Pelajaran dari Cak Nun Kesambet

2,068 kali dibaca

Seorang Cak Nun atau Emha Ainun Nadjib kesambet? Sampai saat menulis artikel ini, saya masih tak percaya seorang Cak Nun bisa kesambet. Apa sebab?

Kira-kira begini penjelasannya. Kesambet, dalam khazanah Jawa atau tradisi santri, merujuk pada peristiwa di mana seseorang kerasukan roh atau makhluk halus. Ia bisa berupa jin, setan, atau genderuwo. Artinya, yang merasuk ke dalam diri seseorang yang kesambet itu hampir bisa dipastikan adalah kekuatan-kekuatan jahat. Hingga, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan kesambet sebagai sakit dan mendadak pingsan karena gangguan roh jahat (orang halus, hantu).

Advertisements

Kenapa seseorang bisa kesambet? Kemungkinan pertama, seseorang memang dengan sengaja mengundang datangnya roh jahat untuk merasuk ke dalam dirinya dengan tujuan tertentu. Misalnya agar ndadi atau trance dalam tradisi kesenian jarang kepang. Kemungkinan lain, kondisi kejiwaan seseorang sedang berada pada fase labil, galau, gelisah, “halu”, murung, atau kosong sehingga memudahkan roh jahat untuk merasuk ke dalam dirinya.

Roh jahat atau makhluk halus nyaris mustahil bisa merasuk atau menyambet seseorang dengan jiwa yang bahagia, teguh keyakinan, hati tulus nan bersih, dan penuh ketenangan dan kedamaian karena telah menyatu dengan Tuhan, yang dalam dunia sufi atau tasawuf dikenal dengan istilah nafsul muthmainnah, jiwa-jiwa yang tenang dan damai.

Seorang Emha Ainun Nadjib, dengan perjalanan panjangnya yang dikenal sebagai seorang budayawan, penyair, seniman, dan ulama “kelas tinggi” dengan jumlah jamaah yang begitu banyak dalam pengajian Majelis Maiyah, rasanya musykil untuk kesambet karena telah berada pada level nafsul muthmainnah. Tapi apa lacur, Cak Nun sendiri yang mengaku telah kesambet, dan saya belum bisa mempercayainya. Sebab, orang setingkat wali tidak mungkin kesurupan, kerasukan, atau kesambet.

Karena itu saya lebih memilih mengabaikan perihal apakah Cak Nun benar-benar kesambet atau bagaimana. Saya akan fokus untuk mengkritisi apa yang diucapkan Cak Nun di momen itu karena dua alasan, yaitu posisinya yang memiliki pengaruh luas dan dampak dari apa yang diucapkannya di ranah publik.

Ketika sedang berceramah di acara Mocopat Syafaat dan Tawashshulan di Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta pada Selasa (17/1/2023), Cak Nun membuat pernyataan yang videonya viral dengan kutipan seperti ini: “Hasil pemilu mencerminkan tingkat kedewasaan dan tidak rakyatnya. Betul tidak? Bahkan juga algoritma pemilu 2024. Kan, enggak mungkin menang, wis sa ono sing menang saiki, karena Indonesia dikuasai oleh Firaun yang namanya Jokowi, oleh Qorun yang namanya Anthony Salim dan 10 naga. Terus Haman yang namanya Luhut.”

Karuan saja, cuplikan ceramah Cak Nun tersebut dibanjiri kontroversi yang memenuhi ruang publik. Tak lama kemudian, melalui video serupa, Cak Nun membuat klarifikasi dan di momen itulah ia mengaku sedang kesambet.

Pintu Politisasi Agama

Dalam kutipan pernyataan Cak Nun tersebut terkandung dua premis dengan dua domain yang berbeda, namun keduanya berkelindan. Yang pertama berada di domain profan dan yang kedua di domain keagamaan.

Pada premis yang pertama, pernyataan Cak Nun berkaitan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Dari premis itu dapat ditarik kesimpulan, Pemilu 2024 sudah diatur dan ditentukan pemenangnya. Dengan demikian, Pemilu 2024 adalah pemilu boong-boongan lantaran pemenangnya sudah diatur jauh sebelumnya, dan mereka yang bukan bagian dari kelompok pengatur tidak akan mungkin menjadi pemenang.

Siapa yang mengatur? Di situ Cak Nun memberi jawaban tanpa tedeng aleng-aleng. Narasinya begini: pemenangnya sudah bisa ditentukan jauh sebelum pemilu dilaksanakan karena Indonesia telah dikuasai oleh “Firaun, Qarun, dan Hamman” yang bernama Jokowi, Anthoni Salim, dan Luhut Binsar Pandjaitan.

Jika dilakukan pembacaan lebih gamblang lagi, akan terlihat seperti ini: persekongkolan antara Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B Panjaitan, dan didukung taipan Anthoni Salim plus Sembilan Naga inilah yang telah mengatur dan menentukan hasil Pemilu 2024. Siapa pun, di luar circle persekongkolan tiga kekuatan besar ini, tidak akan bisa menjadi pemenang pemilu.

Kenapa hal seperti itu bisa terjadi? Sebab, menurut Cak Nun dalam kutipan berikutnya, Indonesia telah sedemikian sempurna dikuasai tiga kekuatan besar tersebut, dengan simbol Jokowi, Luhut Pandjaitan, dan Anthony Salim. Seluruh sistem dan perangkat negara beserta alat-alat politik Indonesia berada sepenuhnya dalam kendali Jokowi. Begitu absolutnya kekuasaan Jokowi, hingga Cak Nun menyebutnya sebagai Firaun.

Jika premis Indonesia telah dikuasai Firaun berada pada domain profan, yaitu segelintir orang menguasai negara, maka labeling Firaun terhadap diri Jokowi ini menjadi premis kedua yang masuk domain keagamaan. Firaun, sebagai tokoh historis, memang julukan untuk raja-raja Mesir Kuno. Namun, ketika disandingkan dengan Qarun dan Hamman, jelas yang dirujuk adalah Firaun yang berkuasa di masa Nabi Musa seperti yang diabadikan oleh Al-Qur’an.

Menurut catatan sejarah, Firaun yang berkuasa di masa Nabi Musa adalah Ramesses II atau Marenptah. Yang pasti, siapa pun dia, Firaun yang hidup di zaman Nabi Musa itu begitu dibenci oleh umat Islam. Sebab, berdasarkan literatur yang diungkapkan Al-Qur’an, Firaun adalah sosok penguasa yang zalim atau bengis dan kejam, dan bukan hanya anti-Tuhan dan menolak risalah yang dibawa Nabi Musa, tapi malah mendaku dirinya sebagai Tuhan. Ambisinya adalah membunuh Nabi Musa sebagai utusan Tuhan. Karena itu, sebutan Firaun sudah menjadi bagian dari negative doctrine keagamaan.

Itulah kenapa premis kedua dari ungkapan Cak Nun tersebut berada di domain religius-ekstalogis. Sebab, dengan melabeli Jokowi sebagai Firaun, konsekuensinya menjadi sangat luas dan bisa melebar ke mana-mana. Tak sekadar menguasai Indonesia secara absolut, begitu diberi label Firaun, maka Jokowi “diharuskan” memiliki sifat-sifatnya: bengis, keji, kejam, dan kufur alias anti-Tuhan. Artinya, mayoritas rakyat Indonesia yang muslim ini selama hampir satu dekade ternyata mendukung dan dipimpin oleh Firaun, sosok yang anti-Tuhan atau bahkan melawan Tuhan. Begitu tersesatnyakah mayoritas rakyat Indonesia ini?

Dua premis dari ungkapan Cak Nun tersebut membawa konsekuensinya masing-masing, terutama dalam situasi menghadapi Pemilu 2024. Yang pertama, menuding pemilu telah diatur dan ditentukan pemenangnya jauh sebelum pemilunya dilaksanakan, jika merujuk pada teori yang dibangun Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku Bagaimana Demokrasi Mati, adalah bagian dari pembusukan atau pembunuhan demokrasi oleh orang-orang yang tak siap kalah. Selanjutnya, ia akan men-down grade, mendelegitimasi, dan merongrong pemerintahan yang sah. Dampak terjauhnya adalah perebutan kekuasaan atau chaos.

Yang kedua, melabeli kelompok tertentu, dalam hal ini adalah Jokowi, misalnya, dengan sebutan Firaun akan membuka pintu selebar-lebarnya masuknya politisasi agama, katakanlah dalam Pemilu 2024. Kelompok-kelompok atau peserta pemilu yang didukung Jokowi, atau berada dalam lingkaran dan memiliki relasi dengan Jokowi, bisa jadi akan dinisbahkan sebagai bagian dari kekuatan Firaunian. Maka, fenomena politisasi agama pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di DKI Jakarta pada 2017 dan Pemilihan Presiden pada 2019 bisa terulang dengan intensi yang jauh lebih brutal. Saya membayangkan, bisa jadi akan ada narasi Musa melawan Firaun, para pembela Tuhan melawan orang-orang anti-Tuhan, padahal kelompok-kelompok yang berhadapan ini bisa saja sama-sama muslim.

Seperti konsekuensi pada premis pertama, politisasi agama sebagai konsekuensi premis kedua ini juga menjadi bagian dari gerakan pembusukan atau pembunuhan demokrasi. Setidaknya menyebabkan proses berdemokrasi menjadi tidak sehat. Dampak terjauhnya sama, chaos. Chaos yang berlatar belakang politisasi agama. Dan, chaos yang tak berkesudahan akan membuka pintu masuknya kekuatan-kekuatan anti-demokrasi, masuknya kekuatan-kekuatan otoriter atau diktator, bagian yang justru menjadi karakter Firaun. Artinya, niat hati menolak Firaun tapi justru mengundang Firaun yang lain.

Kenapa pernyataan Cak Nun yang menghebohkan ini perlu diberi catatan kaki sedini mungkin. Sebab, Cak Nun bukan orang sembarangan. Sebagai budayawan, penyair, seniman, dan ulama “kelas tinggi”, segala ucapannya akan didengar orang dan dijadikan referensi dalam mengambil keputusan. Apalagi, Cak Nun memiliki forum kajian Maiyah yang jamaahnya lumayan banyak dan tersebar di seluruh Indonesia, dan selalu mengamini ucapan Cak Nun. Jika tak diberi catatan kaki dan apa yang diucapkan Cak Nun ditelan mentah-mentah, justru bisa sangat membahayakan bagi persatuan dan kesatuan anak-anak bangsa.

Beruntung, Cak Nun sendiri sudah mengaku sedang kesambet ketika membuat pernyataan kontroversial tersebut. Tak penting tahu sebabnya. Yang pasti, layaknya orang kesambet, perkataannya tak harus kita percaya atau kita telan mentah-mentah. Dan di lain waktu bisa begitu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan