Pelajaran dari Penangkalan UAS

831 kali dibaca

Salah satu dai paling popular di negeri ini, Abdul Somad Batubara atau biasa disapa Ustaz Abdul Somad (UAS), menjadi buah bibir. Pemicunya, pada Senin, 16 Mei 2022, UAS yang sedianya hendak berlibur bersama keluarga dan sahabatnya ditangkal atau ditolak masuk wilayah hukum negara Singapura.

Peristiwa itu diketahui publik setelah beritanya diunggah sendiri oleh UAS melalui Instagram pribadinya, @ustadzabdulsomad_official, pada Senin (16/5/2022). Dalam postingan yang menampilkan gambar dirinya yang digambarkan ditahan di sebuah ruangan berukuran 1×2 meter itu, UAS menuliskan peristiwa yang dialaminya begini: “UAS di ruang 1×2 meter seperti penjara di imigrasi, sebelum dideportasi dari singapore.”

Advertisements

Kontan saja unggahan UAS tersebut langsung menuai beragam reaksi. Jika disimplifikasi, ada dua kelompok reaksi. Yang pertama, memandang bahwa peristiwa itu berkaitan sepenuhnya dengan kedaulatan Singapura sebagai sebuah negara, dan negara lain tak bisa ikut campur. Yang kedua, memandang bahwa Singapura telah berlaku semena-mena, menzalimi seorang ulama terpandang dari negara tetangga.

Bahkan, kelompok kedua ini menilai, perlakuan Singapura terhadap UAS dianggap melecehkan Islam, juga menunjukkan sikap Islamofobia. Karena itu, dari kelompok kedua ini muncul desakan agar pemerintah Singapura memberikan penjelasan atau bahkan permintaan maaf. Bahkan, dari kelompok ini juga muncul desakan agar pemerintah Indonesia melakukan langkah-langkah diplomatik terhadap Singapura. Isunya meluas dan bergeser ke mana-mana, sampai operasi intelijen dari Jakarta disebut-sebut, sampai masalah ras diungkit-ungkit.

Mungkin karena tak ingin kasus ini menjadi bola liar, pemerintah Singapura segera memberi penjelasan —sesuatu yang sebenarnya tak lazim dilakukan dalam kasus seperti ini, setaklazim orang dilarang masuk wilayah hukum negara lain beritanya diumbar ke mana-mana. Melalui Kementerian Dalam Negeri, pemerintah Singapura menegaskan bahwa UAS bukan dideportasi, melainkan ditolak memasuki wilayah hukum negeri singa tersebut. Di dunia diplomatik, hal itu disebut Not to Land.

Not to Land merupakan penolakan terhadap seseorang untuk memasuki wilayah suatu negara berdaulat di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Jika seseorang terkena Not to Land notice, dari TPI itu pula ia akan langsung dikembalikan ke negara asalnya. Apa alasan pengenaan Not to Land notice tersebut, sepenuhnya merupakan urusan negara yang dituju.

Dalam hal Not to Land notice terhadap UAS, seperti dalam rilis resmi yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri Singapura, ada beberapa frasa kunci yang dijadikan dasar. Pertama, sang dai disebut “berpura-pura sedang berlibur”. Kedua, sang dai dikelompokkan sebagai penceramah radikalis dan mengajarkan segregasi. Dan karena itu, ketiga, keberadaan sang dai dianggap tidak cocok bagi masyarakat Singapura yang hidup rukun dalam heterogenitas, yang multiras dan multiagama.

Sesungguhnya, UAS bukan pendakwah pertama yang ditolak masuk ke Singapura. Juga, Singapura bukan negara pertama yang menolak dimasuki UAS.

Dari pemberitaan beragam media kita tahu, sebelum ini, dengan alasan yang sama, sudah beberapa kali Singapura mengenakan Not to Land notice terhadap para pendakwah. Bukan hanya dai Islam, tapi juga pendakwah dari agama-agama lain.

Sebagai contoh, pada 2017, ada dua pendakwah muslim, yaitu Ismail Menk dari Zimbabwe dan Haslin bin Baharim dari Malaysia, yang ditolak masuk Singapura untuk kegiatan dakwah. Saat itu, Ismail Menk dan Haslin bin Baharim berencana menggelar ceramah keagamaan di sebuah kapal pesiar yang berlayar dari Singapura. Namun oleh pemerintah Singapura, izinnya itu ditolak. Mereka dikenakan Not to Land notice karena dianggap memiliki pandangan keagamaan yang dapat memicu intoleransi dan kebencian antara muslim dan nonmuslim sehingga menjadi ancaman terhadap keharmonisan sosial di Singapura.

Pada waktu yang berbeda, pemerintah Singapura juga pernah menolak dua orang penceramah Kristen dari luar negeri yang hendak menghadiri acara kegamaan di Singapura. Alasannya serupa, kedua penceramah Kristen yang tak disebutkan namanya ini dinilai sering membuat komentar yang merendahkan dan menyerang agama lain, sangat Islamofobia dan menyebut Allah sebagai tuhan palsu.

Dengan rekaman tersebut, patut diragukan terhadap klaim yang menyebut Singapura mengidap Islamofobia hanya gara-gara kasus UAS tersebut. Sebab, alasan dua pendakwah Kristen yang ditolak masuk Singapura justru karena mereka Islamofobia. Juga, patut diragukan terhadap klaim yang menyebut Singapura bersikap diskrimitaif terhadap (pendakwah) Islam. Sebab, faktanya ada pendakwah dari agama lain yang juga diperlakukan sama.

Sepertinya, kebijakan Singapura memang begitu: memberikan Not to Land notice terhadap semua pendakwah yang masuk kategori radikalis dan mendakwahkan segregasi, apa pun latar belakangnya.

Dakwah: Black Campaign

Lalu pertanyannya, benarkah UAS termasuk kelompok pendakwah radikalis dan selalu menyebarkan paham segregasi seperti penilaian otoritas Singapura tersebut? Sulit menemukan jawaban tunggal. Tapi, pengalaman UAS memperoleh perlakuan serupa di sejumlah negara dapat dijadikan pertimbangan penilaian.

Seperti disinggung sebelumnya, Singapura bukan negara pertama yang menolak izin masuk UAS ke wilayah hukum negara berdaulat. Setidaknya ada beberapa di Asia dan Eropa yang tak memberi izin UAS masuk.

Yang pertama disebut adalah justru bekas wilayah Indonesia, yaitu Timor Leste. Peristiwanya terjadi pada 2018. Saat itu, UAS berniat untuk mengadakan tabligh akbar di Timor Leste. Tapi, di negeri itu UAS cuma bisa menjejakkan kaki di area imigrasi karena dilarang masuk wilayah hukum Timor Leste. Otoritas Timor Leste tidak menjelaskan alasannya, tapi UAS mengaku dirinya diangap terkait dengan jaringan teroris dan kelompok radikalis.

Tahun sebelumnya, pada Desember 2017, UAS ditolak masuk wilayah hukum di Hong Kong. Sedianya, saat itu UAS akan memenuhi undangan pengajian dari warga negara Indonesia yang ada di Hong Kong. Namun, baru sampai area pemeriksaan imigrasi, UAS disuruh balik kanan dan pengajian itu pun batal digelar. Tak ada penjelasan resmi alasannya.

Di beberapa negara Eropa, UAS juga memperoleh perlakuan serupa. Pada 2019, misalnya, UAS ditolak masuk Jerman. Alasannya, sang dai dianggap sering membuat pernyataan yang intoleran bahkan cenderung provokatif. Di tahun yang sama, rupanya UAS juga ditolak masuk ke Belanda. Saat itu, UAS hendak masuk ke Belanda melalui Swiss. Alasannya, paspor UAS tidak memiliki akses masuk ke negara tersebut. Setahun kemudian, UAS gagal mengunjungi Inggris setelah visanya dibatalkan tanpa penjelasan akan alasannya.

Dari beberapa negara yang pernah menolak izin masuk terhadap UAS tersebut, rasanya hanya Singapura yang akhirnya memberikan klarifikasi atau penjelasan resmi hal ihwalnya. Bahkan, otoritas Singapura sampai memberikan contoh-contoh detail dari pernyataan-pernyataan UAS yang dinilai bermuatan radikalisme-ekstremisme dan mengandung unsur kebencian dan segregasi.

Berikut kutipannya: Somad dikenal sebagai penyebar ajaran ekstremisme dan ajarannya menimbulkan segregasi, yang tidak dapat diterima di masyarakat multi-ras dan multi-agama Singapura. Misalnya, Somad pernah berkotbah soal bom bunuh diri adalah sah dalam konteks konflik Israel-Palestina, dan dianggap sebagai operasi ‘syahid’. Dia juga membuat komentar yang merendahkan anggota komunitas agama lain, seperti Kristen, dengan menggambarkan salib Kristen sebagai tempat tinggal ‘jin (roh/setan) kafir’. Selain itu, Somad secara terbuka menyebut non-Muslim sebagai ‘kafir’ (kafir).

Bagi banyak negara modern yang demokratis, yang bangunan masyarakatnya multiras dan multiagama, seperti yang ditunjukkan oleh Singapura itu, muatan dakwah yang dinilai mengandung ajaran ekstremisme dan segregasi memang bisa dianggap sebagai ancaman. Dikhawatirkan bisa memicu disharmoni dan konflik sosial, dan membayakan keamanan dan keutuhan kedaulatan suatu negara.

Jika boleh meminjam istilah dari dunia politik, model dakwah seperti itu bisa disebut sebagai dakwah model black campaign dan negative campaign. Peminjaman istilah ini merujuk pada model-model dakwah yang, alih-alih menonjolkan kebaikan agama sendiri, justru menjelek-jelekkan agama lain disertai dengan narasi akan ancaman-ancaman dan ketakutan-ketakutan dari agresi umat agama lain.

Rupanya, jika merujuk pada penjelasan resmi tersebut, otoritas Singapura menempatkan UAS di sana: pendakwah yang menggunakan model black campaign dan negative campaign, yang memang sering digunakan oleh kelompok-kelompok radikalis-ekstremis dari agama apa pun— tidak hanya Islam. Itulah kenapa Singapura menolaknya. Bagaimana kebenarannya, hanya Tuhan yang tahu.

