Sejarah mencatat bahwa pesantren sejak kemunculannya sampai detik ini telah memberikan banyak kontribusi berharga bagi bangsa Indonesia. Mulai dari aspek keilmuan, sosial-budaya, hingga ekonomi. Hal ini dibuktikan dengan keberadaannya sebagai pusat islamisasi dan studi islam yang paling dipercaya umat islam, pengaruhnya terhadap lingkungan, pertumbuhan ekonomi.
Struktur pendidikan yang dipimpin oleh kiai dan asrama sebagai institusi, menjadikan pesantren memiliki nilai lebih jika dibandingkan dengan pendidikan lain. Sebab, tidak hanya menyampaikan pengetahuan-pengetahuan agama, akan tetapi juga berkontribusi besar terhadap peradaban.[1].

Oleh karenanya, Taufik Abdullah mencatat bahwa pesantren merupakan pusat pemikiran keagamaan.[2] Secara umum terdapat tiga ruang lingkup peran pesantren dalam membangun peradaban di Indonesia ini. Berikut uraiannya:
Pertama, peran di bidang keilmuan. Pesantren memiliki transmisi pengetahuan unggul yang sering disebut dengan sanad atau ijazah. Ijazah sendiri merupakan proses mata rantai keilmuan yang mempunyai ketersambungan dan kejelasan sumbernya. Tujuannya tidak lain guna menjamin keotentikan ilmu tersebut. Sehingga pemahaman dan pemikiran yang diperoleh para santri dapat dipastikan sesuai dengan pengarang kitab, kiai, sampai kepada pendahulu-pendahulunya.
Melalui ikatan geneologi inilah, keilmuan antarpesantren saling berhubungan dan bermuara pada tokoh besar ulama Nusantara, seperti Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1315 H), bahkan ulama Haramain. Selain itu, pesantren juga mempunyai ideologi yang telah mengakar, yaitu semangat mencari ilmu sampai liang lahat (tholabul ilmi minal mahdi ila al-lahdi).
Tradisi tersebut tidak hanya berhenti saat para santri berada di lingkungan pesantren saja, akan tetapi terus dilanjutkan dan dikembangkan sesampai mereka di masyarakat. Kelebihan ilmu agama dan karakter pemimpin yang mereka miliki itulah yang mengantarkan mereka menjadi tokoh-tokoh agama yang membimbing umat.[3]
Kedua, peran dalam bidang sosial-budaya. Sikap masyarakat hakikatnya merupakan cerminan dari figur ulamanya. Ulama mempunyai status sosial yang tinggi dalam struktur masyarakat. Status sosial tersebut menjadikan masyarakat seringkali meminta pertimbangan bahkan keputusan seputar keagamaan, kekeluargaan, dan sebagainya.
Indikator utama yang menjadikan kiai dipercaya masyarakat adalah kredibilitas moral, pelayanan kepada masyarakat, dan kemampuan mempertahankan tatanan sosial.[4] Kedekatan hubungan kiai dengan masyarakat tidak lain karena kegiatan-kegiatan keagamaan seperti sosialisasi Islam, pengajian, khutbah, dan lainnya.[5]
Penekanan tradisi pendidikan profesional yang berjalan dengan kesederhanaan dan fleksibilitas seperti pengajian informal, tahlilan, haul, kenduri, manaqiban, pengajian tarekat, telah membentuk budaya umat Islam Indonesia yang sarat akan ritual dan ceremony keagamaan yang khas. Ciri khas kebudayaan inilah yang menjadi pembeda antara budaya keagamaan umat Islam di Indonesia dengan negara-negara islam lainnya.[6]
Ketiga, peran dalam bidang ekonomi. Pesantren saat ini mulai berkembang dengan keikutsertaannya dalam memperjuangkan dan memajukan perekonomian. Peran ini ditandai dengan berdirinya koperasi, badan usaha milik pesantren (BUMP), toko dengan segala produknya, hingga menjadi wadah para pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di sekitar lingkungan pesantren.
Selain itu, terdapat sejumlah pesantren yang memberikan keterampilan dan materi entrepreneurship kepada para santrinya dengan melibatkan mereka dalam wirausaha. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pesantren dan membekali mereka skill wirausaha.[7]
Menurut penelitian Tim Direktorat Pendidikan Pondok Pesantren dan Pendidikan Diniyyah, terdapat 6 pesantren yang berhasil mengembangkan keterampilan dan ekonomi mandiri. Keenam pesantren tersebut adalah Pesantren Sidogiri Pasuruan, Al-Amin Prenduan, Darussalam Gontor, Al-Ittifaq Bandung, Darussalam Garut, dan Ar-Risalah Ciamis.
Melalui keterampilan dan ekonomi yang telah dikembangkan seperti koperasi pondok pesantren (kopontren), perdagangan, industri dan jasa, agribisnis, perkebunan dan industri, kelautan dan perikanan, menunjukkan akan kemandirian pesantren dalam hal ekonomi, pengembangan keterampilan dan sekaligus membantu perekonomian negara.
Catatan:
[1] Peradaban adalah hasil dari interaksi kompleks antara manusia, lingkungan, nilai-nilai budaya, serta zaman yang membentuk pola kehidupan masyarakat.
[2] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalimah, 1999), hlm. 183
[3] Mu’ammar, Pilar-Pilar Peradaban Pesantren: Potret Potensi Dan Peran Pesantren Sebagai Pusat Peradaban, (Jurnal Madaniyyah, 2014), hlm. 279-281
[4] Edi Supriyono, Pesantren Di Tengah Arus Globalisasi Dalam Menggagas Masa Depan, (Yogyakarta: Qirtas, 2003), hlm. 66
[5] Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan dalam Islam, (Yogyakarta: Sipress, 1994), hlm. 48
[6] Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, hlm. 244
[7] Team Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, Potensi Ekonomi Pondok Pesantren, (Jakarta: Direktorat Kelembagaan Agama Islam, 2004), hlm. 15