Pelajaran dari Langgar Desa: Teologi Kesederhanaan

Di desa tempat saya tumbuh, langgar adalah bangunan yang lebih sakral ketimbang kantor kelurahan. Langgar tidak hanya menjadi tempat salat lima waktu. Ia juga tempat semua luka sosial menemukan sedikit balsem spiritualnya.

Di langgar, ibu-ibu yang ditinggal suami ke rantau menitipkan doa dan air mata; petani yang gagal panen bersimpuh dalam sujud yang panjang; anak-anak belajar menyusun huruf-huruf hijaiyah seperti sedang membangun kembali harga dirinya.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Langgar tidak mengenal kasta. Yang datang tak ditanya dari RT mana, siapa bapaknya, atau kerja di proyek mana. Di langgar, semua menjadi sama: makmum. Yang membedakan bukan kekayaan atau status, tetapi seberapa cepat ia meresapi panggilan azan.

Teologi Kesederhanaan

Langgar mengajarkan satu hal yang kini jarang dijumpai di kota-kota besar: teologi kesederhanaan. Tidak ada hiasan kubah berlapis emas. Tidak ada lampu gantung kristal yang menyilaukan. Bahkan, terkadang tidak ada sajadah—hanya tikar pandan yang disapu bersih. Tapi justru dalam kesederhanaan itulah nilai Islam tampil murni: tanpa pretensi, tanpa simbol yang memecah.

Kesederhanaan ini bukan soal miskin atau tak mampu, melainkan pilihan hidup. Langgar tidak butuh dana besar, tapi ia memelihara spiritualitas kolektif. Ketika azan berkumandang, tidak ada orang yang merasa perlu berpakaian mewah untuk salat berjamaah. Tidak ada penghakiman atas sandal jepit murahan. Semua datang dengan niat yang sama: mendekatkan diri pada Tuhan dan merajut kembali relasi antarwarga yang terkoyak oleh ketimpangan.

Di tengah masyarakat yang semakin kapitalistik, langgar menjadi semacam ruang suaka spiritual bagi mereka yang kelelahan diperas oleh sistem ekonomi yang tidak ramah terhadap kaum kecil. Ketika negara sibuk membangun gedung kementerian agama dengan anggaran miliaran, langgar tetap bertahan dengan kotak infak seadanya. Dan itulah wajah Islam yang paling jujur—dan mungkin paling revolusioner.

Mustadhafin: Nama yang Hilang

Dalam wacana negara, kaum mustadhafin, yang dalam istilah Al-Qur’an berarti yang dilemahkan secara struktural, jarang disebut. Padahal mereka ada di mana-mana: di balik tanggul sungai yang jebol, di sawah yang tergerus proyek tol, di pinggir rel kereta yang digusur, di dalam dapur-dapur yang kehabisan beras menjelang akhir bulan.

Mereka adalah para buruh tani yang tidak memiliki tanah, para nelayan kecil yang kalah oleh kapal cantrang, para guru ngaji yang tidak pernah masuk daftar penerima tunjangan. Mereka tidak punya akses ke seminar-seminar tentang “Pembangunan Berkelanjutan”, tetapi mereka adalah korban langsung dari pembangunan itu.

Langgar tidak menawarkan teori-teori besar tentang redistribusi ekonomi. Tapi ia menawarkan rasa kepemilikan bersama. Di langgar, infak digunakan untuk membeli beras bagi janda miskin. Di langgar, rapat warga memutuskan membangun WC umum agar anak-anak tidak buang air di sungai lagi. Di langgar, imam tidak digaji, tapi dihormati. Bukankah ini bentuk paling sederhana dari keadilan sosial?

Tugas Keadilan Sosial

Sebagai santri, kita diwarisi warisan yang lebih luas daripada sekadar hafalan tashrifan dan kaidah nahu. Kita mewarisi semangat pembelaan terhadap kaum tertindas. Ulama-ulama pesantren terdahulu—dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari hingga KH Ahmad Dahlan—bukan hanya pengajar kitab, tapi juga aktivis keadilan sosial.

Tapi hari ini, terlalu banyak santri yang menjadi teknokrat syariat. Mereka sibuk memproduksi fatwa tentang halal-haram sambil lupa bahwa Islam juga berbicara tentang yang zalim dan yang dizalimi. Terlalu banyak diskusi pesantren yang hanya berputar-putar soal perbedaan qunut dan tidak qunut, sementara sawah warga digusur oleh alat berat atas nama “proyek strategis nasional”.

Santri harus kembali ke akar: pembela kaum mustadh’afin. Bukan hanya dengan khutbah, tapi dengan aksi nyata. Mendampingi petani mengurus sertifikat tanah. Mengorganisasi ibu-ibu desa agar berani menuntut haknya. Menulis. Berbicara. Menggerakkan.

Negara Lupa Rakyat

Langgar bukan hanya bangunan fisik, tetapi sistem nilai. Ia adalah alternatif kecil dari negara yang semakin menjauh dari rakyatnya. Dalam demokrasi elektoral yang hanya mengingat rakyat saat pemilu, langgar hadir sebagai sistem demokrasi spiritual di mana suara warga didengar, di mana keputusan diambil berdasarkan musyawarah, bukan kalkulasi elektabilitas.

Keadilan sosial bukan proyek negara, tetapi gerakan moral yang harus ditanamkan dari bawah. Dari langgar. Dari pesantren. Dari obrolan antara ustaz kampung dan pemuda-pemuda pengangguran yang duduk di serambi sambil menyeruput kopi.

Langgar bukan tempat yang sempurna. Tapi dari langgar, kita belajar arti merdeka yang hakiki. Merdeka dari ketergantungan pada kekuasaan. Merdeka dari godaan untuk menjadi elite yang lupa tanah. Merdeka dari agama yang hanya jadi pelengkap kekuasaan.

Kaum mustadhafin tidak butuh janji-janji politik. Mereka butuh air bersih, pupuk murah, akses kesehatan, dan pendidikan. Dan sebelum semua itu sampai ke desa, langgar sudah lebih dulu memberikan mereka pelajaran paling dasar: bahwa dalam Islam, yang kuat bukanlah yang kaya, tapi yang peduli.

Barangkali, tugas kita hari ini bukan membangun langgar yang lebih megah, tetapi menghidupkan kembali semangatnya: keadilan, kesetaraan, dan keberpihakan kepada yang lemah.

Karena langgar yang sering diremehkan adalah cermin dari masa depan keadilan sosial kita. Dan mungkin, bangsa ini akan pulih bukan dari istana, tapi dari langgar kecil di pinggir sawah yang saban subuh masih setia menggaungkan azan.

Multi-Page

2 Replies to “Pelajaran dari Langgar Desa: Teologi Kesederhanaan”

Tinggalkan Balasan