Di panggung global—dari sidang PBB tentang perubahan iklim hingga forum lintas agama—tenggat krisis ekologi menuntut suara pemimpin spiritual yang tak hanya retorik, tetapi berbuah nyata. Sejak Lynn White Jr. (1967) menulis bahwa “Apa yang manusia perbuat terhadap alam tergantung pada bagaimana mereka memandang posisi mereka dalam semesta,” kita ditantang meninjau ulang akar teologis krisis ekologi.
Dalam konteks Indonesia yang kaya keberagaman, pertanyaan mendasar pun muncul: mampukah ulama, pendeta, biksu, dan tokoh keagamaan lain beranjak dari pemberi nasihat spiritual semata menjadi arsitek transformasi ekologi yang memayungi jutaan umat?

Landasan Teologis Bertemu Aksi Nyata
Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ (2015) mengingatkan, “Kita dihadapkan bukan pada dua krisis terpisah—lingkungan dan sosial—melainkan satu krisis kompleks yang menyatukan keduanya.”
Pernyataan ini menyatukan keadilan sosial dan kelestarian alam sebagai satu misi moral, bukan sekadar tanggung jawab individu. Di belahan Timur, Satish Kumar, mantan biarawan Jain, dalam No Destination menegaskan: “Berjalan dalam kesadaran—setiap langkah adalah doa, setiap napas adalah tindakan memelihara.”
Kutipan-kutipan itu membentuk kerangka di mana ritual harian—khutbah Jumat, ceramah Minggu, ataupun dharma wacana—bermuara pada kesadaran ekologis. Dengan menyisipkan data ilmiah, seperti proyeksi kenaikan suhu global IPCC, lalu mengaitkannya dengan konsep amanah dalam Al-Qur’an (QS 2:30) dan mandat memelihara tanah dalam Kejadian 2:15, para pemuka agama menjembatani iman dan urgensi empiris.
Mary Evelyn Tucker mencatat bahwa perpaduan statistik ilmiah dan narasi suci memantik resonansi kuat di kalangan umat—ketika iman dan sains beriringan, kesadaran ekologi tak lagi sekadar wacana, melainkan panggilan batin.
Lebih jauh, teologi penciptaan dapat diperkaya oleh perspektif lokal Nusantara. Misalnya, kearifan lokal Samin di Jawa Tengah menekankan harmoni manusia–alam tanpa menunda-nunda perbaikan: tanah diolah dengan prinsip gotong royong, air sungai dilestarikan untuk kebutuhan bersama. Memadukan kearifan ini dengan ajaran agama memperkuat relevansi dan menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap gerakan hijau.
Teladan praktis pun bertebaran. Di Jawa Timur, seorang imam membangun sumur resapan dan kebun hidroponik di halaman masjid: air hujan yang tertampung meresap kembali ke tanah, sementara sayur organik dipanen untuk jemaah.
Di Amerika Serikat, gerakan Green Chalice mendorong gereja Protestan menanam kebun komunitas, menerjemahkan konsep Sallie McFague bahwa alam adalah subjek relasi kasih, bukan sekadar properti.
Bahkan di Prancis, biarawan merombak biara abad ke-12 menjadi zona zero-waste—menjadi contoh bahwa tradisi spiritual dan prinsip ekologi dapat berjalan seiring. Di Bali, pura-pura kecil mempraktikkan alam sakral dengan tidak menggunakan plastik dalam upacara, menggantinya dengan daun lontar dan anyaman bambu.
Sinergi Lintas Iman dan Jalan ke Depan
Deklarasi Islamic Declaration on Global Climate Change (2015), yang ditandatangani ulama dari 20 negara, memfatwakan pengurangan bahan bakar fosil sebagai kewajiban moral. Inisiatif ini membuka ruang advokasi kebijakan: di Jakarta, Dewan Masjid bekerja sama dengan Pemprov DKI merancang “eco-mosque” yang dilengkapi panel surya dan bank sampah organik; sementara Konferensi Wali Gereja Indonesia berkolaborasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam program rehabilitasi hutan lindung. Kredibilitas moral pemimpin agama memudahkan akses ke ruang pengambilan kebijakan, memberikan tekanan etis yang kadang sulit dipenuhi oleh aktor sekuler.
Pendidikan ekologi di lembaga keagamaan dapat menjadi game changer. Pesantren, seminari, vihara, dan gereja bisa diperluas fungsinya sebagai pusat agroekologi. Modul kurikulum yang memadukan tafsir Al-Qur’an pro-lingkungan, khotbah hijau Kristen, dan dharma Buddha tentang siklus kehidupan dapat diuji coba di sekolah keagamaan.
Lahan wakaf di pesantren diubah menjadi agroforestri—pohon buah bercampur tanaman pangan—menguatkan kemandirian pangan sekaligus menjaga keanekaragaman hayati. Vandana Shiva dalam Earth Democracy menegaskan, “Kerusakan tanah petani kecil adalah kerusakan ekosistem dan tradisi.”
Di perkotaan, kafe “Fair-Trade Fellowship” yang dikelola gereja menyajikan kopi petani Flores dengan harga adil—setiap tegukan mencerminkan solidaritas ekologis dan sosial. Model koperasi serupa dapat diadopsi pesantren dan vihara sebagai sumber ekonomi berkelanjutan.
Tak kalah penting, literasi digital memanfaatkan kekuatan generasi milenial dan Gen-Z. Gerakan #EcoHadist di Twitter menyorot hadis tentang larangan pemborosan air, menciptakan diskusi daring tentang konservasi.
YouTuber biarawan di Eropa membuat vlog “Monastère Vert” yang menarik jutaan penonton, mempraktikkan zero-waste di biara, membuktikan bahwa kesederhanaan religius dapat dihidupkan dalam gaya hidup modern.
Di Indonesia, para pemimpin agama dapat bekerja sama dengan komunitas digital lokal untuk membuat konten singkat—infografik, reels, podcast—yang mengajak umat bertindak.
Festival “Agama dan Alam” tahunan membawa dimensi seni ke dalam gerakan hijau. Instalasi seni ranting kering, teater tari dedaunan, pameran inovasi hijau dari pesantren, gereja, vihara, dan pura menjadi jembatan emosi untuk aksi nyata. Seni mengundang rasa, sementara data dan teologi memberi alasan—keduanya diperlukan untuk membangkitkan perubahan yang berkelanjutan.
Tentu, hambatan tetap ada. Beberapa pihak menganggap agenda lingkungan sebagai “politik progresif” yang asing atau bertentangan dengan nilai tradisional. Untuk menyanggahnya, narasi teologis harus dikontekstualisasikan: menjelaskan bahwa merawat alam adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran suci, bukan program sampingan.
Pendekatan pilot project kecil—taman edukasi di pekarangan gereja Katolik di Malang, kawasan belajar agroforestri di pesantren Lombok—dilengkapi dokumentasi transparan dan testimoni petani atau nelayan lokal, mampu menumbuhkan kepercayaan dan menyalakan percikan perubahan lebih luas.
Hans Küng dalam Global Responsibility menegaskan perlunya dialog antaragama yang berujung pada tindakan kolektif. Pada level kabupaten, “Dewan Ekologi Lintas Iman” dapat dibentuk untuk merancang program rehabilitasi lahan kritis, mengundang akademisi, aktivis lingkungan, hingga pemerintah daerah.
Modul terpadu tentang teologi penciptaan dan praktik hijau dapat diadopsi di sekolah-sekolah keagamaan, sementara festival lintas iman menjadi forum pertukaran praktik terbaik. Komitmen bersama di tingkat lokal akan menelurkan jaringan desa-desa hijau yang saling terhubung, memperluas dampak hingga ke provinsi dan nasional.
Ketika keyakinan spiritual, urgensi ilmiah, dan kreativitas komunitas berpadu, para pemimpin agama tidak lagi menjadi saksi pasif kerusakan alam, melainkan arsitek masa depan hijau yang adil dan berkelanjutan. Iman tanpa aksi ibarat syair tak terucap; aksi tanpa iman rawan kehilangan arah.
Gerakan “Iman untuk Bumi” menegaskan: mencintai Sang Pencipta berarti merawat ciptaan-Nya. Semoga obor kesadaran ini menyala dari menara masjid hingga altar gereja, menumbuhkan hutan harapan di seluruh Nusantara, demi harmoni manusia, alam, dan generasi yang menanti.