Pantulan Kebhinekaan di Desa (3): “Resik Kubur” di Kalikudi

2,664 kali dibaca

Kalikudi adalah sebuah desa di Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Desa ini terdiri dari tujuh dusun, empat di antaranya Dusun Pejaten, Semingkir, Gunung Duren, dan Peturusan. Desa Kalikudi mempunyai luas 381 hektare, sepertiganya adalah areal persawahan, dan berpenduduk 8.481 jiwa yang hampir seluruhnya adalah petani sawah. Kalikudi menjadi salah satu desa lumbung padi di Cilacap bagian timur.

Legenda asal-usul Kalikudi terkait dengan Eyang Ditakerta. Masyarakat percaya bahwa Eyang Ditakerta adalah orang yang babat alas desa yang kini bernama Kalikudi.

Advertisements

Ceritanya bermula dari pada zaman Mataram. Seorang bernama Rangga Taun berasal dari Mataram berguru kepada Kiai Pubasari yang merupakan juru kunci Sekar Wijaya Kusuma di Pulau Nusakambangan. Tangga Taun kumudian menikahi putri Kiai Purbasari. Keduanya memiliki dua putra, yakni Cakra Praja dan Rangga Kusuma. Setelah dewasa, Rangga Kusuma kemudian menikahi putri Kiai Nayadipa, Demang Bunton yang kemudian menurunkan Eyang Ditakerta. Eyang inilah yang kemudian babat alas dan mendirikan gubuk di dusun Depok yang saat ini menjadi Kalikudi.

Warga Kalikudi cukup plural dalam beragama. Sebagian besar (5600 orang) adalah Kejawen yang masih berpegang teguh pada adat. Salah seorang dari mereka menyatakan: “Kami Islam, tetapi bukan muslim, karena kami tidak menjalankan syariat, dan kebetulan nenek moyang kami mempunyai ajaran untuk tuntunan hidup bagi keturunan kami.”

Sebagian yang lain adalah Islam santri yang umumnya berafiliasi ke Nahdlatul Ulama (NU). Hubungan antara mereka yang berpegang pada adat dengan yang berafiliasi ke NU kompetitif, bahkan kadangkala tegang, tetapi selalu dapat diselesaikan dengan mengembalikan pada adat-tradisi yang dijaga eksistensinya.

Warga Kalikudi mendirikan paguyuban yang diberi nama Resik Kubur Rasa Sejati (RKRS) yang eksis dan aktivitasnya diikuti oleh setiap warga, baik yang Kejawen maupun yang Islam taat. Pemimpin tertinggi RKRS adalah Bundele Adat yang dalam menjalankan aktivitas spiritualnya memberi kewenangan penuh kepada seorang ”kunci” yang dibantu oleh dua orang, menempati posisi bahu tengen (kanan) dan bahu kiwa (kiri). Struktur ini bersifat tetap dan individu-individu di dalamnya mewariskan posisi kepada keturunan langsung di bawahnya.

Ada tiga pandangan dasar bagi ketertiban dan keberlangsungan kehidupan manusia yang di-ugemi turun temurun oleh paguyuban dan orang Kalikudi ini, yakni tata batin, sejarah, dan tata lahir. Tiga pandangan dasar itu harus dijalani dan ditaati oleh setiap orang agar hidup dan kehidupan berlangsung tenteram-harmois.

Tata batin, yaitu suatu struktur dasar spiritual yang harus dimiliki oleh setiap anggota paguyuban. Tata batin terdiri dari beberapa tahap yang masing-masing saling berkoneksi dan memproyeksikan satu ketatatertiban spiritual yang holistik. Fungsi tata batin diperankan oleh anggota-anggota yang menempati posisi struktur bahu tengen.

Sejarah manusia, dalam pandangan orang Kalikuldi, telah terstruktur rapi termasuk perubahan-perubahan yang terjadi. Manusia sekarang sesungguhnya hanya menjalani struktur yang terbentuk melalui proses panjang sebelumnya melalui kalkulasi-kalkulasi unik yang didasarkan pada hitungan Jawa. Struktur sejarah ini bersifat determinatif dalam pengertian menentukan semua arah aktivitas manusia di dunia.

Struktur yang bersifat ajek ini disusun berdasarkan indikator-indikator yang dimiliki manusia seperti pasaran (pon, wage, kliwon, legi, pahing), mangsa (musim), dan lain-lain. Indikator-indikator ini mempunyai hubungan spesifik dan membentuk ketertiban dalam mengatur kehidupan manusia. Kemampuan mengkoneksikan indikator-indikator ini membentuk struktur dasar tata tertib kehidupan manusia.

Tata lahir, ketentuan-ketentuan bertindak dan berperilaku yang mengikat setiap warga Kalikudi, terdiri dari dua perilaku utama yang dikenal dengan Punggahan dan Pudunan. Punggahan adalah tata perilaku yang dipraktikkan untuk mempersiapkan anggota-anggota paguyuban mengahadapi bulan puasa (Ramadan). Punggahan, populer disebut ”nyadran” (bulan Sya’ban), merupakan perilaku yang didesain massal dan diikuti oleh anggota paguyuban. Perilaku Punggahan berupa ”mlaku” (jalan kaki) dari Kalikudi ke dua tempat utama sebagai sumber nilai spiritualitas paguyuban, yaitu Daun Lumbung di Cilacap dan Ki Bonokeling di Pakuncen, Jatilawang, Banyumas.

Sementara Pudunan adalah perilaku massal paguyuban pasca pelaksanaan puasa di bulan Ramadan. Dalam bahasa yang lebih sederhana, Pudunan adalah bentuk syukur paguyuban setelah menjalankan ritual puasa sebulan penuh. Pelaksanaan Pudunan adalah bulan Syawal berupa ”mlaku” (jalan kaki) melaui rute yang dengan Punggahan, dari Desa Kalikudi menuju Daun Lumbung di Cilacap dan Ki Bonokeling di Pekuncen, Jatilawang, Banyumas.

Sumber utama perilaku spiritual warga Kalikudi adalah ritual Resik Kubur (arti harfiahnya membersihkan kubur/makam) yang dilaksanakan setiap Kamis wage di siang hari, dan pada malam harinya (malam Jumat kliwon) dilanjutkan dengan ritual Sungkeman dan Setralan dan musyawarah bersama membahas masalah-masalah aktual yang terjadi di tengah kehidupan warga Kalikudi. Ritual ini ditutup dengan puji-pujian dan memanjatkan doa bersama.

Dengan demikian, Resik Kubur, bagi warga Kalikudi, sekaligus menjadi wahana mentransformasikan moral dan etika pendahulu kepada generasi sekarang. Melalui laku spiritual, transformasi diharapkan tercapai perwujudan perilaku etik dan estetik.(disadur dari Adat Tradisi Anak Putu Kalikudi).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan