Pagi masih muda. Mentari baru menetas di sela genting asrama Pondok Pesantren Al-Musthofa Ngeboran, Boyolali. Seusai salat Subuh dan wirid Rotib Al-Athos, para santri ngaji Riyadhus Sholihin yang dibacakan Kiai.
Seusai ngaji, mulai terdengar suara gemerisik sapu lidi dan juga vacumcleaner. Sudah seperti musik wajib di pondok ini. Sebuah gesekan antara lantai dan lidi-lidi yang dipaksa tunduk dalam genggaman tangan para santri untuk menjadi sebuah bentuk pengabdian para santri terhadap Kiai.

Setiap pagi dan sore, roan berjalan seperti sebuah ritual. Bukan dikarenakan adanya jadwal. Tapi karena ada sosok yang diam-diam mengawasi. Beliau tidak selalu berbicara, tapi matanyalah yang bicara. Mata beliau tajam, membaca dengan detail, menembus sikap malas yang coba disamarkan dengan gerakan setengah hati. Kami, para santri, pura-pura sibuk, kadang nyapu sambil melamun. Kadang pura-pura ada kelas pagi di perkuliahan. Kadang bersembunyi di suatu tempat demi menghindari “zona pengawasan”. Tetapi tetap saja hal itu diketahui oleh beliau.
Dulu, saya benci roan. Bukan karena berat, tapi lebih disebabkan sebagai rutinitas. Sehari dua kali, dan kadang lebih. Saya, santri yang lebih nyaman tidur atau ngobrol dengan teman lain, merasa roan adalah semacam siksaan kecil dalam hidup di lingkungan pesantren. Tapi waktu terus berjalan. Dan waktu punya cara bekerja yang tidak pernah bisa kita tolak.
Delapan bulan saya mencoba menjalani kehidupan dunia luar pesantren. Dunia luar menampakkan wajahnya yang bebas. Tak ada yang menyuruh, tak ada yang menegur, dan tak ada jadwal roan. Tapi justru di sinilah keanehan itu terasa. Tangan yang dulu malas menggenggam sapu, kini justru resah kalau melihat ruangan berdebu. Kaki yang dulu berat melangkah membersihkan halaman, kini enteng bergerak merapikan apa pun yang terasa tidak pada tempatnya.
Kebiasaan itu ternyata menanam akar. Ia tumbuh diam-diam dan ketika tidak sadar, ia telah jadi bagian dari jiwa. Bukan sekadar bersih-bersih. Tapi sebuah nilai kepedulian, tanggung jawab, kerapihan, dan kepekaan. Semua itu ditanam melalui lidi-lidi yang pernah saya lempar dengan malas. Sebuah ironi yang mungkin membuat tersenyum kecut, sekaligus bersyukur.
“Santri itu bukan orang yang hafal banyak kitab. Tapi orang yang paling kuat menjaga adab.”
Kurang lebih begitu ujar KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Dan barangkali, roan adalah salah satu bentuk dari adab tersebut; adab terhadap tempat tinggal, adab terhadap kebersamaan, adab terhadap dunia.
Bukan hanya itu, Kiai Raden Muhammad Yaasin juga pernah mengatakan, “Seng mbek resiki iku ora mung halaman, tapi atimu melu diresiki.” Yang artinya, yang kamu bersihkan itu bukan hanya halaman, akan tetapi hatimu juga ikut dibersihkan.
Saat beliau mengatakan hal tersebut, saya belum paham artinya. Tapi kini setelah hidup di luar pondok pesantren, kalimat itu menggema di kepala seperti mantra. Barangkali benar bahwa dengan kita menyapu halaman ataupun lantai dengan tangan, tapi yang sebenarnya dibersihkan adalah kekacauan dalam diri kita sendiri.
Sekarang saya paham, pondok tak pernah ingin membuat santrinya sempurna. Tapi pondok selalu berusaha membiasakan hal-hal kecil yang bermakna. Tidak harus ceramah, tidak harus debat. Cukup dengan sapu, pel, dan tangan yang konsisten. Karena karakter tidak dibentuk lewat wacana, tapi dibangun melalui kebiasaan. Soal bisa baca kitab, paham apa yang dipelajari adalah bonus jika kita sungguh-sungguh dalam mempelajarinya. Dan roan adalah salah satu bentuk pengabdian untuk mempermudah jalan belajar kita.
Dunia luar terlalu bebas, terlalu banyak orang mersa besar, tapi tidak mau membersihkan dirinya sendiri. Terlalu banyak orang yang bicara soal perubahan, tapi malas merapikan berkasnya. Saya
Kehidupan di Pondok Pesantren Al-Musthofa ini ibarat tarikan napas yang dua arah. Kami menghirup ilmu di bangku kuliah, lalu mengembuskanya dalam keheningan malam yang sarat zikir dan adab. Pagi kami dipenuhi dengan slide presentasi dan teori-teori akademik. Tapi sore hingga malam, kami harus kembali memegang ember, menyapu daun kering, mencuci bekas makan, atau mengatur sandal-sandal di teras masjid.
Roan memang tak pernah tercatat dalam kurikulum kampus, tapi ia menjadi pelajaran penting paling konkret tentang kepemimpinan, ketelatenan, dan kesetiaan pada kebersamaan. Saya belajar bahwa membersihkan sesuatu bersama dengan teman bisa lebih berarti daripada debat filsafat yang panjang tapi kering dari pengalaman.
Kiai kami bukan tipe banyak bicara. Tapi gesturnya, cara beliau membungkuk mengambil sampah kecil, atau mengatur posisi tempat sampah yang miring, sampai di saat kami sudah selesai membersihkan semuanya, beliau tetap mengecek sampai membenahi semisal ada yang kurang pas. Dari situlah kami merasakan bahwa ada pesan-pesan yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang punya hati. Dan saya bersyukur menjadi bagian dari mereka meski dulu tidak peka; kini perlahan mulai mengerti.
Pondok pesantren bukanlah tempat untuk mencari kemewahan. Tapi tempat menempa kepekaan. Di sini, tangan terbiasa bekerja, mata terbiasa melihat celah, dan hati terbiasa membaca hal-hal yang tak terucap. Maka jangan heran jika setelah keluar dari pondok, ada orang-orang yang tampak biasa aja, tapi di dalam dirinya tertanam rasa tanggung jawab yang luar biasa.
Hidup bukan soal besar atau kecilnya perbuatan. Tapi soal kesungguhan dalam mengerjakan hal yang terlihat sepele. Jangan remehkan kebiasaan menyapu, menata sandal, atau hal kecil lainya. Bisa jadi, itu adalah pelajaran paling abadi yang kita bawa dari pondok.
Dan jika suatu saat nanti kita hidup di luar pondok, lalu tanpa sadar tangan kita mengambil sapu ketika melihat kotoran kecil di lantai, ketahuilah bahwa itu bukan hanya geraknya tangan, tapi juga geraknya hati. Sebuah warisan yang kita dapat dari tempat tercinta kita, yaitu Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Muthofa, Ngeboran.