Apa sesungguhnya yang disebut nahu, atau ilmu nahu, sehingga fan ini menjadi sedemikian penting?
Menurut Syeikh Zaini Dakhlan, nahu merupakan ilmu tentang kaidah-kaidah yang dapat menghasilkan pengetahuan lain tentang hukum-hukum kalimat Arabiah. Ia berkaitan dengan susunan kalimat berupa i’rob, bina’, dan sesuatu yang mengiringi keduanya berupa syarat-syarat nawasikh (hal yang merusak kaidah) dan a’id (hal yang berhubungan).

Mungkin definisi tersebut agak membingungkan. Untuk lebih mudah, nahu bisa diartikan sebagai ilmu tentang kaidah-kaidah yang mengatur struktur kalimat bahasa Arab, dengan titik tekan pembahasan mengenai harakat akhir kalimat dan bagaimana hubungan satu kalimat dengan kalimat lain.
Tujuan ilmu nahu adalah kemampuan menghindari kesalahan bahasa Arab dan digunakan untuk memahami Kalamullah (Al-Qur’an) dan Kalam Rasul (Hadis).
Dengan demikian, semua yang berhubungan dengan bahasa Arab menjadi objek pembahasan ilmu nahu. Fokusnya pada pembedahan setiap kalimat dan statusnya.
Karena itu, lmu nahu juga punya kaitan dengan banyak ilmu lain. Mengingat fungsi ilmu nahu adalah memahami bahasa Arab, maka semua ilmu yang berbasis Arab pasti berkaitan dengan nahu. Misalnya, ilmu tafsir, ilmu balaghah, hadis, akhlak, fikih. Pendeknya, pada hampir semua ilmu pada khazanah keislaman, ilmu nahu memiliki peranan besar di dalamnya.
Pertanyaannya adalah, apakah belajar nahu penting? Tergantung seberapa jauh seseorang butuh memahami Islam, di sana nahu akan menjadi jembatan. Jadi tolok ukur penting atau tidak, itu dilihat dari kebutuhan memahami ilmu keislaman.
Yang jelas, ilmu nahu dianggap mulia karena inti daripada seluruh pengetahuan keislaman berporos pada Al-Qur’an dan As-Sunah. Memahami itu semua berarti berupaya memahami Al-Qur’an dan As-Sunah. Tak ada ukuran akurat tentang seberapa tinggi kemuliaan belajar Ilmu Allah karena terlalu mulia, tak bisa diukur.
Pertanyaannya sekarang, apakah kit merasa butuh menggapai kemuliaan itu atau tidak? Kalau butuh, ilmu nahu menjadi solusinya.
Terlepas dari apakah kita perlu belajar ilmu nahu atau tidak, sebenarnya itu tidak penting. Karena orang-orang memang telah membutuhkan ilmu nahu, jauh sebelum dikenal ilmunya. Dan alasan kenapa ulama merintis disiplin ilmu nahu karena memang dibutuhkan.
Sebenarnya, gagasan bahwa nahu penting muncul sejak zaman khalifah. Namun, istilah nahwmu sebagai disiplin ilmu masih belum ada.
Semua bermula dari seseorang bernama Abul Aswad yang sedang bersama putrinya pada suatu malam. Malam yang indah. Bintang gemintang gemerlapan di atas sana. Tak sehelai pun awan menghalangi pandangan kedua ayah dan anak ini.
Sebenarnya, tempat mereka, jazirah Arab, tempat yang terkenal kering—artinya jarang sekali awan melewati langitnya. Pemandangan malam seperti ini adalah hal lumrah. Namun entah kenapa malam itu langit seperti lebih bersolek, membuat dua insan di bawahnya tercenung kagum.
Di kala mereka menikmati indahnya malam, si putri berkata pada si ayah menggunakan bahasa Arab. “يا ابت، ما احسنُ السماءِ”, kata si putri. Apa yang dimaksud oleh si putri? Dia ingin menyatakan kekaguman, “Wahai ayahku, langit begitu indah,” kira-kira begini dalam bahasa Indonesia.
Seharusnya ungkapan itu juga yang dipahami oleh si ayah. Namun sang ayah salah paham. Dia mengira putrinya bermaksud bertanya, “Wahai ayahku, apanya yang paling indah dari langit?”
Sang ayah pun bilang, “Wahai putriku, tentu saja bintangnya” sebagai jawaban. Maka si putri menjelaskan bahwa ia bermaksud menyatakan kekagumannya, bukan bertanya, jadi tak perlu dijawab.
Lalu si ayah bilang bahwa pengucapan si putrilah yang salah. Kalau ingin menyatakan kekaguman, bukan begitu caranya, katanya. Katakanlah begini “يا ابت، ما احسنَ السماءَ”, fathahkan mulutmu, Nak. Jadi si putri ini salah ucap. Atau lebih tepatnya memang tidak tahu cara bicara bahasa Arab.
Memang, bahasa Arab sangat kompleks, kaya makna, agak rumit, dan kerap membuat rancu jika tidak teliti. Hanya salah harakat saja bisa membingungkan lawan bicara, apalagi salah huruf. Mungkin dalam perbincangan biasa bisa dimaklumi, tapi bayangkan kalau kesalahan itu terjadi dalam memahami Al-Qur’an, bisa sangat fatal akibatnya.
Kira-kira begitu isi pikiran Abul Aswad setelah mengalami kejadian tersebut. Setelah peristiwa itu, dia pun menemui Amirulmukminin Sayyidina Ali, menceritakan apa yang dialaminya dan bagaimana keresahannya.
“Ini diakibatkan kontaminasi bahasa lain,” simpul Sayyidina Ali. Tapi bukan itu yang penting, yang terjadi biarlah terjadi. Yang penting sekarang adalah bagaimana mengantisipasi kesalahan yang sama terjadi di masa depan?
Lalu Sayyidina Ali menyuruh Abul Aswad membeli kertas dan beberapa hari setelahnya beliau mendiktekan tiga kalam; isim, fiil, dan huruf yang ada maknanya. Inilah kemudian yang menjadi dasar-dasar ilmu nahu.
Selain itu, Sayyidina Ali juga memberikan beberapa bagian dalam bab ta’ajjub. “انح نحو هذا” berikanlah contoh semisal ini, ucap Ali kemudian.
Nama ‘nahu’ sendiri, yang berarti contoh, barangkali terinspirasi dari ucapan Sayyidina Ali saat itu. Atau mungkin karena dalam mempelajari ilmu nahu orang-orang akan diberikan banyak contoh. Bahkan sepertinya mereka lebih banyak mengonsumsi contoh daripada teori. Sebab, teori-teori nahu memang berangkat dari contoh.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa ilmu nahu sangat dibutuhkan di kalangan kaum muslim berintelektual. Ibaratnya, ilmu nahu itu sebagai pisau bagi tukang jagal, cangkul bagi petani, atau pedang bagi prajurit. Bahwa, ilmu nahu menjadi alat untuk memahami ilmu lain yang lebih luas.
Oleh karenanya ilmu nahu, sebagaimana ilmu saraf, balaghah, dan mantiq, dikenal dengan ilmu alat. Fungsinya memang menjadi alat untuk memahami ilmu-ilmu yang lebih kompleks dan luas.
Mungkin setelah ini kita menjadi sedikit paham latar belakang nahu, tapi itu tak cukup. Banyak hal yang masih perlu dikuasai. Satu alat mungkin bisa membantu sedikit pekerjaan, namun demi kelengkapan, integritas, dan kualitas, tentu saja satu itu kurang. Kita perlu melengkapinya dengan alat lain.
Kita akhiri dengan sabda Nabi, “Tuntutlah ilmu meski ke negeri China.” Dengan bahasa beda, kita bisa menggunakan ungkapan yang berbeda, “Kejarlah ilmu sejauh mungkin.”
Dan yang kita butuhkan untuk mengejar ilmu adalah kemampuan berlari, salah satunya dengan menguasai ilmu nahu.
Daftar pustaka:
Syeikh Abu Abdullah Muhammad As-Shanhaji, Matan Al-Ajrumiyah, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 1971, Beirut-Lebanon
As-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Syarah as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan ‘ala Mat nal-Ajrumiyah, 1971, Beirut-Lebanon