Pengalaman Ngalong di Desa Pesantren

4,504 kali dibaca

Di dunia santri dikenal santri kalong atau santri ngalong. Istilah ini sebagai sebutan bagi santri yang mukim di kampung dan tidak tinggal di dalam pondok pesantren. Mereka hanya ikut kegiatan mengaji pada malam hari saja. Selebihnya, mereka menghabiskan waktu di rumah mereka masing-masing. Julukan tersebut muncul karena santri yang ngalong berangkat mengaji pada malam hari dari rumah mereka, mirip dengan kebiasaan kalong atau kelelawar yang beraktivitas pada malam hari.

Tulisan ini merupakan pengalaman pribadi menjadi santri kalong. Tinggal di lingkungan pesantren menjadikan kultur keluarga kental akan budaya pesantren. Meskipun tidak ada yang pernah merantau ke pondok pesantren yang jauh, tetapi religiusitas keluarga saya begitu kuat. Oleh karena itu, pada tahun 2015 saya didorong untuk masuk ke pesantren, untuk belajar agama dan menjaga tradisi keluarga Ayah, yang semua anggota keluarganya yang laki-laki ngaji di pesantren.

Advertisements

Saya tinggal di sebuah desa bernama Cintamulya, di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Dan sejak pertama kali menulis, saya belum pernah membahas mengenai desa itu dari sisi religiusitasnya. Desa saya mendapat julukan sebagai desa santri dari ulama atau habaib yang pernah bersafari di sana.

Julukan itu berasal dari banyaknya pondok pesantren yang berdiri di desa itu. Terdapat tujuh pondok pesantren yang secara administratif terdaftar di Kementrian Agama. Ada juga pondok-pondok pesantren yang masih baru merintis dan belum terdaftar secara kelembagaan di Kementrian Agama. Artinya, secara rasio di setiap satu RW ada satu pondok pesantren.

Banyak pesantren itulah yangmembuat desa saya memiliki kultur atau tradisi keislaman begitu kuat. Bahkan sampai saat ini 100 persen penduduk desanya adalah muslim. Agama Islam dan pondok pesantren menjadi simbol yang dipertahankan oleh masyarakat. Meskipun secara praktikal, para santri yang belajar di pondok pesantren 90 persen adalah perantau dari desa lain.

Acara-acara keagamaan tidak pernah sepi dari jamaah. Dai kondang, ulama terkenal, ustaz masyhur, dan bahkan habaib tidak pernah absen untuk mengisi kegiatan tersebut. Masyarakat secara turun temurun menjaga tradisi keislaman tersebut, dengan tidak mengurangi rasa toleransi.

Selama empat tahun saya menjadi santri kalong di salah satu pesantren di desa saya. Pesantren tersebut adalah Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin (PPHM). PPHM didirikan oleh Al-Maghfurlah Romo KH Imam Ma’sum. Dan sekarang diasuh oleh Romo Kiai Imam Mas’ud, salah seorang putra pendiri.

Saya masuk di pesantren tersebut sejak SMA atau tahun 2015. Saya cukup beruntung karena sebagai santri baru saya bisa memulai tahun pertama dari kelas 2 Tsanawiyah. Hal itu dikarenakan saya adalah lulusan TPA salah satu lingkungan yayasan yang sama.

Mungkin ada pertanyaan, kenapa tidak mondok saja, biar merasakan kultur pesantren yang lebih autentik? Alasan yang pertama karena adalah saya sekolah di tempat yang cukup jauh dan harus memakai kendaraan bermotor. Sedangkan, di pondok para santri dilarang membawa kendaraan bermotor kecuali pengurus.

Kedua, karena jarak pesantren dan rumah saya hanya 250 meter. Keluarga saya adalah tetangga dekat Pak Kiai, dan orang tua saya sering sekali dimintai tolong ketika di pesantren sedang ada hajat. Dan jarak yang dekat itulah yang membuat saya khawatir untuk sering pulang ke rumah.

Selama ngalong, ada banyak cerita suka dan duka yang saya alami. Di luar pengalaman spiritual yang saya rasakan, ada pula pengalaman-pengalaman lain yang saya dapatkan. Salah satu cerita suka yang pernah saya rasakan, yaitu ketika mendapatkan juara 3 Musabaqoh Qiroatul Kutub tingkat kabupaten pada cabang Nahwu Ula. Selain itu, di pesantren adalah kali pertama saya belajar menjadi MC. Saya juga bertemu dengan teman-teman yang ramah meskipun kurang akrab tetapi meninggalkan kesan yang dalam.

Di samping pengalaman suka cita, saya juga pernah mengalami penuh duka atau pengalaman buruk. Contohnya ketika harus berdiri selama pelajaran berlangsung karena hari sebelumnya tidak masuk. Atau harus ikut membersihkan comberan karena absen lebih dari tiga kali dalam sebulan. Dan yang paling parah adalah tidak bisa ikut ujian akhir karena beberapa kitab saya rumpang dari makna.

Di pertengahan tahun 2019 saya mendaftar UMPTKIN, setelah pada tahun sebelumnya gagal mendapatkan beasiswa di salah satu PTN. Saya salah seorang yang percaya barokah guru atau kiai. Ketika 2018 saya mendaftar beasiswa saya tidak meminta izin dan memohon doa restu dari Pak Kiai. Dan saya rasa karena itulah Allah tidak meridai saya untuk melanjutkan pendidikan. Dan benar saja, ketika setahun setelahnya saya sowan dan menceritakan itu, saya dinasihati agar hal yang semacam itu jangan diulangi. Beliau berpesan agar selalu menjadikan ngaji di atas kepentingan dunia lain. Jangan dijadikan pilihan kedua atau kesekian.

Memutuskan meninggalkan pesantren untuk melanjutkan pendidikan tinggi adalah hal yang berat. Akan tetapi, keputusan saya sudah bulat. Meskipun harus pergi tanpa menyandang gelar wisudawan. Tersisa satu tahun terakhir belajar dan satu tahun mengabdi dan saya memilih untuk pergi. Keputusan yang sulit namun semoga Pak Kiai dan Allah merestui. Dan Alhamdulillah ketika sowan beliau memberikan izin dan berpesan untuk senantiasa menyebarkan ilmu yang sudah didapat di pesantren agar tidak mengendap dan hilang sia-sia.

Secara garis besar, menjadi santri kalong mengajarkan saya bagaimana membagi waktu antara sekolah, mengaji dan kegiatan lain di luar keduanya. Menjadi santri kalong bukanlah pilihan terbaik, karena akan sangat bijak jika santri belajar dan tinggal di pondok pesantren. Demi mendapatkan pengalaman santri yang autentik, spiritual yang mendalam, dan barokah ilmu yang sempurna.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan