-katanya mulai meresap di dadaku yang semula penuh kegelisahan.
“Terima kasih, Paman…” kataku lirih. “Aku rasa aku telah mengerti… Aku akan pulang. Semua yang kucari kini telah kutemukan di sini.”
Goethe mengangguk. “Pulanglah, Yami. Keluargamu menanti. Berlarilah lurus ke depan. Ingat… jangan pernah menoleh ke belakang.”
Aku berterima kasih padanya, juga pada kehangatan sederhana yang ia berikan. Lalu aku berlari lurus, seperti yang ia pesan.
Namun, di tengah lari itu, pikiran nakalku muncul: mengapa aku dilarang menoleh?
Rasa ingin tahu lebih kuat daripada akalku. Perlahan kutoleh ke belakang… dan rumah bambu itu telah lenyap. Tak ada jejak, tak ada Goethe, hanya kabut pekat yang menggulung seisi hutan. Jantungku berdetak keras.
Ketakutan menguasai langkahku. Aku berlari lebih cepat… hingga tiba-tiba, rumput liar menjulang di hadapan. Tanpa ragu, kuterobos dengan sekuat tenaga—Namun di balik rerumputan itu terbentang jurang menganga. Segala sesuatunya terlambat. Kaki tak sempat berhenti. Dan di saat tubuhku melayang di udara, satu pikiran terakhir terlintas di benakku: Inilah akhir perjalanan seorang pengelana… yang terlalu ingin tahu.
***
Aku tak sepenuhnya ingat… apa yang terjadi setelah tubuhku melayang di udara, jatuh ke jurang yang gelap menganga. Seperti layar yang tiba-tiba gelap, semua lenyap tanpa jejak.
Dan kini— aku terbaring, tubuh terasa lemah, seolah hanya tinggal setengah nyawa. Kulihat atap putih… bau obat menusuk hidung. Ada selang oksigen melilit di lubang hidungku. Infus tergantung di lengan kiriku.
Di sampingku, seorang perempuan tertidur dengan kepala bersandar di tepi ranjang. Tanganku digenggam erat olehnya. Napasnya lembut, sesekali tersengal di sela-sela isakan pelan.
Dengan sisa tenaga, kubisikkan panggilan lemah: “Ibu…?”
Ia tersentak, matanya terbuka lebar. Wajah lelahnya seketika berubah cerah penuh haru.
“Yami…! Yami sayang!” serunya. Air mata berjatuhan begitu saja. Ia segera berlari keluar memanggil dokter.
Tak lama kemudian, dokter masuk bersama ibu. Setelah serangkaian pemeriksaan singkat, ibu duduk di sisiku, masih dengan mata yang basah.
“Ibu… bagaimana aku bisa di sini?” tanyaku, suara serak dan nyaris tercekat.
Ibu mengelus lembut kepalaku. “Yami sayang… kamu tiba-tiba pingsan di ruang tamu. Ibu dan ayah langsung membawamu ke rumah sakit,” suaranya bergetar.
“Dokter bilang kamu harus segera dioperasi… kanker otakmu sudah parah. Alhamdulillah… operasinya berjalan lancar. Tapi kau koma… sudah satu minggu lebih… dan baru hari ini kamu membuka mata. Ibu… Ibu bersyukur sekali…” ucapnya sambil menangis. Air mata bahagia dan luka bercampur di pipinya.
Aku terdiam. Kanker… operasi… koma… Tapi… bukankah aku— jatuh ke dalam jurang? Suara lirihku terucap tanpa sadar:
“Bukankah aku… jatuh ke jurang…?”
Ibu mengerutkan kening, gelisah.
“Kamu ngomong apa, Nak? Sudah… jangan pikirkan dulu. Tenangkan dirimu, hemat tenaga. Ibu panggil Ayah dulu, ya…” katanya, mencium keningku, lalu berlalu keluar ruangan.
Aku kembali terdiam. Pikiran berputar-putar. Kacau. Kalau begitu… semua yang kualami… perjalanan di hutan, rumah bambu, Paman Goethe… semua itu… mimpi?
Tapi—mengapa rasanya begitu nyata?
Mengapa tiap kata, tiap pertemuan… terasa seolah sungguh-sungguh terjadi?
Dan… siapa sebenarnya Paman Goethe itu?
Dari mana hadirnya dalam benakku?
Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengendap dalam pikiranku…
Ia berkata tentang Tuhan… tentang keberadaan… tentang makna di balik penciptaan… Bukankah itu semua yang membuat kepalaku sering sakit? Yang terus-menerus kurenungi hingga memaksaku berpikir tanpa henti?
Kini aku mengerti. Mungkin… itu adalah jawaban Tuhan, yang disampaikan lewat dunia mimpiku… lewat perjalanan yang begitu aneh… namun kaya akan makna.
Perjalanan yang kurasakan di antara hidup dan mati… antara sadar dan tak sadar adalah pelajaran yang begitu dalam, begitu berharga.
Aku menatap langit-langit putih ruangan itu, sambil berbisik lirih dalam hati: “Terima kasih, Tuhan… atas jawaban yang Kau beri… atas kesehatan yang Kau pulihkan… atas pelajaran yang akan kuingat sepanjang hidupku.”
Saat itu, dokter masuk lagi. Langkahnya tenang, wajah teduh, suara berat yang amat kukenal. Tanpa sadar, kuucapkan:
“Paman… Goethe…?”
Ia hanya tersenyum samar. “Kau sudah sadar, Yami… itu bagus.”
Pikiran dalam kepalaku berputar—bagaimana mungkin? Apakah semua hanya mimpi… ataukah dunia ini yang sesungguhnya ilusi?
Sebelum sempat bertanya, ia menepuk pelan bahuku. “Sudahlah… jangan terlalu banyak berpikir. Istirahatlah… pemulihanmu masih panjang.”
Ia berlalu, pintu tertutup perlahan.
Di keheningan, aku hanya bisa memandang langit-langit yang putih. Pertanyaan demi pertanyaan mengendap dalam benak—mana yang nyata, mana yang mimpi?
Siapa Paman Goethe sesungguhnya?
Mungkin… memang tak semua pertanyaan perlu terjawab. Atau… mungkin, jawabannya memang tak pernah ada. Di antara batas samar mimpi dan kenyataan—di sanalah, mungkin… aku masih berada.
Sumber ilustrasi: pexels.