Dakwah: Bil Hikmah

Ironisnya, model dakwah seperti ini, model black campaign dan negative campaign, belakangan justru digandrungi di negara-negara dengan populasi mayoritas muslim. Dan para dainya menjadi pesohor. Dielu-elukan di mana-mana.

Kenapa fenomenanya menjadi begini? Mungkin, dakwah kita akan terasa kurang gereget jika tidak sambil menyinggung, menyalah-nyalahkan, atau mengina-hina agama lain. Mungkin, kita kurang beriman jika tidak sambil mengkafir-kafirkan pihak lain atau umat dari agama lain. Mungkin, kita merasa tak akan masuk surga jika tidak menghalalkan darah orang-orang yang mengimani keyakinan yang berbeda.

Betapa terasa, dunia dakwah kita masih seperti 15 abad yang lampau, ketika suku-suku masih saling berperang, masih saling menaklukkan. Mimbar-mimbar dakwah kita masih disesaki dengan narasi-narasi alam permusuhan dan peperangan. Sesungguhnya, secara teologis, muatan-muatan dakwahnya mungkin memiliki pijakan. Namun, secara sosiologis sudah tidak logis.

Sekarang mari kita ambil contoh sederhana. Katakanlah ada seorang tetangga tiba-tiba murtad, berpindah ke lain agama, menjadi kafir. Berbekal dari narasi dakwah bahwa “darah orang kafir halal”, lalu kita mendatanginya seraya berucap, “Sejak detik ini darahmu halal!” Bayangkan apa yang akan terjadi? Bisa jadi kita akan saling bunuh dengan tetangga. Setidaknya, hal itu bisa menjadi urusan polisi. Orang Jawa bilang, bener belum tentu pener.

Dengan contoh satu ini saja, dapat dipahami jika ada negara-negara yang menolak dikunjungi para pendakwah yang materi atau narasi dakwahnya hanya cocok untuk kurun 15 abad yang lampau. Artinya, narasi semacam “darah orang kafir halal” tidak lagi cocok untuk dakwah masa kekinian.

Akhirnya, kasus penolakan otoritas Singapura terhadap UAS sebenarnya hanya sebuah afirmasi bahwa ada yang salah dengan pilihan metode dakwah kita. Bukan masanya lagi berdakwah dengan menyinggung-nyinggung atau menyalahkan-nyalahkan umat dan agama lain. Apalagi dilengkapi dengan narasi-narasi provokatif –segregatif.

Rasanya kita perlu menyegarkan kembali metode dakwah kita, dengan apa yang pernah diwariskan oleh ulama-ulama terdahulu. Yaitu, dakwah bil hikmah. Istilah yang mulai redup di mimbar-mimbar dakwah kita. Istilah itu merujuk pada penyampaian dakwah secara arif bijaksana, dengan pendekatan penuh kasih sayang, keramahan, dan tidak mendesakkan atau memaksanakan kebenaran tunggal.

Contoh dakwah bil hikmah yang saya kira selalu aktual adalah apa yang pernah dilakukan KH Chudlori Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah ketika menghadapi masyarakat desa yang sedang berselisih.  Saat itu masyarakat terbelah menjadi dua kelompok dalam urusan penggunaan dana desa. Satu kelompok ingin dana desa digunakan membangun masjid. Kelompok lainnya ingin menggunakan uang desa untuk membeli gamelan.

Kedua kelompok ini kemudian meminta pendapat Kiai Chudlori. Banyak orang menduga Kiai  Chudlori akan meminta uang desa digunakan membangun masjid. Di luar dugaan, Kiai Chudlori justru menyarankan agar dana desa dipakai membeli gamelan saja. “Biar masyarakat rukun dulu. Kalau masyarakat sudah rukun, harmonis, dengan sendirinya masjid akan terbangun,” demikian kira-kira Kiai Chudlori.

Dan apa yang diucapkan Kiai Chudlori akhirnya terbukti. Dengan sarana gamelan, masyarakat menjadi rukun. Setelah rukun, secara swadaya masyarakat membangun masjid. Itulah cara dakwah bil hikmah Kiai Chudlori sebagai contoh aktual. Bayangkahlah jika yang digunakan adalah model dakwah black campaign dan negative campaign seperti yang marak saat ini. Kelompok yang menginginkan dana desa untuk membeli gamelan —yang sebagian dari kita menyebutnya barang haram— pasti akan terusir, bahkan mungkin akan dicap kafir dan darahnya dinyatakan halal. Gagal pula tujuan dakwah yang sebenarnya.

Sekali lagi, kasus penangkalan UAS untuk memasuki Singapura menjadi satu afirmasi bahwa ada yang salah dengan pilihan model dakwah kita. Jika dakwah model black campaign dan negative campaign terus diberi mimbar dan panggung, jangan menyalahkan mereka yang punya pandangan bahwa Islam adalah agama yang mengafirmasi radikalisme-ekstremisme.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan