Penulis dari Bilik-Bilik Pesantren

825 kali dibaca

Salut. Itulah kesan pertama saat saya mengkhatamkan buku yang ditulis Rijal Mumazziq Zionis, dkk ini. Beberapa penulis santri yang terjaring dalam buku ini sangat mahir meramu kata-kata, sehingga tidak bosan membacanya dari awal sampai akhir, kendati berulang-ulang kali.

Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis setebal 224 halaman ini diawali dengan prolog oleh Prof Dr Nur Syam, Guru Besar Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya dan diakhiri dengan epilog oleh Prof Dr Abd A’la, Guru Besar Pascasarjana dan Rektor UINSA Surabaya 2012-2018). Selain itu, buku ini juga diberi komentar oleh Redaktur Budaya Jawa Pos Arif Santosa, KH D Zawawi Imron (budayawan, penyair, pengarang Celurit Emas) dan Achmad Ma’ruf Asrori (Koordinator Forum Komunikasi Penulis dan Penerbit Pesantren FKP3 Jatim).

Advertisements

Santri yang dulu dikenal kolot, tradisionalis, tidak gaul, ndeso, terbelakang, ketinggalan zaman, dan sebutan lain yang dipandang hanya dengan sebelah mata, dewasa ini anggapan itu sudah tidak berlaku lagi. Kini kalangan santri sudah banyak muncul ke permukaan, tampil sebagai pemimpin, seperti KH. Abdurrahman Wahid, KH Hasyim Muzadi, KH Ma’ruf Amin, dan banyak lagi lainnya. Dari kalangan mereka juga lahir beberapa penulis terkenal, semisal KH Ahmad Mustofa Bisri, KH D Zawawi Imron, Kiai Kanjeng (Emha Ainun Nadjib), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Jadi, kalau sekarang banyak golongan santri yang menjadi penulis, sejatinya adalah bagian dari proses kreatif di tengah dunia yang kompetitif dalam berbagai bidang kehidupan. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi itu bukan sesuatu yang tidak mungkin. Semuanya tergantung niat dan kesungguhan.

Pada prolog di dalam buku ini, missal, Nur Syam menuturkan, untuk menjadi penulis hanya dibutuhkan tiga syarat, yaitu: suka membaca, ada inspirasi untuk menulis, dan kemauan untuk menulis. Ada banyak orang yang suka membaca, tetapi tidak menemukan inspirasi untuk menulis. Ada banyak orang yang bisa menemukan inspirasi untuk menulis, tetapi tidak mau menulis. Maka dengan ketiganya, kita akan bisa menulis.

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali mengungkapkan, “Kalau kau bukan anak raja dan kau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis!” Ungkapan ini menjadi lentera bagi orang yang biasa-biasa saja seperti kita agar terus semangat menulis. Dunia menyingkap fakta bahwa untuk menjadi sukses dan dikenal, seseorang harus menghasilkan karya. Salah satunya dengan menjadi penulis.

Dengan menelaah buku ini kita akan mengetahui bahwa menulis itu tidak mudah, butuh usaha, ketekunan, kesabaran, dan terus semangat berlatih. Namun, di balik semua itu pasti ada kemudahan selama ada usaha yang sungguh-sungguh untuk menjadi penulis. Jadi, tidak boleh patah arang, tapi justru semakin terpacu untuk terus berjuang.

Menjadi penulis dengan jalur sepi ini memang tidak banyak diminati orang, namun betapa banyak orang yang ingin hidupnya bermanfaat, sukses, terkenal, dan tetap hidup meski jasad telah berkalang tanah. Banyak sekali yang berkeinginan meneladan perjalanan hidup Imam Ghazali, misalnya, dengan tetap dikenal, tetap hidup, tiadanya tetap ada, dengan meninggalkan karya abadi, tetapi mereka tidak mau melewati masa-masa sulit, tidak mau berjuang dan menekuni karya.

Selain itu, kehadiran buku ini untuk menjawab kegelisahan para penulis, lebih-lebih penulis dari kalangan santri, yang kesulitan untuk menangkap sebuah ide. Ada beberapa formula yang ditawarkan di dalam buku ini untuk mengelola ide sederhana menjadi karya besar.

Pertama, menumbuhkan sikap peka dan ingin tahu. Peka berarti tak melewatkan sedikit pun peristiwa maupun perkembangan yang terjadi. Menyerap segala informasi dan berusaha menganalisanya. Sedangkan, rasa ingin tahu berarti melihat sesuatu yang luar biasa di balik sesuatu yang biasa-biasa saja (halaman 16). Seperti, Sir Issac Newton menemukan teori relativitas saat ia kejatuhan apel ketika asyik nongkrong di bawah pohon apel. Begitu pula pelajaran yang dialami oleh Wright dan saudara-saudaranya yang mendapat ide untuk membuat pesawat terbang ketika mereka sedang asyik memandangi burung-burung yang beterbangan. Mereka berhasil membaca sesuatu yang luar biasa di balik sesuatu yang biasa.

Kedua, mengasah daya kritis. Tatkala melihat sebuah fakta atau fenomena, kita harus berusaha membaca sesuatu yang lain atau sesuatu yang tersembunyi di balik fakta tersebut. Misalnya, saat kita melihat pemberitaan di TV mengenai kasus atau peristiwa, kita tidak melihatnya dari sudut pandang kebanyakan. Kita berusaha menangkap “ada apa di balik peristiwa” tersebut. Kalau pemberitaan selama ini berkata A atau B, kita berusaha untuk menyuguhkan alternatif dengan pilihan C atau D (halaman 17). Jadi, selain berupaya melihat fakta dari perspektif lain, kita berupaya membuat sebuah rangkaian analisa yang dipertajam.

Selain itu, daya kritis diperlukan agar keingintahuan atau rasa penasaran kita terus bergolak. Jika rasa ingin tahu sudah tidak bisa dibendung, maka kita akan terus didesak untuk mencari jawabannya.

Sejatinya, buku ini adalah penyemangat agar keinginan untuk menulis terus menggelora dalam dada kita. Buku ini menyajikan kiat-kiat menulis mudah dan kreatif dengan mengemas kisah pengalaman para santri dalam dunia tulis-menulis.

Disampaikan dengan bahasa lugas, ringan, serta enak dibaca, baik sambil duduk ataupun rebahan. Bagi saya, buku ini tak sekadar kisah perjalanan santri menjadi seorang penulis, tetapi juga dapat dijadikan bahan perenungan untuk menemukan jati diri, menambah pengalaman, dan semangat untuk terus berkarya demi sebuah “keabadian”.

Data Buku

Judul               : Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Penulis             : Rijal Mumazziq Zionis, dkk
Penerbit           : Muara Progresif Surabaya
Cetakan           : I, 2009 M / 1430 H
Tebal               : 224 halaman
ISBN               : 978-602-95087-1-0

Multi-Page

Tinggalkan Balasan