Perampok yang Menggali Liang Kuburnya Sendiri

1,187 kali dibaca

Lelaki itu membelah tirai merah marun yang menabiri jendela kamarnya. Sejenak mengamati lelehan embun di punggung kaca, sebelum akhirnya duduk di sisi meja kecil lusuh, tak perlu isapan rokok dan seruputan kopi. Permukaan meja itu hanya dihuni vas tua yang pecah sebelah tanpa bunga. Selebihnya hanyalah garis lingkaran samar, bekas pantat cangkir di hari silam. Juga rengkuh debu dan param jamur halus putih yang digaris jejak semut.

Kekosongan dan segala sunyi yang menyatu dengan kesendiriannya tak dianggapnya masalah. Sebab kebahagiaan yang bisa ia dapat setiap pagi setelah membelah tirai adalah ketika melihat matahari bugil kilau bergantung di ufuk timur, ia membayangkan matahari itu adalah dirinya yang baru, setelah pindah ke rumah baru: setelah berniat hijrah dari hari lalunya sebagai seorang perampok yang tidak hanya mengambil harta, tapi juga pernah menghabisi nyawa. Ketika ingat itu, biasanya ia berurai air mata, mengelus dada, perlahan membaringkan kepalanya di meja itu dengan suara isak yang mencampuri kicau prenjak di luar jendela.

Advertisements

Saat menangis, bayang istrinya berkelebat; kerap berdiri di ruang tamu sambil menuding dengan tatap mata tajam mengancam, mulutnya tak jeda ngomel soal biaya belanja yang kurang, ketidakmampuan membeli perhiasan seperti tetangga, hingga ancaman untuk pisah. Pekerjaannya yang kala itu sekadar jadi pemulung sampah tak bisa mencukupi kebutuhan yang diinginkan istrinya, hingga jalan satu-satunya yang bisa ia tempuh adalah bergabung dengan geng Martono dan merampok ke berbagai daerah.

Ia sebenarnya sangat membenci perbuatan keji seorang perampok, juga merasa iba pada orang yang dirampok, tapi tuntutan keadaan kadang memang seketika menyulap seseorang menjadi pengingkar nurani. Dan begitulah yang ia alami sebulan yang lalu; merampok seorang saudagar dan membunuh seorang Satpam, meski ia sadar hal itu adalah merampok hati nuraninya sendiri.

Ia baru berhenti menangis saat sinar matahari membiaskan urai cahaya perak yang menjarum kulitnya hingga dirinya menggeliat sambil menyeka sisa butiran air mata, dan perlahan ia tersenyum kembali ketika melihat matahari itu meninggi, seperti mendaki lekuk dahan. Ia ingin seperti matahari itu, yang bangkit berkilau dari kesuraman, terus meninggi demi membagi cahaya bagi setiap makhluk-Nya.

Dan seperti biasa, masih tanpa kopi dan rokok, ia kemudian menuju ruang tengah untuk meneruskan penggalian lubang kubur. Sebuah dipan tua yang sebelah kakinya patah telah ia rapatkan ke tembok demi memudahkan penggalian. Sejak tiga hari yang lalu, ia biasa mengayunkan cangkulnya hingga terdengar azan zuhur. Tanah dari galian itu sering ia cium dan—kadang kala—ia bandingkan dengan tubuhnya; warnanya sama. Lantas ia memberi kesimpulan bahwa manusia adalah tanah yang dihidupkan dalam waktu sebentar dan akan dikembalikan ke tanah dengan segala pertanggungjawaban atas hidupnya. Saat ingat itu, air matanya akan berderai kembali. Tapi ia berjanji akan berhenti total dan menjadikan lubang kubur itu sebagai kendali sekalilgus cermin nyata bahwa setiap manusia akan mati dalam waktu yang tidak diketahui.

“Kita satu rahim, satu bunda, kelak pada waktunya kita akan menyatu, tak ada aku, tak ada kamu, menjadi kita; sebuah kuburan yang semoga dirawat oleh anak-cucu atau peziarah lain dengan tangan lembut dan bacaan zikir,” ia bicara lirih, menundukkan kepala, menatap ke lubang itu dengan mata masih meneteskanr butiran bening.

“Andai tidak karena kau, Ratmi. Tak mungkin aku akan jadi perampok,” retak bibir tuanya yang hitam bergetar. Kemudian ia memukulkan kepalan tangannya ke tanah.

“Ratmiiiii!!”

***

Ratmi resmi ia nikahi dua belas tahun silam saat musim panen ketela membuat kedua orangtua mereka sepakat mengadakan selamatan. Masa pengantin baru yang ia tahu hanyalah Ratmi yang berhati melati dengan segala kelembuatn dan kesucian dalam diam putih yang asri dan wangi. Setelah tiga bulan berlalu, barulah Ratmi pelan-pelan menunjukkan sikap yang berbeda, yang tidak bisa puas dengan sandang, pangan, dan papan seadanya. Ia ingin lebih dari itu, ingin lebih dari yang dimiliki tetangganya, sehingga tak segan menyuruh suaminya, si lelaki itu untuk berkerja dengan giat siang dan malam.

Lelaki itu pun menuruti kemauan Ratmi. Bekerja siang malam. Mencurahkan tenaga dan pikiran. Jarang tidur dan jarang makan, yang penting mendapat uang yang banyak. Bahkan ia tak peduli tubuhnya kian hari kian kurus menampakkan belukar tulang. Wajahnya hanya tampak cekungan mata dan tonjolan gigi dalam balutan kulit kering. Sementara uang yang ia dapat tetap tak dianggap cukup oleh Ratmi. Lelaki itu selalu mendapat omelan panjang lebar bahkan ancaman yang membuatnya bergidik. Yang bisa ia lakukan saat itu hanya menunduk diam sembari mencari cara cepat untuk menghasilkan uang yang banyak tanpa harus lelah berusaha.

Lelaki itu akhirnya memberanikan diri bergabung dengan Martono—salah seorang ketua geng rampok—meski saat itu tubuhnya tak layak untuk jadi seorang perampok karena ringkih, kering dan batuk-batuk. Cara yang ia lakukan agar bisa meyakinkan Murtono, untuk pertama kali, ia langsung merampok keluarga saudagar yang sedang berlibur sekaligus nekat membunuh seorang Satpam yang berusaha mengejarnya.

Lelaki itu menyerahkan sepertiga hasil rampokannya kepada Martono. Pujian pun ia dengar dari bibir hitam Martono yang sambil lalu menyimpul senyum. Ia sangat bahagia mendengar pujian itu bagai anak TK yang dinobatkan jadi bintang kelas di hadapan ratusan wali murid. Sekitar 20 menit sebelum ia beranjak dari rumah Martono, dengan tangan menyentuh pundak, dan wajah lurus membingkai tatap mantap, Martono memberi konsep-konsep sekaligus trik merampok yang bagus di era milenial. Lelaki itu menyimak dan kadang mengangguk, sesekali menghela napas, dan telapak tangannya yang sedari tadi terbenam di saku celananya masih meraba sejumlah uang dan perhiasan.

“Bagus! Kau perampok yang ulung. Merampok tanpa membuat suasana gaduh, membunuh tanpa sepercik darah. Hari-hari yang harus dijalani perampok setelah masa perampokan adalah tutup mata dan telinga pada berita gaduh di media dan menjalani hari-hari seolah tak ada apa-apa dengan tetap memastika diri aman dari kejaran aparat,” Martono menepuk pundak lelaki itu dua kali sambil tersenyum.

“Jangan khawatir, apalagi takut. Perampok memang harus berusaha mengubah keadaan, jika genting sekalipun anggaplah sebuah perayaan cinta,” suara Martono tegas tanpa senyum, menyiratkan sebuah keseriuasan. Ia kembali mengangguk, tapi kala itu adalah anggukan spekulatif seperti pemain sepak bola menendang bola dari tengah lapangan ke arah gawang saat waktu tinggal sedetik.

Di tengah perjalanan pulang, kakinya bagai melangkah di dunia entah yang dipenui hujan jarum dalam liputan gelap dan cekam. Harta senilai ratusan juta rupiah yang ia bawa masih jauh lebih berat pikirannya sendiri tentang kekhawatiran dan rasa takut. Ia mulai sadar bahwa tak ada pekerjaan gampang di dunia.

Setiba di rumahnya, lelaki itu langsung menyerahkan hasil rampokan kepada istrinya dengan gerak yang seolah sengaja ditabur, membuat uang dan perhiasan itu bertebaran. Ratmi berteriak bahagia, tertawa sambil melompat-lompat. Ia hanya menatapnya dengan kedua mata yang dirajam bimbang antara hendak bahagia atau gelisah.

“Dari mana semua ini Mas Kunto dapat?”

Ia tak langsung menjawab. Menarik napas panjang. Lalu membalikkan tubuhnya ke arah jendela. Menatap lebat daun lenkeng yang menyampiri jendela.

“Aku merampok,” suaranya seperti gelas yang dibanting dengan intonasi seperti orang menyesal, berharap Ratmi paham dan melarangnya di kemudian hari.

“Bagus, Mas. Apa pun pekerjaanmu, yang penting bisa mendatangkan harta yang banyak. Aku ingin kau besok merampok lebih banyak lagi,” jawab Ratmi membuat ia terkejut dan tiba-tiba menoleh dengan bibir bergeming dan wajah yang tamapk marah. Ia tak menduga Ratmi sangat mendukung dirinya untuk terus merampok. Ia tak menjawab. Beranjak ke arah kamar.

“Aku mau istirahat dulu,” pintanya dengan nada agak nyaring, lalu masuk kamar dengan kepala yang serasa diimpit ribuan batu. Ia merasa bahwa dirinya tak bisa melakukan sesuatu sebagaimana yang disarankan oleh Martono untuk berpikir seolah sedang tidak terjadi apa-apa.

“Ughhh!” aduhnya sembari membenamkan wajah ke tumpukan bantal. Masih terlintas di pikirannya tentang peristiwa perampokan itu, yang mungkin di luar sana memantik banyak amarah yang tertuju pada dirinya, baik dari aparat dan yang lainnya. Ia terus membenamkan kepala pada cekung empuk bantal, sambil lalu ia merasakan pena gaib malaikat Atid bergerak pelan mencatat perbuatan itu dengan tinta hitam di bahu kirinya.

“Mas! Besok merampok lagi ya!” suara Ratmi terdengar dari arah pintu. Sementara lelaki itu tetap tak merespon suara istrinya itu.

***

Sekali merampok, membuat lelaki itu bagai diancam ribuan mulut pistol yang berkerubung di sekujur tubuh dengan jari-jari yang telah sigap hendak menekan pelatuk. Ia tak ingin mengenang lagi wajah Martono, bahkan ia berencana meninggalkan Ratmi yang ia anggap sebagai biang terjadinya perbuatan keji itu.

Ratmi ternyata ketagihan dengan perolehan hasil ia merampok pertama kali. Ia ingin lelaki itu kembali beraksi dan mengumpulkan harta yang lebih banyak dari hari itu. Lelaki itu sering dibujuk bahkan diancam olehnya agar kembali bergabung dengan Martono. Nyaris tiap waktu lelaki itu hanya menjadi patung lugu di hadapan Ratmi yang ngomel sambil berkacak pinggang.

Lelaki itu hanya melirik sayu dengan kedua mata yang menatap redup bagai sumbu kandil yang kehabisan minyak. Bibirnya bergeming, kian kering di dekat hamparan pipi cekungnya yang kentara oleh tikam-tikam duka. Ia hanya bisa diam, menangis, dan mengelus dada, terlebih setelah sempat ia lihat di televisi bahwa dirinya sedang diburu polisi. Jalan terbaik yang ia ambil adalah pindah menuju daerah lain dan berencana mengontrak rumah yang letaknya jauh di pedalaman. Selain karena faktor keamanan, rumah yang ada di pedalaman menurutnya lebih berkarib dengan kesunyian, sedang ia yakin kesunyian adalah rahim bagi sebuah ketenangan yang suatu saat bisa jadi jalan putih menuju Tuhan.

Setelah melalui proses yang alot, akhirnya ia memilih rumah yang tirainya merah marun itu. Di rumah itulah ia sedikit lebih tenang. Setiap hari—terutama saat pagi hari—ia duduk di balik tirai yang terbelah itu, tepatnya pada sebuah meja kecil bundar lusuh, sesekali melihat matahari dan ingin jadi matahari yang selalu tak mau bersekutu dengan kegelapan.

Hal lain yang ia lakukan untuk meyakinkan jalan pertobatannya itu adalah menggali lubang kubur di dalam kamar pribadinya sebagai persiapan bagi jalan akhir hayatnya sekaligus alat kendali untuk dirinya agar tidak melakukan hal keji lagi. Di dekat liang kubur itu, ia kerap meratapi masa kelamnya seraya menitikkan air mata, menyaruk hikmah dari lubang yang menganga sebagai jalan pasti yang akan dilalui setiap manusia. Tapi hanya beberapa minggu saja ia menghayati pelajaran filosofis dari lubang itu, hari setelah itu, ia tak menyangka polisi masih bisa datang ke tempat itu dan memindahkannya ke penjara. Di penjara, ia selalu merindukan lubang kubur buatannya sendiri itu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan