Perempuan dan Perasaannya: Antara Kekuatan dan Kerentanan*

Kata perempuan sering kali dikaitkan dengan kata perasaan. Perempuan dipandang sebagai makhluk yang emosional, mudah tersentuh, bahkan sering dituding “baper” atau terlalu terbawa suasana. Stereotip ini telah melekat begitu kuat dalam masyarakat kita.

Sayangnya, pandangan tersebut sering digunakan untuk merendahkan, seakan-akan perasaan perempuan hanyalah bentuk kelemahan. Padahal, perasaan yang dimiliki perempuan adalah kekuatan besar yang justru melengkapi kehidupan sosial, memberikan warna pada dunia, dan membentuk harmoni dalam relasi antar manusia.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Adalah hal yang sangat lumrah jika perempuan jatuh hati pada laki-laki yang telah diidamkannya. Namun, yang tidak wajar adalah ketika perempuan terlalu berlarut-larut bersama perasaannya tanpa memikirkan hidup dan tujuannya. Betul memang, bahwa ketika jatuh cinta perempuan lebih mengutamakan perasaannya dibandingkan dengan menggunakan logika. Jika menggunakan logika, perempuan tidak akan menggantungkan harapan masa depan kepada pasangannya. Karena sebenarnya perempuan bisa dan mampu untuk hidup sendiri tanpa laki-laki.

Sumber Empati dan Kekuatan

Banyak penelitian menunjukkan bahwa perempuan memiliki tingkat empati yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Baron-Cohen (2003) dalam bukunya The Essential Difference menjelaskan bahwa otak perempuan cenderung lebih terhubung dengan kemampuan memahami emosi, atau disebut empathizing brain. Hal ini membuat perempuan lebih peka dalam menangkap perasaan orang lain, bahkan tanpa perlu kata-kata.

Contoh sederhana bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Seorang ibu sering kali tahu kapan anaknya merasa cemas, meskipun sang anak tidak mengucapkannya. Seorang sahabat perempuan mampu merasakan kegelisahan temannya hanya dari nada bicara. Kepekaan perasaan semacam ini adalah kekuatan sosial yang penting. Jika dalam lingkup kecil saja perasaan bisa menjaga hubungan tetap hangat, dalam lingkup besar ia bisa menjadi fondasi kepemimpinan yang manusiawi.

Sejarah telah mencatat bahwa perasaan perempuan sebagai sumber keberanian. Malala Yousafzai, yang memperjuangkan hak pendidikan anak perempuan di Pakistan, berangkat dari rasa kepedulian terhadap ketidakadilan yang dialaminya. Demikian pula Raden Ajeng Kartini di Indonesia, yang dengan perasaan dan pikirannya menentang belenggu feodalisme. Tanpa perasaan, perjuangan mereka mungkin tidak akan sekuat itu.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

One Reply to “Perempuan dan Perasaannya: Antara Kekuatan dan Kerentanan*”

Tinggalkan Balasan