Pembunuhan di antara Dua Fragmen Kasih Sayang

1,018 kali dibaca

Siang itu, Martin tengah mengaduk kopi keduanya ketika datang kabar kematian istrinya. Ia mati digorok tetanggamu yang janda itu, saudaranya berkabar melalui telepon. Martin bingung, kepalanya sibuk mengurai berita itu menjadi kepingan-kepingan yang mudah dicernanya. Tapi, betapapun kerasnya ia memikirkan beragam kemungkinan, pertanyaan ini tak juga terjawab: Bagaimana bisa?

“Pulanglah. Jasadnya sudah dibawa ke rumah sakit Citra Kasih.”

Advertisements

“Lalu, bagaimana dengan Sari?”

“Pembunuhnya maksudmu? Bodoh, tentu di kantor polisi.”

Saudaranya lantas menutup telepon begitu Martin bilang akan langsung pulang. Dan itulah yang ia lakukan. Setelah bilang ada urusan mendadak, Martin akhirnya bisa keluar dari kantornya yang berada di lantai lima sebuah gedung. Kepergiannya tentu tak mudah, sebab ia mesti terlebih dahulu meyakinkan atasannya bahwa proyek iklan yang tengah digarapnya akan selesai malam ini juga. Masalahnya, ia tak tahu malam nanti ia punya tenaga untuk menggarapnya lagi atau tidak. Berita itu datang terlalu tiba-tiba, dan kedatangannya teramat menyentaknya. Bagaimana bisa? Ia mengulang pertanyaan itu lagi.

Bodoh, kenapa kau terlalu gegabah? rutuknya dengan kesal.

Martin memutar setirnya. Alih-alih mengendarai mobilnya ke jalan yang menuju ke rumah sakit Citra Kasih, Martin justru membelokkan mobilnya ke jalurnya yang berbeda. Ia akan ke kantor polisi terlebih dahulu.

***

Setelah keluar dari penjara dan pulang ke rumah hanya untuk mendapati suaminya tengah bergelung dengan perempuan lain, Sari tahu bahwa saat itu adalah waktu yang tepat untuk meminta cerai pada suaminya. Ya, aku pun tak mau punya istri pembunuh sepertimu, kata suaminya ketika Sari mengatakan keinginannya. Lalu, dua minggu kemudian, setelah ia sah menjadi seorang janda, oleh orangtuanya, Sari dibawa pulang ke rumah.

“Ingat, Nak. Kamu tidak salah. Suamimu yang selingkuh,” ucap ibunya.

“Tidak, Bu. Aku pembunuh! Aku membunuh anakku sendiri!” Sari menangis tergugu.

Di bahu ibunya, Sari berurai air mata. Bayangan anaknya yang menggelepar di jalan dan bergelimang darah memenuhi kepalanya. Ingatan itu masih jelas, sepekat darah yang membanjir dari kepala anaknya. Dan bila begini, Sari hanya bisa menyalahkan dirinya atas kecelakaan itu. Anaknya yang dulu masih balita itu meninggal karena kelalaiannya, itu sudah jelas. Itu pula alasannya ia bisa didakwa bersalah oleh kepolisian.

“Berdasarkan kesaksian para saksi dan bukti-bukti yang ada, ditambah terdakwa terbukti melanggar pasal 359 KUHP, kami menetapkan saudari Sari Purwanti sebagai pelaku atas kematian Rana Arya Putra.”

Suara hakim saat di pengadilan dulu itu terus saja terngiang-ngiang di telinganya. Wajah-wajah yang menatap jijik kepadanya pun masih tercetak di ingatannya. Orang-orang tentu memandangnya sebagai ibu yang tak bertanggung jawab, sebab ia lebih mementingkan ponsel ketimbang anaknya.

Sari teringat, kala itu, saking asyiknya dengan media sosialnya, ia tak tahu kalau anaknya, Rana, berjalan ke depan rumah. Ia baru sadar ketika mendengar suara warga berteriak ramai.

“Rasanya, aku tak pantas lagi hidup, Bu.”

“Sudah, sudah. Tuhan ingin mengambil Rana lebih lekas dari yang kita duga, Nak. Ikhlaskan, ya.”

Sejak saat itu, dengan maksud meringankan rasa sepi Sari, ibunya membelikan Sari seekor kucing Anggora. Kucing itu masih kecil, berwarna putih dengan corak abu-abu. Melihat kucing itu, awalnya Sari tampak tak acuh. Ia telah lama kehilangan harapan dan semangat hidup, mulai dari kepergian anaknya, ditambah pula suami yang ia harapkan dapat menjadi sandarannya justru mengkhianatinya. Akan tetapi, begitu kucing itu datang kepadanya dan menggesek-gesekkan tubuh di sela kakinya, tanpa diduga, Sari mengangkat kucing itu.

Di gendongannya, kucing itu mengeong pelan, dan itu membuat Sari tersenyum.

“Rawatlah. Biar kamu tidak kesepian lagi,” kata ibunya.

“Aku ingin menamainya Rana. Apa boleh?”

Sejenak, ibunya tampak tersentak, tapi buru-buru mengangguk setuju.

Kucing yang diberi nama Rana itu pun dirawat oleh Sari sebaik ia merawat anaknya dahulu. Atas perawatannya yang terjamin, Rana tumbuh dengan cepat dan sehat. Ia menjadi kucing ceria yang menggemaskan. Ia senang diajak bermain, berlarian, dan sangat manja kepada siapa pun. Karena keaktifannya itu pula, Rana kerap bertandang ke rumah-rumah di sekitar tempat tinggal Sari. Terutama di sebuah rumah yang dipenuhi bebungaan di pelatarannya. Ia senang tiduran di sela tanaman yang ada di rumah itu.

Sementara Rana senang, Sari justru yang kerepotan sebab ia mesti mencari kucingnya itu ke mana-mana. Dan sewaktu ia menjemput Rana di rumah tetangganya yang dipenuhi bebungaan, itulah kali pertamanya ia bertemu dengan Martin.

***

Martin tak menyangka, wajah Sari tak menampakkan penyesalan atau emosi apa pun. Bahkan, saat diantar oleh seorang polisi tadi, Sari menyempatkan untuk menyapanya. Sari tampil seperti biasanya. Seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah tindakannya beberapa saat yang lalu bukan sesuatu yang patut dikhawatirkan.

“Kau tahu, dia ternyata menyayangi tanamannya lebih dari apa pun.” Sari tertawa kecil.

“Maksudmu?”

“Istrimu itu, Bella. O ya, aku menggorok lehernya dengan sabit yang biasa ia gunakan untuk menyiangi rumput di sela tanaman kesayangannya itu.”

Martin benar-benar bingung sekarang. Sari tampak sama sekaligus berbeda. Ada bagian dari Sari yang selama ini tak pernah ia jumpai. Bagaimana seseorang bisa tampak tenang setelah melakukan pembunuhan?

“Mengapa? Padahal, kamu tidak perlu melakukannya. Aku sudah janji padamu akan menceraikannya.”

“Dia menyayangi tanamannya lebih dari apa pun, Martin.” Sari mengulangi lagi perkataannya.

***

Bella tahu kalau suaminya, Martin, cepat atau lambat akan mencari istri baru. Sudah tujuh tahun lebih mereka berkeluarga, dan mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Mereka sebenarnya tak tahu pasti siapa yang mandul, tapi diam-diam, baik Bella sendiri ataupun suaminya, yakin bahwa dirinyalah yang tak subur. Untuk masalah ini, Bella sudah menyiapkan diri kalau suatu saat Martin mencari istri baru.

Hidup tanpa seorang anak selama tujuh tahun tentu membuat siapa pun merasa kesepian. Itulah yang dirasakan Bella, dan karena itu, untuk mengurangi rasa sepinya, Bella menanami pelataran rumahnya dengan beragam tanam hias dan bebungaan. Rawatlah sesuatu, hewan atau tanaman, supaya kamu ada kegiatan, begitu pesan tetangganya dulu yang ia aminkan. Maka sejak itu, Bella rajin membeli dan mencari bibit tanaman hias. Dengan rajin dan penuh kesabaran, ia merawat beragam bunga dan tanaman itu hingga pelataran rumahnya hampir menyaingi koleksi taman kota.

Di sela tanamannya itulah, tumbuh sebuah rumput yang dikenal sebagai Catnip. Bella sejujurnya menganggap rumput itu sebagai hama, tapi mengingat bunga yang mekar dari tanaman itu cukup indah, Bella selalu urung untuk memangkasnya. Namun, masalah datang ketika kucing tetangganya suka bergelung-gelung di sekitar tanaman itu. Dengan lagak seperti orang mabuk, kucing itu bergelung-gelung dan berjalan sempoyongan sampai-sampai merusak tanaman yang lain.

Awalnya, Bella menyabarkan diri, setelah pemilik kucing itu menjemput hewan kesayangannya dan membawanya pergi, Bella walaupun dengan menggerutu selalu dengan sabar merapikan lagi kebunnya itu. Akan tetapi, esok harinya, dan begitu seterusnya selama berhari-hari, kucing itu selalu datang dan semakin merusak tanaman kesayangannya. Lalu, di suatu siang, karena kalap Bella menggambil batu sebesar genggaman tangannya, kemudian menyambit kucing itu dengan telak. Si kucing pun sekarat.

Setelah Bella berlalu ke dalam rumah, Sari datang dan terkesiap saat mendapati Rana merintih kesakitan. Ia tentu tak tahu bahasa kucing, tapi ia tak bodoh untuk mengetahui kucingnya sekarat hanya dengan melihat darah yang membanjir dan suara yang lirih. Dan saat kucingnya benar-benar telah mati, ia tahu harus melakukan apa. Digenggamnya erat sabit yang tergeletak tak jauh dari bangkai kucing itu.

***

“Kini aku benar-benar pembunuh,” Sari berkata pelan.

“Aku tahu. Tapi, apa kucing itu cukup menjadi alasan untuk membunuh seseorang?”

“Kau pun akan melakukan hal yang serupa bila yang hilang adalah hal yang kau sayangi. Istrimu juga melakukannya, jangan lupa.”

Keduanya terdiam. Hanya terdengar suara pendingin ruangan yang berdengung.

“Apa kau akan menungguku, Martin? Bukankah kau pernah bilang jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihatku?”

Martin masih diam. Kakinya mengetuk-ngetuk di lantai. Ia bingung sekaligus gelisah.

“Ah, tentu, tidak ada yang menunggu kepulangan seorang pembunuh. Mantan suamiku saja dulu selingkuh. Apalagi kamu yang tak terikat hubungan apa-apa denganku.” Sari tertawa. Menertawakan kemalangannya. Ia tertawa dan terus tertawa, sampai seorang polisi membawanya pergi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan