Pencegahan Terorisme: Antara Represi dan Akomodasi

201 kali dibaca

Terhitung sejak terbukanya kran kebebasan yang merupakan ilham dari reformasi serta tragedi runtuhnya gedung World Trade Center (WTC) pada tahun 2001, membuat isu mengenai terorisme muncul lagi pada permukaan.

Sejatinya, pada masa awal kemerdekaan, terdapat gerakan yang condong mengarah pada tindak terorisme. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kartosuwiryo adalah salah satunya. DI/TII berupaya untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) yang didasari pada perjanjian Renville mengenai wilayah Jawa Barat yang diakui oleh Belanda (Zulfahri, 2020).

Advertisements

Secara lebih mendalam, Yudi Zulfahri dalam bukunya yang berjudul Bayang-bayang Terorisme Potret Genealogi dan Ideologi Terorisme di Indonesia” (2020) menyuguhkan analisa menarik seputar gerakan terlarang ini.

Sebut saja, peristiwa Komando Jihad, gerakan DI di Jateng, lahirnya Jama’ah Islamiyah, kelompok Al-Qaeda Indonesia, fenomena ISIS dan simpantisannya di Indonesia, hingga lahirnya JAD. Juga, tentang peta ideologi pelaku terorisme itu sendiri di Indonesia.

Tak kalah menarik, Yudi Zulfahri juga menyinggung mengenai strategi menanggulangi terorisme di Indonesia. Memang, secara a priori, tindak terorisme memiliki dampak yang begitu mendalam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dari berjatuhannya korban, polarisasi sosial dan penurunan investasi dan pariwisata merupakan segelintir dampak gerakan terorisme.

Dengan mengutip Mantan Kepala BNPT, Saud Usman Nasution, Yudi Zulfahri menjelaskan bahwa strategi untuk menanggulangi terorisme di Indonesia dilakukan dengan dua cara yakni pendekatan kekuatan (hard approach) dan pendekatan lunak (soft approach) (Zulfahri, 2020:172).

Dengan menyitir pendapat Aljunied (2011), Zulfahri menyebut bahwa pendekatan kekuatan melibatkan penggunaan fisik untuk mencegah rencana destruktif para teroris layaknya melakukan aksi pengeboman. Upaya ini dilakukan oleh aparat keamanan yang cenderung bersifat jangka pendek dan tentunya harus memerhatikan prinsip-prinsip HAM dan asas praduga tidak bersalah (Zulfahri, 2020:172).

Dalam hal penahanan pun dilakukan secara lebih khusus dibanding pelaku-pelaku kasus kejahatan lainnya. Para pemimpin, ideolog, dan provokator aksi terorisme dipisahkan dengan sel tahanan lainnya. Pasalnya, jika mereka dijadikan satu dengan tahanan lainnya ditakutkan akan melakukan kaderisasi di dalam tahanan. Sedangkan pengikut ditempatkan secara bersama-sama dengan pengikut lainnya (Zulfahri, 2020:174).

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan